La Terra Delle Lacrime (episode 5)

La Terra Delle Lacrime (episode 5)

La Terra Delle Lacrime 5

Oleh: Sunita Kasih

“Menurutmu kita harus apa?”

“Memulai semuanya”

“Maksudmu?”

Simon mengambil buku yang tadinya berada di depan Nina. Hari itu langit kelabu, udara menjelma jarum yang siap menusukan hawa dingin pada setiap tubuh yang berlindung di balik jaket tebal.

“Haruskah aku kembali ke rumah bibiku?” ucap Nina.

“Ada lagi barang yang perlu kau ambil?”

Nina terdiam, ia memperhatikan barang apa saja yang sempat ia bawa. Hasilnya, banyak bacaan dan beberapa majalah kesukaannya yang ia tinggal di rumah bibinya, namun yang terpenting sepertinya memang selalu berada dalam tas maroon peninggalan ibunya itu.

“Tak ada, aku rasa semua yang berada di rumah itu memang tak perlu lagi kubawa kemanapun.” Simon mengangguk.

Tukang Koran masih memperhatikan Simon dan Nina, di dalam hatinya beberapa rasa syukur terselip meski di selanya telah dipenuhi beberapa ketakutan akan kemungkinan-kemungkinan yang kelak dihadapi oleh Nina dan Simon.

“Negeri ini sebetulnya bukan negeri yang sulit untuk mencapai kebahagiaan. Semua berjalan sewajarnya dengan berbagai ketentraman serta kehangatan yang mengundang kebahagiaan yang tak terbendung,” tukang Koran membuka suara.

“Lalu bagaimana bisa menjadi seperti ini?” tanya Nina.

Tukang Koran menggelengkan kepala, berisyarat dengan jelas bahwa ia benar-benar tidak tahu persis bagaimana kutukan itu bisa datang, menjamah setiap sudut di negeri ini, mengambil berbagai warna juga kehangatan dan kemudian berganti dengan kelabu dan dingin yang menusuk.

“Sudah kuceritakan padamu Nina, kau lupa?” ucap Simon.

“Kau? Menceritakan? Kapan?” jawab Nina dengan wajah bingung.

“Ketika awal aku bertemu denganmu, kuceritakan dalam hati!” pekik Simon dilanjutkan dengan tawa kecil dan nyengir kuda.

“Hah?” jawab Nina dengan dahi yang mengkerut, di dalam hatinya ia sedang mengumpat beberapa sikap aneh Simon setelah ia dan Simon melalui berbagai hal beberapa hari ini.

Tukang Koran tertawa pelan. Ia memaklumi apa yang dilakukan oleh Simon.

“Perlahan saja, tawa adalah hal langka disini, jika kau berani tertawa dengan lantang kau juga harus berani dengan risiko dicap sebagai orang yang terkena penyakit gila kemudian dikurung ke penjara bawah tanah.” Simon dan Nina terdiam mendengar apa yang diucapkan tukang Koran.

“Bisa kau ceritakan tentang orang-orang yang berada di penjara bawah tanah?” tanya Nina.

“Nina, sebetulnya apa yang kau tahu dari negeri terutama kota ini?” jawab Simon.

“Sebaiknya kau diam,” ucap Nina dengan nada kesal.

Simon nyengir kuda.

“Aku tak tahu banyak, namun yang kutahu mereka ditangkap karena berusaha menjelaskan keadaan negeri ini, penguasa negeri ini terutama walikota kita sangat membenci setiap orang yang berupaya menjelaskan bagaimana situasi kota ini, dia berkeyakinan bahwa seperti inilah hidup,” jelas tukang Koran.

“Pertama kali aku mendengar penjelasan ini dari rekanku, aku mengatakan bahwa penguasa negeri ini juga walikota yang sesungguhnya sudah terkena penyakit gila! Mana ada kehidupan yang diisi dengan kesedihan dan penderitaan macam ini?” lanjut tukang Koran.

“Ya, menyedihkan!” potong Simon.

Nina melirik Simon dengan tajam, mengisyarakan sebuah perintah agar Simon tetap duduk dan diam.

“Sekali lagi, aku tak tahu banyak. Namun yang jelas, aku pernah mendengar cerita bahwa di negeri ini dahulu terdapat beberapa keluarga penyihir yang diisukan akan membawa kesialan di negeri ini,”lanjut tukang Koran.

“Lalu?” ucap Nina dengan nada tinggi.

“Lalu keluarga penyihir itu dibantai habis! Diseret menuju ke depan balai kota lalu di gantung dihadapan semua warga di kota ini!” potong Simon dengan muka merah dan mata yang menyala.

“Kau pikirkan saja Nina, semut pun tak pantas dibunuh tanpa alasan. Kau pikir setiap penyihir itu lebih rendah dari semut hingga diumpamakan dengan mahluk pembawa sial. Puluhan ribu tahun Nina, golongan itu telah ada di negeri ini, lalu baru sekarang dicap sebagai pembawa sial? Hah! Yang benar saja!” ucap Simon dengan muka masam.

Sebetulnya, Nina baru pertama kali melihat wajah Simon semarah ini, tukang Koran hanya terdiam menyadari bahwa sebenarnya Simon-lah yang lebih mengetahui banyak hal tentang negeri dan kota ini disbanding dirinya.

Nina masih terdiam, digenggamnya tali tas maroon yang masih ia kenakan.

“Kau rasakan itu Nina?” tanya Simon.

“Apa?” ucap Nina pelan.

“Kau bisa rasakan kemarahan itu?”

“Sedikit,”

“Kemarahan dan kesedihan nenekmu lebih besar dari ini hingga dia berani memutuskan untuk mengutuk negeri ini.” Nina tertegun mendengar perkataan Simon.

“Nenekku?”

“Ya, Nina” Simon menghentikan penjelasannya dan melangkahkan kakinya keluar gubug.

Tak lama dengan sigap Nina menyusul langkah Simon. Simon berhenti tepat di depan tumpukan sampah. Matanya menatap gunungan sampah yang terhampar di depannya, tak lama ia mengambil satu cermin bekas, menatap dalam dan menimbang-nimbang apa saja yang telah terlewati hingga cermin ini menjadi kian bernoda dan retak.

“Ini semua barang-barang milik orang-orang seperti kita, Nina” gumam Simon pelan.

Entah bagaimana mata Nina berembun, dia membayangkan apa saja yang terjadi dahulu hingga kini dia didekap oleh ke-tidak-tahu-an yang tanpa Nina sadari sempat memutuskan tentang kenyataan siapa dirinya yang sesungguhnya.

“Kita harus apa?” tanya Nina dengan suara yang pelan sebab menahan bendugan di matanya.

Simon memberikan cermin yang ia pegang tadi kepada Nina. Cermin itu diukir huruf dan kata yang sama dengan bahasa yang dimiliki kitab sihir yang Simon berikan pada Nina.

 

(*)

Pada sore yang beranjak petang kala itu Simon dan Nina memutuskan untuk meninggalkan tukang Koran. Mereka memutuskan untuk tak lagi tinggal di rumah bibinya Nina sebab mereka tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk kembali ke tengah kota terlebih kembali ke rumah Bibi Lissy.

“Ini rumahmu?” Sepeda Simon berhenti tepat di depan rumah tua yang terlihat sedikit tak terurus dengan pohon apel di sampingnya.

“Ya, kau boleh menganggap ini rumahmu” ucap Simon.

Nina dan simon menaii beberapa anak tangga, Simon membuka pintu rumah itu dan alangkah terkejutnya Nina melihat seisi rumah yang tersusun rapih serta elok dipantang, sangat jauh beda dengan apa yang terlihat di luar rumah.

“Simon?” Nina menoleh ke Simon dengan tatapan yang mengisyaratkan kebingungan tentang bagaimana bisa rumah ini begitu rapih dan elok dipandang.

“Inilah kenyataannya Nina. Aku dan kau sebetulnya hidup dengan beberapa hal ajaib di dalamnya” Simon tersenyum.

Mata Nina berbinar menyadari bahwa terdapat gambar Simon dan keluarganya di dinding sebelum tangga menuju lantai dua.

“Kau tak terlalu menjijikan dulu rupanya ya” ucap Nina.

“Hey! Maksudmu apa?” teriak Simon.

Untuk kesekian kalinya, Nina tertawa bersama Simon. Meski Nina tak menyadari apa yang sedang terjadi padanya namun jauh di dalam hatinya ia merasa semua akan baik-baik saja selagi ia masih bersama Simon.

Simon tersenyum kemudian bergegas mengajak Nina ke lantai dua.

“Jika kau ingin mendengar banyak cerita dari rumah ini, kurasa kau perlu memakan beberapa makanan supaya kau tak hanya bengong dan angguk-angguk tak mengerti saja.” Muka Nina memerah.

Simon memberikan apel juga membawakan segelas susu dan beberapa roti untuk Nina. Mereka duduk di dekat perapian.

“Mungkin, sebetulnya bukan kau dan aku saja yang hidup dengan berbagai hal ajaib di dunia ini, Simon.” Simon menatap Nina.

“Ya, maksudku, seharusnya” Nina melanjutkan perkataannya.

Simon tersenyum. Nina mengambil tas maroon miliknya, kembali membaca berbagai kalimat yang ada di kitab sihir yang Simon berikan.

“Buku ini milik siapa, Simon?” tanya Nina tak lama setelah kembali membaca.

“Milik siapa saja namun yang bisa membacanya sepertinya hanya orang-orang tertentu.”

“Maksudmu?” tanya Nina dengan wajah yang tampak bingung.

“Entahla, Nina”

Simon mengambil beberapa helai selimut dan diberikannya pada Nina.

“Kau sudah banyak melewati hal yang membingungkan seharian ini, Nina. Kau perlu beristirahat” ucap Simon.

“Sepertinya bukan sehari saja aku dibuat bingung oleh negeri dan kota ini.” Nina menyambut selimut yang Simon berikan.

Nina duduk diatas sofa sedangkan Simon memutuskan untuk tidur di lantai dekat perapian. Malam itu memang terasa lebih dingin dibandingkan hari-hari sebelum, atau ini hanya terasa setelah Nina mengetahui hal-hal yang telah terjadi di negeri ini.

Nina kembali melanjutkan membaca yang Simon sebut kitab sihir itu, Nina selalu menemukan beberapa kalimat yang sala persis sepertiapa yang diceritakan Simon tentang negeri dan keajaiban di dalamnya.

“Apa yang akan kita lakukan, Simon” Nina bergumam pelan.

Simon telah terpejam, melupakan sejenak tentang semua kelabu di negeri ini kemudian menyambangi alam mimpinya.

“Mungkin sesuatu memang akan lebih baik jika kita terpejam, bukan?” Nina bergumam kembali dengan perlahan.

“Mungkin saja, Nina” Simon menjawab. Nina sedikit kaget menyadari Simon yang mendengar gumamanya.

“Kau mau melanjutkan tidurmu?” tanya Nina.

“Ada yang mau kau ceritakan?” Simon kembali bertanya.

“Ya. aku membawa cermin yang kau pegang di pembuangan sampah tadi.” Simon beranjak dan duduk memperhatikan Nina.

“Lalu?”

“Ukiran di sekeliling cermin ini seperti memiliki bahasa yang sama dengan kitab ini,” jelas Nina.

“Bukankah isi buku itu sama dengan bahasa kita disini?”

“Ya, hanya saja ini sedikit lebih rumit, maksudku antar kata yang membentuk kalimatnya terasa seperti kita harus memikirkannya berkali-kali.”

“Maksudmu seperti kode?” tanya Simon.

“Mungkin saja.” Nina mengangguk.

“Ah, aku suka ini!”

“Kau belum pernah membaca buku ini, Simon?” tanya Nina.

“Sudah kubilang, aku tidak bisa melihat kalimat yang ada pada buku itu. Maksudku, buku itu kosong, Nina.” Nina terdiam kemudian membuka beberapa lembaran buku itu secara teratur.

“Ada, ini ada tulisannya” ucap Nina.

“Ya, karena kau Nina.”

“Lalu apa bedanya denganmu?” tanya Nina.

“Aku tidak memiliki darah dari nenekmu” jawab Simon pasti.

“Ah, iya?”

Nina tak pernah tahu persis seperti apa neneknya juga keluarganya, entah darimana dan dengan siapa ia harus menanyakan beberapa pertanyaan tentang keluarganya, yang pasti untuk saat ini yang ada dalam diri Nina hanya sebuah keyakinan untuk tidak menyerah mengembalikan hal-hal ajaib yang dahulu ada pada negerinya.

Nina mengingat apa yang tukang Koran katakan tentang orang-orang gila yang di asingkan di penjara bawah tanah.

“Menurutmu apa yang mereka lakukan, Simon?” tanya Nina.

“Siapa?”

“Orang-orang yang kena penyakit gila” ucap Nina.

“Yang diasingkan di penjara bawah tanah?”

“Ya, seperti yang dikatakan tukang Koran.”

“Mereka berusaha menjelaskan apa kebahagiaan itu”

“Ya, kau sudah pernah mengatakan itu, maksudku jelaskanlah lebih rinci!” jawab Nina dengan nada kesal.

“Ha ha ha, maksudku mereka mendatangi satu per satu penduduk di kota ini, menjelaskan dan bertanya tentang apa yang terjadi, berusaha mengajak kembali seperti biasanya” Simon menjelaskan.

“Hanya karena itu? Kenapa sampai harus di penjara?” tanya Nina.

“Ya karena semua penduduk negeri ini terkena kutukan. Mana ada yang tahu tentang kebahagiaan-kebahagiaan yang mereka coba jelaskan.”

“Ah, iya.” Nina mengangguk.

“Lalu kita?” Nina kembali melontarkan pertanyaan.

“Apanya?” jawab Simon.

“Lalu kita bagaimana? Apa kita akan menjelaskan seperti mereka dan berakhir di penjara bawah tanah juga?”

“Hm, tidak Nina. Tapi sepertinya kita harus mengunjungi penjara bawah tanah!” Simon berkata dengan semangat.

“Hah? Maksudmu?”

“Iya. Kau pasti ingin tahu ‘kan bagaimana mereka bisa ditangkap dan ah iya, kita harus mencari dia.”

“Siapa?” tanya Nina dengan wajah heran.

“Orang yang mengenal nenekmu, Nina” ucap Simon.

“Dia pasti tahu banyak tentang nenekmu dan mungkin bisa memberikan kita beberapa informasi tentang apa yang harus kita lakukan” Simon melanjutkan perkataannya.

Nina mengangguk paham, roti itu terlihat tinggal separuh dengan cangkir yang berisi susu yang hanya tinggal beberapa tetes saja, perapian tampak sedikit meredup meski tetap memberikan kehanyatan di ruangan itu. Nina menutup bukunya, kembali memasukkan k etas maroon miliknya, ia merebahkan tubuhnya di atas sofa dan  menyelimuti dirinya dengan selimut yang tadi Simon berikan.

“Apa kita sendirian, Simon?” tanya Nina pelan.

“Kurasa, kita tidak pernah sendiri, Nina” jawab Simon.

Bersambung…

Sunita Kasih asal kota Lubuklinggau Sumatera Selatan, penyuka teh melati juga sepiring pengalaman yang disajikan dengan hangat. Kamu bisa temukan Sunita di instagram dan facebook : sunitakasih serta twitter : @sunitakasiih

Blurb:

Nina menyadari satu hal setelah Simon memberikan buku itu padanya—La Terra Delle Lacrime—bahwa ada yang sangat salah dari kota yang ia tempati sekarang. Abu-abu, asap, sunyi, gemeretuk gigi, ayunan taman yang berkarat, bangunan yang berlumut, juga gagak yang bertengger di pepohonan jalan raya itu, tanpa Nina sadari telah menyadarkan Nina atas apa yang terjadi.

Setelah mengetahui satu rahasia besar, ia kembali menemui Simon untuk meminta penjelasan lebih tentang dirinya—bahwa ia bukanlah manusia biasa. Ketika Nina memutuskan untuk pergi, Simon yang terlebih dahulu telah mengetahui hal ini mencegah kepergian Nina dan mulai merancang sesuatu dengan berbekal buku yang hanya Nina yang mampu menguasai kekuatan di dalamnya. Sebuah buku sihir berusia ratusan tahun, sebuah buku yang berisi kutukan.

Apakah Nina dan Simon berhasil mengembalikan keadaan kota itu? Atau malah berakhir dalam penjara bawah tana, tempat orang-orang gila mengakhiri pencarian tentang apa yang mereka sebut sebagai “kebahagiaan”?

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita