Kutu
Oleh: Firli Hertati
Terbaik ke-25 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Derap langkah kuda berderu, menyapu tanah berdebu. Aku hanya diam membisu. Sepi, itu yang kurasakan. Aku meraih radio usang pemberian Kang Asep sepuluh tahun yang lalu.
“Kado pernikahan buat kamu, Ning.”
Seraya menyodorkan sebuah radio berwarna hitam.
Aku tersipu. “Terima kasih, Kang.”
Pemerintah Belanda berpatroli keliling desa. Mereka memberi perintah untuk diam di rumah (quarantine/karantina).
Jika membangkang, maka akan merasakan sebutir timah panas mengoyak kulit, menembus jantung, menggelepar sekian menit, kemudian mati. Wabah ini begitu mengerikan. Terbawa pedagang Eropa sampai ke desaku. Aku ketakutan untuk sekadar keluar rumah, tidak mampu melihat kengerian yang terjadi. Langkah kaki di atas lantai kayu terdengar mendekat ke arah pintu.
“Ning, ini Akang,” ucap Kang Asep sambil mengetuk pintu.
“Iya, Kang … sebentar.”
Seraya mengambil teko dan menuangkan isinya ke dalam gelas.
“Akang, udah pulang? Bagaimana situasi di desa, Kang?” tanyaku.
Aku tidak diperbolehkan keluar rumah oleh Kang Asep, situasi sedang genting. Aku mendapat informasi terbaru dari radio dan Kang Asep. Kang Asep menghela napas, kengerian tergambar jelas di matanya.
“Mengerikan, Ning. Jalanan sepi, hanya londo yang terlihat berpatroli,” jawab Kang Asep.
“Lalu?” tanyaku penasaran.
“Mayat di mana-mana. Kondisinya mengerikan, tubuhnya menghitam, mengeluarkan bau busuk,” tambah Kang Asep. Aku menutup mulut.
“Mereka kenapa, Kang?” selidikku.
“Karena kutu, Ning. Itu yang dibicarakan majikan Akang,” jawab Kang Asep.
Aku pergi ke dapur, menyiapkan makan malam. Singkong rebus dan air putih kusodorkan ke hadapan Kang Asep. Aku tidak bisa keluar rumah, membantu Kang Asep berkebun. Kebijakan pemerintah untuk tidak keluar rumah membuat Kang Asep bekerja sendiri. Kang Asep bekerja sebagai tukang kebun di perkebunan milik londo di desaku. Jika Kang Asep libur, siapa yang akan menggarap perkebunannya.
Itu yang Kang Asep katakan ketika aku bertanya perihal Kang Asep yang masih bekerja. Ubi, singkong, dan kentang menjadi menu makanan kami sehari-hari.
“Allhamdulillah, masih diberikan rezeki hari ini, Kang,” ucapku.
Kang Asep tersenyum seraya mengusap kepalaku. Kami makan malam dengan bahagia malam ini.
*
Beberapa hari ini, Kang Asep sakit. Tetapi, dia bersikeras untuk tetap bekerja. Demam, flu, dan diare, tidak kunjung beranjak dari tubuh Kang Asep. Perasan jeruk nipis, rebusan daun jambu biji, tidak membuat kesehatan Kang Asep menjadi lebih baik. Dengan langkah terhuyung, Kang Asep menuju pintu.
“Kang, sebaiknya tidak usah bekerja, istirahat saja di rumah,” pintaku.
“Akang tidak apa-apa, Ning.”
“Tapi, Akang masih sakit.”
“Cuma flu, nanti juga sembuh.”
“Tapi, Kang ….”
“Sudahlah, Akang tidak apa-apa, jika Akang tidak bekerja, nanti malam kita makan apa?”
Aku mengantarkan Kang Asep menuju pintu, menyalami tangannya dengan takzim. Melambaikan tangan tanda perpisahan. Ternyata, menjadi pertemuan dan kebersamaan terakhirku dengan Kang Asep. Aku tidak menyadari, jari tangan Kang Asep sudah menghitam.
*
“Ning … Nining ….” Pintu diketuk berkali-kali.
“Iya … sebentar,” jawabku.
Dengan tergopoh-gopoh, aku berlari menuju pintu. Ketika aku membuka pintu, terlihat Kang Udin dengan berdiri di depan pintu. Kang Udin dan Kang Asep berkerja di kebun dan memiliki majikan yang sama.
“Ada apa, Kang?” tanyaku dengan heran.
“Asep … Ning … Asep ….” Kang Udin berusaha mengatur ritme pernapasannya.
Dengan napas tersengal-sengal karena kelelahan, Kang Udin menyampaikan berita yang membuatku berdiri diam, mematung.
“Ning, Asep dibawa ke bangsal pengobatan, di alun-alun. Dia pingsan, badannya menghitam,” ucap Kang Udin.
Aku lemas, terduduk di atas dipan kayu. Dengan panik, aku meraih kerudung yang diletakkan tidak jauh dariku.
“Ayo, Kang!”
Kang Udin mengangguk tanda setuju. Aku dan Kang Udin berlari menuju alun-alun. Bangsal pengobatan penuh sesak. Hilir mudik orang berjubah hitam, bertopeng gagak, sibuk berlarian di antara orang-orang sakit. Beberapa mayat tergeletak begitu saja di luar bangsal pengobatan.
“Madam … Madam …. “
Aku menengok ke arah sumber suara. Orang berjubah hitam dan berpakaian gagak menghampiriku. “Madam, tidak boleh di sini, berbahaya,” ujarnya.
Aku merangsek masuk ke dalam bangsal. Mataku menyapu setiap ruangan, mencari Kang Asep, suamiku. “Akang … Akang!” teriakku histeris.
Aku melihat Kang Asep berbaring di sebuah ruangan, sudah tertutup kain putih. Aku berlari mendekatinya. Langkahku dihadang orang berjubah hitam dan bertopeng gagak. Dengan paksa, mereka menarikku menuju pintu keluar. Orang berjubah hitam dan bertopeng gagak itu menjelaskan, jika suamiku terkena kutu Yersinia pestis.
Kutu itu bisa berpindah-pindah. Inangnya adalah tikus. Ketika tikus mati, kutu tersebut keluar mencari inang baru. Diduga, kutu tersebut menggigit Kang Asep ketika bekerja di kebun. Kang Asep sudah tidak bisa diselamatkan, nyawanya tidak tertolong.
“Diam!”
Aku menjerit, berteriak, menangis, memanggil Kang Asep.
*
Tetap di rumah, tidak kontak fisik dengan penderita, adalah cara ampuh menghindari kutu tersebut. Aku terdiam, melihat kedua tanganku. Jari-jariku sudah mulai menghitam. Segerombolan kutu berebut hendak keluar. Sebagian tetap diam di balik jaringan kulitku. Aku tersenyum. Tergopoh-gopoh, orang berjubah hitam dan bertopeng gagak menghampiriku.
“Madam … ikut saya, Anda sudah tertular. Karantina adalah satu-satunya langkah yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Aku pasrah mengikuti mereka ke bangsal perawatan. Setidaknya jika aku mati, aku bisa bersama Kang Asep. (*)
Jawa Barat, 18 April 2020
Firli Hertanti. Ibu rumah tangga yang hobi menulis, dan sangat menyukai matematika.
Komentar juri:
Penulis berhasil menghadirkan ketegangan wabah lewat narasinya yang singkat tetapi tepat. Ia memberikan gambaran kecil kepanikan masyarakat kita dalam menghadapi pagebluk pes, lebih dari seabad silam. Dan, lewat cerita ini, kita juga kembali dipertemukan dengan ilustrasi Plague Doctor, paramedis bertopeng burung gagak; sosok yang memiliki kesan mengerikan tersendiri jika mengulik sejarah Wabah Hitam.
-Devin
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata