La Terra Delle Lacrime 1
Oleh: Sunita Kasih
Kantung Lusuh
“Hei! Mau kemana lagi kau? Dasar anak pemalas! Aku pastikan kau tidak dapat jatah makan malam hari ini!” Langkah kaki Nina mendadak menjadi lari kecil. Ia tahu bahwa wanita yang baru saja berteriak itu tidak akan diam saja melihat Nina yang hendak pergi ke luar rumah. Jika bisa disusul mungkin rambut Nina yang coklat sedikit berwarna magenta itu akan dijambak dan dipaksa kembali membersihkan rumah yang tak pernah terlihat rapi.
Bagi Nina ini tidaklah menyenangkan, dengan dia yang harus menjalani hari-hari dengan seluruh pekerjaan rumah, menyapu seluruh ruangan yang ada di rumah, membersihkan pakaian kotor, membuang kotoran Rocky si Anjing milik bibinya, juga terkadang harus membersihkan sisa makanan dua saudara sepupunya, Annie dan Grovie.
Dia memang hampir tidak pernah bercakap dengan dua sepupunya itu sebab dua sepupunya hanya akan menegur Nina jika mereka melihat Nina membawa makanan, Nina juga tak terlalu menyukai dua sepupunya itu. Annie dengan rambut lurus coklat tua dan wajah bulat buah semangka serta bau tubuh yang persis daun bawang yang telah didiamkan selama seminggu. Tak jauh beda dengan Annie, bau tubuh Grovie pun sama seperti daun bawang yang telah didiamkan satu minggu, entah bagaimana lagi mendeskripsikan bau tubuh mereka, Grovie berambut pendek sedikit ikal, matanya berwarna tanah liat, hidungnya terlihat pesek tertekan pipi lebarnya. Sepupu Nina itu memiliki banyak kesamaan, dari tubuh yang sama berbentuk bola baseball, kebiasaan meletakan sisa makanan sembarangan, juga tidur dengan dengkuran yang keras.
Lain lagi dengan Bibi Lissy, rambutnya ikal berwarna coklat, tubuhnya gendut, kulitnya putih sedikit berbintik coklat, alisnya tebal membentuk celurit, dan kesamaan mereka semua adalah mereka sangat jorok. Selain suka memerintah dan meneriaki Nina, Bibi Lissy juga sangat menyukai bawang goreng setengah matang.
Nina bergegas mengenakan sepatu putihnya yang telah berwarna coklat kehitaman. Rambut hitam kecoklatan itu ia biarkan terurai, bibirnya tebal berwarna raspberry matang, hidung yang berbatang itu serasi dengan lesung pipi juga lentik bulu matanya, alisnya tebal hampir menyatu ditambah dengan bola matanya yang biru laut. Nina memang paling beda dari sepupu dan bibinya. Tak aneh, jangankan perkara fisik, soal sikap saja mereka sudah jauh berbeda.
“Bagaimana mungkin aku bisa tinggal bersama mereka!” gerutu Nina sembari menendang botol kaleng bekas.
Disandangnya tas dengan corak tongkat sihir juga buku itu, tas berwarna maroon kesukaan Nina. Setiap hari bahkan setiap waktu Nina selalu mencari cela untuk pergi dari rumah bibinya, agar dapat sekedar berjalan ke taman atau menemui Simon dan Tukang Koran. Jalanan dari rumah Bibi Lissy menuju taman memang harus melalu gang yang becek, belum lagi setelah melewati gang Nina harus melewati jalanan yang banyak gelandangannya sebelum ia bisa sampai ke jalan raya dan pergi menuju taman.
“Ah, kau sudah menunggu cukup lama?” Nina berlari kecil menuju Simon setelah menyadari bahwa Simon telah menunggu di depan gang.
“Lumayan. Kau sedikit takut untuk melewati jalanan setelah ini ‘kan?” goda Simon.
“Tentu saja!” balas Nina.
“Kau mau berjalan atau naik sepedaku?” tawar Simon pada Nina yang melanjutkan langkahnya dengan pelan.
“Naik sepedamu lah,” Nina memijakkan kakinya di dua tumpu yang terpasang pada roda belakang sepeda Simon, tak lupa meletakkan tangannya di bahu Simon sebelum Simon mulai mengayuh sepedanya.
Simon dan Nina sudah bersahabat dari kecil, Simon hapal bagaimana Nina diperlakukan di rumah Bibi Lissy. Sahabatnya yang memiliki bola mata abu-abu dan rambut coklat sedikit magenta itu tahu persis kapan harus menjemput dan menunggu Nina di depan gang yang menuju rumah Bibi Lissy. Ya, selama ini dia yang menjadi teman Nina bercerita dan bermain. Kisah Simon hampir sama seperti Nina yang tinggal tidak dengan orang tua kandungnya. Sebab dari cerita Simon Ibu dan ayahnya telah tiada sewaktu Simon berumur lima tahun, alhasil sekarang Simon tinggal di rumah ujung kota peninggalan neneknya.
Simon pernah bercerita pada Nina tentang dongeng dan kisah orang tedahulu yang pernah diceritakan neneknya pada Simon, tentang orang-orang yang belajar di satu rumah dan tentang anak-anak yang sering mengantri permen kapas di taman juga tentang Ibu dan Ayah yang bergantian mendorong kereta bayi di pinggir jalan dengan topi lebar berwarna coklat muda.
Simon memang anak yang baik juga terberkahi, maksudnya selama lima tahun ia tak pernah sekali pun bercerita kepada Nina bahwa ia sedang kelaparan atau keletihan mengerjakan pekerjaan rumah, tidak seperti Nina yang sangat sering mengeluhkan tentang Bibi Lissy yang tidak memberinya makan malam juga memerintahnya untuk membersihkan sisa makan Rocky, Annie dan Grovie.
“Kau mau ke taman ’kan?” tanya Simon.
“Tentu,” Nina menjawab dengan sedikit berteriak.
“Kau akan kehilangan jatah makan malam lagi bukan?”
“Ya. Bibi Lissy tidak akan membiarkan aku hidup dengan tenang!” teriak Nina.
“Hm”
“Kenapa kau?” teriak Nina.
“Kau mau apel?”
“Hah?” Sepeda Simon berhenti tepat di pintu taman yang sudah tampak seperti pepohonan yang tumbang.
“Ini, masukkan dalam tas kesayanganmu,” Simon melemparkan apel merah muda yang ukurannya sedikit besar kepada Nina yang telah menuruni sepeda dan berdiri tepat di samping Simon.
“Ah, kau selamatkan aku dari bencana kelaparan nanti malam!” teriak Nina.
Entah bagaimana pasal gundah dan lara rasanya selalu hinggap di pelupuk mata juga di hati Nina yang terdalam. Maksudnya, bukan Nina saja yang merasakan. Sebetulnya seluruh warga kota sepertinya turut merasakan. Bukan apa, setiap Nina keluar dari rumah yang ditemuinya adalah seluruh orang dengan wajah masam atau malah sembab, ada yang meringis atau menggerutu parah, ada pula yang diam seribu bahasa dengan wajah tertunduk juga ada yang menendang kaleng bekas dengan wajah merah nyala api.
Sedikit sulit mendeskripsikan tempat semacam apa yang Nina tinggali. Musim gugur yang tampak seperti musim hujan juga musim salju yang tampak seperti malam dengan badai. Jarang Nina dan Simon temui hari yang cerah dengan sinar matahari yang memenuhi lorong jalan juga gang sempit menuju rumah Bibi Lissy, jika ada pun hanya beberapa menit selepas itu kembali terasa mendung.
“Sstt! Nina!” Simon berbisik memanggil Nina dari ujung taman. Di ujung taman dengan satu bangunan berbentuk setengah lingkaran berwarna hijau lumut yang sedikit memudar itu Simon terlihat memanggil Nina.
Nina menoleh, tadinya memang ia sempat melamun, memikirkan semua hal dengan duduk di ayunan tua yang rantainya telah berkarat memang menjadi salah satu hal yang Nina sukai.
“Kenapa?” Nina mendekati Simon yang telah berada sedikit dalamdi lorong itu.
“Pelankan suaramu,” seru Simon.
“Maksudmu?” ucap Nina.
“Ssstt… sudah kubilang pelankan suaramu, jika ada yang mendengar bisa celaka kita.” Nina terdiam, mengangguk yakin sembari menutup mulut.
“Kau lihat ini,” Simon mengeluarkan satu benda dari kantung lusuh miliknya. Entah akan kusebut apa kantung itu, bentuknya lusuh tak karuan, persis seperti firasat buruk mengenai hari dan peristiwa yang mengandung kesialan.
Nina hanya terdiam, memperhatikan benda yang ditunjukan Simon.
“Misterius bukan? Lihatlah buku ini, aku belum pernah melihat warna yang lebih aneh dari ini,” bisiknya sambil menunjuk buku yang ia pegang.
Pupil mata Nina melebar, bibirnya masih tergores lurus. Nina tak tahu hendak memberikan kata apa yang pantas untuk simon.
“Bukankah kau sudah belajar membaca dengan Tukang Koran beberapa tahun yang lalu?” tanya Simon.
“Ya,” bisik Nina.
“Bagaimana? Kau masih suka membaca ‘kan?” Nina mengangguk.
Selama ini Nina memang gemar sekali membaca terlebih setelah beberapa tahun yang lalu ia telah bertemu Tukang Koran dan dari dialah Nina belajar bagaimana cara membaca. Di kotanya memang sulit menemukan bahan bacaan selain koran atau majalah kota, itu pun kini sudah menjadi barang yang langka sebab koran dan majalah kota hanya terbit beberapa bulan sekali, tidak setiap hari. Entah karena tidak ada yang mau mengantarkan koran atau memang pengantar dan pembuat Koran tak pernah mendapatkan bayaran atas pekerjaannya.
Tukang Koran yang dulunya sempat mengajarkan Nina cara membaca itu kini sudah jarang terlihat, rambutnya sebahu berwarna abu-abu janggut dan kumisnya pun berwarna abu-abu, ya, Tukang Koran itu persis kakek-kakek namun tidak terlalu tampak tua, terlihat dari kulitnya yang tidak terlalu keriput namun tak bisa dipungkiri rambutnya yang kian memutih.
Nina selalu suka menemui Tukang Koran di depan gang arah rumah Bibi Lissy. Disana Tukang Koran selalu siap dengan berbagai bahan bacaan untuk ia bagi pada Nina, di samping itu Tukang Koran juga selalu suka bercerita kepada Nina, ia tampak aneh bagi Nina sebab ia sedikit berbeda dengan penduduk lain. Ia suka menceritakan dongeng-dongeng yang belum pernah diceritakan orang lain kepada Nina. Dia bercerita dengan antusias, memeragakan bagaimana layangan terbang ketika ia menceritakan dongeng pesta musim semi, menceritakan makan malam dengan obrolan juga ruang yang hangat dengan mata berbinar dan muka merah jambu, membisikan bahwa setiap orang dahulu sangat suka berpelukan, saling membantu membawa belanjaan, mengikatkan rambut anak perempuan juga tersenyum.
Nina selalu merasakan apa yang Tukang Koran itu rasakan meski sebenarnya Nina tidak pernah tahu persis apa yang diceritakan juga diperagakan Tukang Koran tersebut. Pada Tukang Koran dan Simon, Nina juga menceritakan bagaimana orang tua dan neneknya yang telah tiada sewaktu Nina masih kecil. Tinggal bersama Bibi Lissy bukanlah hal yang mudah, dia dilarang membaca buku, dilarang keluar rumah, dilarang menanam bunga yang simon bawakan bibitnya dari ujung kota, juga Nina jarang bisa menonton televisi seperti yang dilakukan Bibi Lissy dan dua sepupunya.
“Kau bawa buku ini dulu, lusa kita bertemu lagi di sini,” Simon meletakan buku itu ke dalam tas Nina.
Nina mengangguk.
Simon berdiri di depan perempuan berambut panjang itu, rambutnya digerai persis akar beringin yang kian lebat menjuntai hingga kebawah. Nina yang sendari buku di masukan ke dalam tasnya itu tak berhenti memegang tas yang ia sandang, wajahnya seperti enggan menunggu untuk membuka dan mulai membaca buku itu. Bibirnya tidak sedikit pun menggores senyuman. Simon pun sama.
“Kau mau aku antar?” tanya Simon.
“Kau mau mengantarku?”
“Tentu saja, aku harus memastikan kau membawa buku itu pulang.” Nina mengangguk.
Mendung masih meraja pada langit kota mereka, angin yang menghembuskan hawa dingin tak mencegah burung gagak untuk tetap bertengger di pepohonan tua di pinggir jalan raya. Sesekali Nina menoleh ke arah rumah penduduk, di matanya gedung bertingkat itu tampak kelabu, tak ada lampu temaram beserta bunga di depan jendelanya, sesekali ia merasakan asap dari trotoar yang entah dari mana sumbernya, mungkin asap dari perapian rumah penghuni kota atau mungkin asap yang juga berada di antara bangunan satu dengan yang lain itu berasal dari tungku dan oven pembuat roti. Entahla, pasal asap samar yang serasa memenuhi kota itu memang jarang untuk menarik perhatian Nina terlalu dalam. Tapi apa yang berada di depan dan telah menjelma waktu itu telah menjadi salah satu dari sekian banyak pertanyaan Nina tentang bagaimana dia bisa berada di tempat ini.(*)
Bersambung.
Sunita Kasih asal kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan, penyuka teh melati juga sepiring pengalaman yang disajikan dengan hangat. Kamu bisa temukan Sunita di -instagram dan facebook : sunitakasih serta twitter : @sunitakasiih
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita