La Terra Delle Lacrime 2
Oleh: Sunita Kasih
Buku Misterius
Jauh di dalam hati Nina, ia mensyukuri sesuatu, andai dia tak mengikuti tukang koran beberapa tahun yang lalu, mungkin hari ini buku itu tidak akan sampai padanya, jangankan buku membaca pun dia tak akan bisa, karena bagaimanapun ia merasa bahwa kemampuannya membacalah yang membuat Simon memberikan buku itu.
“Aku antar kau sampai rumah Bibi Lissy,” ucap Simon.
“Tidak usah, kau antar sampai depan gang saja, kau mungkin akan dihajar Bibi Lissy lagi jika ia melihatmu,” Nina menjawab.
“Ah, iya. Perempuan gendut itu.”
Simon mengayuh sepedanya dengan kencang, ia takut bahwa sewaktu-waktu gelandangan yang berada di jalanan sebelum gang menuju rumah Bibi Lissy itu membuat ulah.
“Nah, jangan lupa kau baca buku itu,” Simon menghentikan sepedanya sembari berbisik pada Nina tepat di depan gang arah ruma Bibi Lissy.
Nina bergegas turun dan memegangi tas itu, ia mengangguk.
“Aku langsung pulang saja ya, biar lusa aku jemput kau di sini,” seru Simon.
“Baiklah.” Simon tampak berbalik arah dan mengayuh sepedanya kembali.
Nina melanjutkan perjalananya hingga tak butuh waktu lama gang itu telah selesai dilewatinya. Setidaknya, sampai kini belum ada seorang pun yang berhasil mencurigai Nina sebagai gadis pembawa sesuatu yang misterius.
Entah harus bagaimana menjelaskan sore yang beranjak petang kala itu. Nina juga tak punya cara yang pas untuk menjelaskan bagaimana Simon bisa menemukan buku ini. Seingatnya, Simon senang berkutat dengan berbagai hal misterius, termasuk rumah tua di tempat pembuangan sampah di ujung kota.
Kreek. Suara pintu berbunyi, berat seperti perjalanan rumah yang dihuni Nina ini dahulu.
“Dari mana saja kau? Cepat bereskan dapur. Karena kau telat pulang, malam ini kau tak usah keluar dari kamarmu saat makan malam nanti!” Nina mendengar teriakan selepas ia meletakan sepatunya.
Nina tahu bahwa hari-hari akan berlangsung sama. Dia dengan Bibi super cerewetnya juga saudara-saudaranya yang selalu menyuruh ini dan itu padanya. Bau menyeruak, hidung Nina tak pernah tahan berlama-lama berada di ruang tengah tempat saudara dan bibinya sering berkumpul. Tak heran, badan sebesar itu tentu mengeluarkan bau keringat yang tak mengenakkan.
“Kebetulan sekali, malam ini aku memang akan diam di dalam kamar saja,” bisik Nina pelan sambil menghela napas.
Nina meletakan buku yang tadi Simon berikan di atas mejanya yang berada di dekat jendela. Tak usah banyak mengkhayal tentang sebagus apa kamar yang Nina tempati. Itu hanya ruangan sempit yang telah dipenuhi berbagai koran bekas juga kertas-kertas potongan majalah.
Di sudut kanan terdapat kasur lapuk yang tak pernah diganti seprainya, apalagi dijemur. Kasur itu sudah ada di sana sejak Nina masih kecil. Di belakang pintu telah tertancap paku, tempat Nina biasa menggantungkan jaketnya.
Di atas meja Nina telah berserakan majalah, Koran juga kertas-kertas berisi tulisan yang sering ia baca, di sebelah lampu belajarnya terdapat satu pot berisi bunga yang belum pernah memiliki kembang sekali pun. Bibitnya ia dapati dari Simon, tanahnya tampak sedikit kering dengan beberapa batu kerikil yang sengaja Nina letakkan di sana.
Entah bagaimana selama enam belas tahun ia lewati dirumah ini. Tanpa perbincangan atau kehangatan bersama keluarga. Ah, apa jangan-jangan ini memang negeri yang tak kenal kehangatan? Dimana hanya ada angin yang membawa cerita yang sendu juga terasa menusuk. Tidak ada yang perlu heran jika berada di negeri ini. Semua keluar dengan jaket tebal juga wajah tanpa senyuman. Ah iya, apa mereka kenal senyuman?
Mungkin di balik bangunan yang berlumut hijau kecoklatan itu hanya ada perdebatan juga tangisan dari cerita-cerita sendu dan kepedihan. Tak heran jalanan tampak selalu basah dengan genangan, langit yang tampak mendung serta kicau burung yang hampir tak pernah ia dengar. Sepanjang jalan mesin pembuat roti dan derap langkah juga beberapa suara kendaraanlah yang memenuhi telinga Nina, sesekali ia mendengar suara tangisan juga dua atau lebih orang sedang melangsungkan perdebatan.
Nina ingat salah satu tetangganya yang memiliki wajah tak terlalu buruk, hidungnya mancung dagunya lekuk mangga namun dahinya selalu mengkerut, bibirnya selalu melukiskan huruf V yang di putar seratus delapan puluh derajat. Namun itu yang menjadi alasan terkuat kenapa Nina takut untuk berbicara dengannya. Sebagian tetangganya yang lain terlihat selalu dengan mata sembab, hidung yang merah tomat serta tangan yang terlihat sedikit gemetar.
Ia sering memperhatikan bagaimana cara mereka berjalan, berbicara atau memakai jaket dan tas sandangnya. Namun yang didapati Nina tak pernah jauh dari gambaran kesedihan, khawatir, gusar, serta amarah.
“Dongeng La Terra Delle Lacrime,” Nina membaca dengan suara yang dipelankan,
“La Terra Delle Lacrime? Sepertinya aku pernah membaca kata-kata itu di koran.” Nina beringsut menuju lemari kecil di sebelah kasurnya.
Dia pindahkan beberapa tumpukan koran yang sudah benar-benar berdebu itu secara perlahan. Tak heran kertas itu sudah begitu lama tertumpuk, bisa saja dengan sekali tarikan yang cepat akan membuat kertas robek dan berantakan.
“Ah! Ini dia,” Nina mengangkat satu lembar koran, kecoa yang berada di balik koran itu seketika kabur bersamaan dengan tangan Nina yang berusaha membersihkan debu di atasnya.
Sebetulnya Nina hendak mencocokan setiap kata yang berada pada judul koran dengan judul buku yang ia baca tadi namun rasa penasarannya dengan isi di dalam buku itu lebih besar.
Nina meletakkan secarik kertas bagian dari koran itu di samping buku. Dibukanya buku itu dan mulai membaca halaman pertama. Dahi Nina mengerut heran, ia mencoba membaca setiap kata yang rasanya hampir tak ditulis dengan tinta, begitu pudar.
Entah tinta yang memudar atau lampu di kamar Nina yang begitu redup.
Nina merasa sedikit heran, lembar itu ternyata benar-benar kosong. Diperiksanya satu persatu halaman yang ada dalam buku itu namun yang ia temui hanya huruf N yang berada di sudut tengah atas kertas pada halaman pertama.
“N? buku setebal ini hanya berisi satu huruf N?” Nina menggerutu kesal.
Nina menghela napas. Menyandarkan tubuhnya pada kursi tempat ia duduk. Ia lelah membolak balikan halaman juga buku itu demi mencari tahu bagaimana cara membaca buku tersebut.
“Ah iya! Sepertinya Simon mengatakan sesuatu padaku tadi,” Nina mulai mengingat dan bergegas mendekatkan tas maroon itu padanya.
“Mungkin saran Simon bisa aku ikuti,” Nina mengambil sesuatu di dalam tasnya yang memang sangat jarang ia keluarkan. Sepotong ranting kering yang bentuknya persis seperti gambar tongkat sihir yang menjadi corak tas Nina.
“Kali saja ranting itu tongkat sihir yang sesungguhnya, kau hanya perlu mengayunkan beberapa kali lalu meletakkan ujung tongkat pada buku itu sembari membaca mantera.” Nina mengingat perkataan Simon. Ah, apa-apaan ini.
Nina merasa tidak mungkin, namun rasa penasarannya terhadap rahasia apa yang ada di balik buku itu membuat Nina tak malu bertingkah konyol serta menganggap mungkn pada sebuah keajaiban dan sihir.
“Lalu? Apa yang harus kubisikan? Mantera apa?” Nina kembali menggerutu pelan.
Ia memeriksa tasnya kembali dibaliknya sisi dalam tas itu menjadi sisi luar. Nina mengamati setiap huruf yang berserak dalam tas Nina itu membentuk kata apa. Maksud hati Nina siapa tahu ini ada hubungannya, jika tidak ya sudah biar ia kembalikan saja buku itu pada Simon.
Di sudut bawah ta situ Nina menemui kalimat yang berisi seruan.
“Nina yang membuka? Maksudnya?” Nina mengamati beberapa kata yang letaknya seperti sedang menerjemahi apa bahasa lain dari kalimat Nina yang membuka.
“Opviaburjh sama dengan Nina yang membuka? Ah, terserahla, mungkin saja ini mantera yang dikatakan Simon!”
Nina merasa dirinya seseorang yang aneh saat ini namun, entahla terkadang menjadi aneh juga suatu hal yang menyenangkan baginya.
“Baiklah, mari kita mulai. 1, 2, 3, Opviaburjh!” Nina membisikan mantera sembari menghentikan ayunan tongkatnya di atas buku itu.
Nina terdiam, bagaimana ia bisa melakukan hal konyol seperti ini. Bertingkah seperti dirinya seorang penyihir yang memiliki tongkat. Dalam hati Nina ia mulai mengumpat kegilaan Simon yang kini sedikit menular kepadanya.
Tak lama Nina mengambil secarik kertas lusuh yang ia sempat cari di tumpukan Koran tadi. Matanya terbelalak melihat buku yang diberikan Simon itu sedikit mengeluarkan cahaya emas di sela lembaran halamannya.
“Ah, ada apa ini?” Nina mendekatkan dirinya pada buku tersebut.
Nina diam memperhatikan buku itu, tak lama cahanya pun sedikit meredup. Nina beranikan diri untuk mengambil dan mencoba membuka kembali buku itu.
Alangkah kaget dan berbinarnya mata Nina ketika ia mendapati buku itu tak lagi berisi lembaran halaman kosong tanpa tulisan. Lembaran itu kini berisi tulisan dengan tinta yang berwarna hitam pekat serta di selipkan tinta emas pada kalimat yang Nina tak mengerti itu ditulis dengan bahasa apa.
“La Terra Delle Lacrime,” Nina kembali membaca dengan pelan judul buku itu.
“Mengenalkan pada Nina?” Nina membaca sub judul pertama pada buku itu dengan nada bertanya.
Dahinya tampak mengkerut kebingungan, ya, maksudnya kenapa malah ada nama Nina? Ini buku yang ditemukan Simon atau memang buku ini memang ditulis Simon untuk Nina? Ah, bukankah Simon tak pandai membaca? Kenapa juga dia mesti membuat buku semacam ini.
Pada halaman pertama buku ini terdapat berbagai penjelasan mengenai suatu tempat yang sempat menjadi sebuah kota dengan tawa dan senyuman yang mengudara di seluruh kota. Di gambarkan bagaimana taman yang yang Nina tahu hanya berisi ayunan dan beberapa jungkat-jungkit yang sudar berkarat itu menjadi taman yang di penuhi dengan berbagai jenis bunga di sudutnya serta berisi penjual balon dan permen kapas,anak-anak bermain di sana. Tak ada yang membawa bawang goreng setengah matang sebagai camilan, melainkan permen dan kue mangkuk buatan orang tua mereka. Dibacanya juga bahwa di sana tak ada orang yang bermata sembab atau dahu yang mengkerut. Mereka bercakap layaknya orang yang sedang berdebat namun mata mereka berbinar serta di sela percakapan itu mereka saling melemparkan tawa dan senyum.
Tanpa sadar ketika Nina membaca halaman pertama yang menjelaskan betapa berbedanya kota itu dengan kota Nina yang sekarang, mata Nina turut berbinar, bibir tebal raspberry itu membentuk lekuk huruf C yang dibalik ke kiri Sembilan puluh derajat. Nina melohat satu simbol di sudut kanan akhir halaman itu titik dua dengan tutup kurung yang di bawahnya bertuliskan sebuah senyuman.
“Ah, seharusnya aku membaca ini bersama Simon.”(*)
Bersambung.
Sunita Kasih asal kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan, penyuka teh melati juga sepiring pengalaman yang disajikan dengan hangat. Kamu bisa temukan Sunita di -instagram dan facebook : sunitakasih serta twitter : @sunitakasiih
Blurb:
Nina menyadari satu hal setelah Simon memberikan buku itu padanya—La Terra Delle Lacrime—bahwa ada yang sangat salah dari kota yang ia tempati sekarang. Abu-abu, asap, sunyi, gemeretuk gigi, ayunan taman yang berkarat, bangunan yang berlumut, juga gagak yang bertengger di pepohonan jalan raya itu, tanpa Nina sadari telah menyadarkan Nina atas apa yang terjadi.
Setelah mengetahui satu rahasia besar, ia kembali menemui Simon untuk meminta penjelasan lebih tentang dirinya—bahwa ia bukanlah manusia biasa. Ketika Nina memutuskan untuk pergi, Simon yang terlebih dahulu telah mengetahui hal ini mencegah kepergian Nina dan mulai merancang sesuatu dengan berbekal buku yang hanya Nina yang mampu menguasai kekuatan di dalamnya. Sebuah buku sihir berusia ratusan tahun, sebuah buku yang berisi kutukan.
Apakah Nina dan Simon berhasil mengembalikan keadaan kota itu? Atau malah berakhir dalam penjara bawah tana, tempat orang-orang gila mengakhiri pencarian tentang apa yang mereka sebut sebagai “kebahagiaan”?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita