La Terra Delle Lacrime 3
Oleh: Sunita Kasih
Simon
Pagi itu Simon mendapati dirinya telah berada di gudang bawah tanah milik neneknya. Untuk seorang anak berumur lima tahun mungkin ini bukan sesuatu yang masuk akal, terbangun dalam ruang penuh barang-barang aneh serta sedikit berdebu dalam keadaan sendirian dan tanpa menangis.
Tak ada pucat yang menempel pada bibir Simon, ia ingat persis bagaimana Ibu dan neneknya bercerita tentang hidup yang kadang tak akan sesuai rencana, tentang balon gas yang tiba-tiba terlepas dari genggaman lalu terbang, tentang es krim coklat yang tak sengaja dijatuhi kotoran burung saat di taman atau tentang anak burung yang dipaksa belajar terbang. Sebab neneknya selalu berkata, Simon terlalu hebat untuk negeri yang ia tempati.
“Ah, aku teringat hal itu lagi,” Simon menggaruk kepalanya yang sedang tak gatal sama sekali. Diambilnya gelas berisi air putih yang sendari tadi telah berada di sebelah kanan tangannya.
Ia menghabisi apa yang ada di dalam gelas tersebut, melirik foto di lemari kaca yang sedikit berdebu itu lalu melihat sekeliling tempat ia duduk.
Di depannya meja makan panjang dengan beberapa lilin dan peralatan makan tersusun rapi, di tengahnya terdapat buah apel, anggur dan apricot yang berada dalam satu keranjang rotan.
“Bagaimana mungkin kalian meninggalkan aku sendirian?” Simon menjatuhkan kepala serta bahunya di atas tangan yang telah ia silangkan di atas meja.
Pikiran Simon kembali berputar, ingatannya terhenti di satu titik ketika ia sedang berada di ruangan ini, sepuluh tahun yang lalu dengan berbagai macam ekspresi berkumpul di satu meja makan. Ia mengingat bagaimana kedua orang tuanya mencoba menjelaskan tentang apa yang terjadi, pun neneknya, dengan lengkung senyum juga elusan lembut yang mendarat pada punggung Simon, neneknya mencoba menjelaskan bagaimana ia harus tetap tinggal dan berdiam diri di ruang ini apapun yang terjadi.
Ingatan Simon tentang rumah ini begitu pekat, langit-langit rumah itu seolah telah menampung banyak ingatan dan harap yang melambung dari dalam rumah ini.
“Sebetulnya, bagaimana pun semua harus kembali seperti semula, baik-baik saja meski yang pergi tetap tak mampu kembali,” perlahan, telinga Simon diisi dengan kalimat yang neneknya pesankan untuk Simon.
“Apa yang harus kukembalikan? Argh!” Simon menggerutu.
Setelah kejadian beberapa tahun yang lalu, Simon dipaksa untuk menjadi mandiri oleh keadaan. Meski sebetulnya dia tidak pernah sendiri.
Pohon apel di samping rumah neneknya itu tidak pernah berhenti berbuah, begitu pula dengan bahan pangan dan perabotan di ruang makan bawah tanah itu, semua tampak terawat meski terkadang sebagian almari tetap berdebu. Namun bagi Simon itu bukan hal yang aneh lagi, sendari kecil ia telah melihat barang-barang ajaib yang keluarganya gunakan.
Simon menjalani kehidupan dengan menyenangkan, berkumpul dengan keluarga, berjalan di taman, menanam bunga tulip bersama ibunya, membantu memanen apel juga mengunjungi taman yang berada di tengah kota.
Taman itu cantik dengan pinggiran yang dipenuhi bunga lilly dan tulip kesukaan ibunya, di sudut kanan setelah pintu masuk taman terdapat seorang pria yang tak telalu tua yang sedang sibuk membuat permen kapas dan menjualnya pada anak-anak, tak jauh dari penjual permen kapas itu terdapat ayunan juga perosotan yang tampak berwarna-warni catnya, belum lagi dengan penjual balon dan mainan, bagi Simon ini adalah hidup yang diimpikan semua orang.
Neneknya juga sering membacakan dongeng pada Simon, dengan beberapa kejutan kecil, neneknya selalu mampu membuat binar mata Simon terpancar juga tawa Simon mengudara. Tak ada yang berubah, semua masih terasa ajaib pun ketika Simon menyadari bahwa dirinya sedang berada di ruang persembunyian neneknya dengan seorang diri. Ruangan itu menjadi saksi bagaimana bahagianya sebuah keluarga besar yang ada Simon di dalamnya, juga menjadi saksi bagaimana Simon secara tiba-tiba telah memeluk kesendirian.
Ibu dan semua keluarga terdekatnya selalu meyakinkan Simon bahwa hidup akan berjalan dengan ajaib dan tak terduga namun pada akhirnya semua akan bermuara pada kebahagiaan, ini seperti melepas balon untuk kemudian diberi permen kapas yang manis. Meski seperti itu, Simon tetap harus melewati sebagian waktu dengan seorang diri. Menjalani kehidupan dengan berbekal apa yang keluarganya katakan dan wariskan, sebab Simon merasa ada sesuatu yang mereka semua andalkan dari dalam diri Simon—meski semuanya telah meninggalkan Simon bersama kesendirian.
Mungkin inilah yang membuat Simon kerap kali dianggap seseorang yang suka dengan hal misterius oleh Nina. Simon yang suka menjelajahi tempat-tempat misterius juga cara pandangnya yang berbeda. Seolah melihat dari sudut yang lain daripada semua orang di kota ini. Ini cukup menyenangkan bagaimana Simon bisa bertemu dengan Nina.
Adalah beberapa tahun yang lalu sewaktu Simon baru mengenal Nina. Simon merasa aneh dengan Nina yang tampak tidak seperti dirinya. Simon bertemu dengan Nina di taman, ketika Nina tampak merunduk dengan muka masamnya. Tentu saja Simon tak langsung memperkenalkan dirinya pada Nina. Simon bingung harus bagaimana memulai percakapan yang sebetulnya ia sudah kenal dengan orang tersebut namun kenyataannya orang itu belum kenal Simon.
Ibu Simon kerap menceritakan tentang gadis dengan rambut hitam magenta yang kelak akan ia temui, dengan senyum yang manis juga alis dan bulu mata yang tebal, Simon akan membantu gadis tersebut jadi membaik.
“Bahkan bukan hanya gadis itu saja, kalian akan memperbaik semuanya.” Simon mengingat kata-kata ibunya.
Simon mengingat bagaimana dahulu ia memperhatikan gadis itu, dia berdiri agak jauh dari Nina, tapi sayangnya Nina tak pernah melihat dia sebagai salah satu anak yang juga ada di taman. Nina selalu duduk di ayunan yang sudah berkarat dengan wajah masam juga kadang dengan mata sembab, dengan gerutu juga kadang sesegukan, namun yang tak pernah berubah adalah tas maroon bercorak tongkat sihir dan kitab sihir itu. Selalu ia bawa bagaimana pun situasi hatinya.
Hingga suatu hari Simon mencoba memberanikan diri untuk menyapa Nina. Kala itu Nina benar-benar tampak kaget melihat Simon. Jelas saja, selama ini Nina memang tak pernah menyapa pun disapa orang asing.
“Boleh aku duduk di ayunan sebelahmu?” Nina diam.
“Nanti kau boleh bercerita denganku. Kau mau apel?” Simon kembali menyapa dan melayangkan pertanyaan.
Nina menatap Simon dengan dalam, ia berpikir bahwa di negeri yang entah apa namanya itu Nina betul-betul baru kali ini melihat orang macam Simon. Tadinya yang ia tahu hanya orang-orang yang berjalan dengan topi pun jaketnya masing-masing, jangankan sapaan, melirik pun tak pernah. Orang-orang hanya sibuk memperlihatkan raut wajah masam dengan gerutu juga mata sembab atau dengan gemerutuk gigik.
Penawaran apel itu menjadi salah satu cara bagaimana Simon dan Nina bertukar kata. Hingga semakin lama Simon semakin sering bertemu Nina, meski untuk menjadi seakrab sekarang butuh beberapa tahun yang dilalui dengan sedikit kesulitan. Bagi Simon bertemu Nina adalah membuka satu jendela pada ruangan yang kelam, dan jendela itu telah memberi cela bagi cahaya untuk masuk.
“Ah, matamu sembab lagi. Buruk rupa!” Simon meledek Nina
“Heh? Maksudmu?” Nina melirik simon dengan tatapan yang tajam.
“Loh tadi kulihat matamu sembab, kenapa sekarang yang lebih tampak jelas malah muka masam-mu?”
“Ah, Simon. Sudahlah. Kau hanya membuat beberapa detikku menjadi tak berharga sebab mendengar celotehmu itu.” Simon nyengir kuda.
Nina menatap Simon dengan dalam. Tak pernah sekali pun Nina melihat seseorang di kota bahkan negerinya itu membentuk garis bibir serupa yang dilakukan Simon.
“Kau sebetulnya dari mana?” tanya Nina dengan serius.
“Maksudmu?”
“Ya, asalmu dari mana? Kenapa kau berbeda dari kebanyakan orang-orang di kota ini.”
“Nina, aku dari kota ini juga!” teriak Simon sambil meloncat.
Nina mengerutkan dahi.
“Nina, kau pernah membayangkan suatu perubahan tentang kota kita tidak?” Nina menggelengkan kepala.
“Sekarang coba kau bayangkan bagaimana taman ini tak hanya diisi daun kering dan benda-benda berkarat. Kau bayangkan ada banyak orang-orang yang dibagikan apel juga roti secara cuma-cuma, kau bisa bayangkan bagaimana wajahnya?” tanya Simon.
“Seperti ini,” Simon menampakkan ekspresi senyum lebar kepada Nina.
Pupil mata Nina membesar, tampak dimatanya binar juga beberapa khayalan yang menembus kepalanya tentang bagaimana wajah orang-orang yang dengan riang mengambil apel gratis, seperti wajah Nina—tanpa Nina sadari.
“Kau juga sama sepertiku,” ucap Simon.
Kala itu Nina tak menjawab ucapan Simon, Nina masih diam dan terus membayangkan bagaimana wajah orang-orang yang diceritakan Simon. Semenjak itu semua tampak terasa lebih mudah. Simon dengan maksud untuk dekat dengan Nina pun Nina dengan harap dapat merasakan lebih dekat dengan kehidupan.
Sebetulnya, dahulu Simon tak serta-merta berani keluar rumah dengan sepedanya menuju taman. Dia butuh beberapa hari untuk menjelajahi jalanan menuju taman. Sebab rumah yang ia tempati bukan berada di tengah kota, itu hanya bertempatan di pinggir kota sebelum tempat pembuangan sampah.
Seingat Simon, dahulu ibunya sering mengajak Simon berjalan-jalan di daerah sekitar tempat tinggalnya, namun tak pernah Simon melihat satu tempat dengan sampah begitu banyaknya. Asap-asap dan cairan busuk, pun terdapat satu rumah reot menghiasi lahan itu.
“Bukankah hidup adalah sebuah petualangan?” Simon berucap pada dirinya sendiri. Ucapan itu bagai mantera yang membuat Simon dapat bertahan hingga kini, menjalani semuanya dengan tanpa orang tua yang dahulu selalu mendampinginya.
“Jangan merunduk dan bermuka masam lagi, tenanglah. Kau akan selalu kuberi apel—jika kau mau,” Simon menyenggol bahu Nina.
“Bagaimana bisa kau menceritakan tentang taman-taman bunga yang banyak warnanya, Simon?” Nina membalas tawaran Simon dengan pertanyaan.
“Karena aku suka mencari tahu,”
“Kau cari tahu di mana?”
“Di..” Simon tidak melanjutkan kata-katanya.
“Tas milikmu!” lanjut Simon dengan teriakan yang kencang.
“Hah? Aneh!” Nina heran, namun bibirnya sedikit membentuk nyengir kuda yang sering Simon tampakan pada Nina.
Simon menatap Nina, ia tahu berapa banyak kesedihan yang Nina tampung pada mata cantiknya itu pun ia merasa apa yang Nina rasakan di kota ini. Negeri aneh dengan nama dan situasi yang sulit dipahami semua orang.
Ibu, Ayah dan Nenek yang dahulu sempat menceritakan sedikit tentang apa yang terjadi di hari ini sedikit menjadi mantera penguat langkah kaki Simon untuk terus berjalan di jalanan yang telah lembab dengan air mata.
Nina sering bertanya tentang siapa Simon dan bagaimana ia bisa sampai di taman tempat Nina sering berdiam diri. Namun selalu, Simon seperti tak punya kehabisan cara untuk mengelak dan membuat binar mata Nina kembali terlihat.
“Ya, andai kau tahu tentang dahulu dan esok Nina, aku tidak akan tahu ekspresi wajah apa yang kau tampilkan padaku,” Simon menggumam dalam hati.
“Aku mau pulang,” Nina berdiri.
Ingatan tentang pertemuan awal dengan Nina selalu membekas di pikiran Simon, bagaimana mungkin ia bisa lupa. Bukankah kehidupan akan dimulai ketika binar mata milik Nina itu kembali bersama gores lengkung senyum di bibirnya?
“Aku temanmu, Nina,” Simon mengakhiri lamunannya.(*)
Bersambung…
Sunita Kasih asal kota Lubuklinggau Sumatera Selatan, penyuka teh melati juga sepiring pengalaman yang disajikan dengan hangat. Kamu bisa temukan Sunita di instagram dan facebook : sunitakasih serta twitter : @sunitakasiih
Blurb:
Nina menyadari satu hal setelah Simon memberikan buku itu padanya—La Terra Delle Lacrime—bahwa ada yang sangat salah dari kota yang ia tempati sekarang. Abu-abu, asap, sunyi, gemeretuk gigi, ayunan taman yang berkarat, bangunan yang berlumut, juga gagak yang bertengger di pepohonan jalan raya itu, tanpa Nina sadari telah menyadarkan Nina atas apa yang terjadi.
Setelah mengetahui satu rahasia besar, ia kembali menemui Simon untuk meminta penjelasan lebih tentang dirinya—bahwa ia bukanlah manusia biasa. Ketika Nina memutuskan untuk pergi, Simon yang terlebih dahulu telah mengetahui hal ini mencegah kepergian Nina dan mulai merancang sesuatu dengan berbekal buku yang hanya Nina yang mampu menguasai kekuatan di dalamnya. Sebuah buku sihir berusia ratusan tahun, sebuah buku yang berisi kutukan.
Apakah Nina dan Simon berhasil mengembalikan keadaan kota itu? Atau malah berakhir dalam penjara bawah tana, tempat orang-orang gila mengakhiri pencarian tentang apa yang mereka sebut sebagai “kebahagiaan”?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita