Kursi Nomor 7A, 7B, 7C, 7D dan 7E

Kursi Nomor 7A, 7B, 7C, 7D dan 7E

Kursi Nomor 7A, 7B, 7C, 7D dan 7E
Oleh: Evamuzy

Kamu pernah berada di situasi yang membuatmu berpikir itu adalah rezeki atau malah cobaan? Ya, aku pernah.

Ceritanya begini. Dua bulan yang lalu, aku bersama Ayah, Ibu dan Kakak pergi ke ibu kota. Ada saudara jauh yang menikah. Dari satu kota kecil di Jawa Tengah, kami berangkat menggunakan kereta. Jauh-jauh hari, Kakak sudah membelikan tiket kereta untuk kami berempat. Gadis itu memesan lewat sebuah aplikasi yang melayani pembelian tiket kereta. Cukup dengan mengetik nomor KTP kami dan mentransfer biayanya.

Kami pun akhirnya berada di stasiun kereta kota.

Aku merengut saat Kakak menyerahkan tiket yang tertulis namaku. Bagaimana tidak? Nomor kursi di tiket milik Ayah adalah 8A, Ibu 8B dan Kakak sendiri 8C. Sementara nomor kursiku adalah 7F. Itu artinya aku terpisah tempat duduk dengan mereka. Jadi aku akan bersama siapa selama perjalanan yang kudengar akan ditempuh selama hampir 6 jam ini? Membayangkan harus terpisah dengan mereka, rasanya aku ingin menangis. Bukan. Aku bukan bocah, memang. KTP saja sudah kumiliki. Aku gadis berusia dua puluh dua tahun. Namun, aku bukanlah sosok yang mudah nyaman dan dekat dengan orang baru. Buku dan kabel headset selalu menjadi benda yang tak pernah ketinggalan kubawa untuk menemani rasa sepi di tengah keramaian. Ya, sebut saja aku seorang introvert.

Setelah duduk sekitar sepuluh menit di kursi tunggu, kereta akhirnya datang. Petugas stasiun yang berseragam biru muda menuntun kami ke gerbong dua terakhir. Katanya, itulah gerbong kami. Membawa barang bawaan yang tidak sedikit, kami berjalan cepat menuju gerbong. Tiket kusimpan di saku gamis. Langkah kaki kami pun sampai di dalam gerbong.

Singkat cerita, kami sudah duduk di kursi masing-masing, yang tertera di tiket. Barang bawaan juga sudah di bagasi atas. Lalu benar saja, tempat dudukku terpisah dari Ayah, Ibu dan Kakak. Mereka berada di kursi belakang tempatku. Berjejer bersama sepasang bapak-bapak dan ibu-ibu, juga seorang gadis yang mungkin saja putrinya. Aku tak begitu menghiraukannya, yang terpenting sekarang adalah tempat dudukku.

“Ibu, apa aku bisa pindah duduk di tempat kalian?” tanyaku sambil berdiri menghadap mereka.

“Tidak, Sayang. Di sini penuh. Sudah, kau di situ saja, ya.”

“Tapi nanti aku sama siapa? Aku tukar tempat, ya? Ayah di sini, mau?” Aku mencoba melakukan tawar-menawar.

“Tidak, Nak. Nanti ada pemeriksaan dari petugas. Masa namamu, tapi orangnya Ayah. Sudah. Duduk tenang saja, kita tidak berjauhan, kok.”

Saat aku tengah merajuk dan merajuk, beberapa orang datang. Biar kusebutkan satu-satu, ya. Mereka adalah seorang ibu-ibu seumuran lebih tua dari ibuku, seorang wanita muda yang sepertinya lebih muda dariku, seorang gadis remaja yang mungkin masih SMP, seorang pemuda yang sepertinya seusiaku dan seorang balita, belum bisa berjalan sepertinya. Yup, ada bayi di antara mereka. Lucu. Bayi perempuan. Cantik. Pipinya gembul, mirip selebgram cilik yang sering wira-wiri di beranda Instragramku.

“Kursi nomor 7A, 7B, 7C, 7D, dan 7E?” Pemuda yang merupakan satu-satunya laki-laki di antara mereka mengecek nomor kursi di sekitarku. Aku hanya mengangguk-angguk meski tidak sepenuhnya ditanya.

Aku mencoba berdamai dengan keadaan, mempersilakan yang lainnya untuk duduk. Mereka mengambil tempat di sekitar tempatku. Kursi di gerbong kelas ekonomi ini memang berjumlah enam nomor yang saling berhadapan. Aku berjejer dengan si gadis remaja dan si pemuda. Sementara wanita muda, ibu-ibu dan bayi perempuan itu duduk berhadapan dengan kami.

Petugas kereta datang memeriksa tiket kami satu per satu.

Untuk mengurangi rasa tak nyaman, aku mencoba mengobrol dengan mereka. Menanyakan asal dan tujuan. Dari sedikit perbincangan itu, aku tahu, asal mereka jauh lebih pelosok dari tempat tinggalku. Meski masih satu kota.

“Mamah dedeknya mana, Bu? Enggak ikut?” tanyaku kepada ibu-ibu yang seusia ibuku itu.

“Lah, ini ibunya, Mbak.” Si ibu menunjuk wanita muda di sampingannya. Sementara si bayi ditidurkan di satu jatah kursi. Dia sedang mengenyot jempol. Lucu. Tapi tunggu! Oh, jadi perempuan muda itu ibu si bayi. Padahal benar sekali, wajahnya terlihat masih ABG. Dan itu terbukti saat kutanyakan usianya. Lima tahun lebih muda dariku. Dia tersenyum tipis.

“Jadi ayahnya?” tanyaku lagi. Kali ini benar-benar aku seperti Najwa Shihab. Jadi tukang berondong tanya. Entah ke mana sosok introvert-ku itu pergi. Namun, tak apalah. Daripada aku larut dengan rasa ketidaknyamanan.

“Yang itu, Mbak.” Si wanita muda—bahkan masih sangat muda bagiku—menunjuk pria yang seumuran aku itu. Dia sibuk mengakrobatkan kedua ibu jarinya di atas layar ponsel. Ah, apalagi kalau bukan main game online. Mendengar jawabannya, aku hanya ber-oh saja. Pemandangan yang sangat tidak enak di mata. Saat seorang Ayah lebih sibuk dengan ponselnya ketimbang bayi menggemaskan mereka.

Sementara gadis remaja di sampingku tak jauh berbeda. Seperti sudah menganggap dia sedang di hutan saja, tidak ada orang. Yang ada hanya kehidupannya di dalam layar telepon genggam. Sesekali dia berdecak kesal, lalu tidak lama berganti tawa dan cekikikan. Sudah seperti apa? Itu, loh, yang suka jalan-jalan sendirian di pinggir jalan raya. Yang sukanya senyum sendiri tanpa tahu apa alasannya. Alah, jadinya nyinyir, kan, aku.

Sementara kedua wanita di depanku mulai sibuk dengan si dedek bayi yang mulai rewel. Beberapa kali merengek tanpa diketahui inginnya apa. Lalu lama-lama menjadi tangisan yang kencang.

“Pengin mimi mungkin, Mbak.” Kukeluarkan suara. Mungkin saja bisa membantu. Tapi wanita muda itu bergeming. Masih mencoba menenangkan bayinya dengan ditimang-timang.

“Sini sama Mbah Putri, Sayang.” Sang Nenek mengulurkan tangannya untuk bergantian menggendong. Namun, saat si bayi berpindah timangan, tidak ada yang berubah. Justru tangisnya semakin kencang. Aku semakin yakin kalau dia itu sebenarnya lapar.

“Mas. Ini gantian.” Wanita muda beralih kepada suaminya. Betul sekali, dari tadi, kok, dia tetap anteng sama ponselnya, ya. Bikin kesal memang.

Tak ada jawaban.

“Mas.”

Masih diam.

“Mas!” Kali ini suara panggilan lebih tinggi. Agaknya wanita muda sudah habis kesabaran. Sementara gadis remaja di sampingku masih saja cekikikan. Lalu berganti gerutuan dan frustrasi saat ponselnya mulai kehabisan daya baterai.

Itu benda kenapa tidak meledak saja sekalian, Dik?

Suara tangis semakin menggema. Ibuku sampai bangun dan turun tangan. Ikut menggendong. Tidak tega, katanya. Namun, tangis si bayi tetap tidak mau berhenti.

“Mas!” Sekali lagi dia panggil.

“Berisik. Susui saja cepet. Pasti dia langsung diem.”

Jawaban apa itu. Enak sekali. Memang si bayi cuma anak istrimu. Dia darah dagingmu, Bung. Tak habis pikir aku.

“Aku malu, Mas. Ini di tempat umum.” Suaranya dibuat sepelan mungkin. Si bayi sudah kembali di gedongannya.

“Sini, Mbak. Biar saya bantu. Mbaknya susui saja dedeknya. Nanti saya tutupi dengan badan saya.”

Wanita muda itu hanya mengangguk pelan. Aku bangun, lalu segera membantunya agar si bayi mendapat ASI dengan rasa nyaman. Si bayi pun pelan-pelan diam lalu tertidur.

Sesi yang cukup menguras emosi akhirnya selesai. Kami kembali dengan kesibukan masing-masing. Syair-syair lagu dari list musik di ponsel dan buku bacaan kembali menjadi pilihan. Menemani perjalanan yang ternyata sudah memakan waktu hampir tiga jam.

“Habis ke mana, Mas?” tanya si ibu-ibu—nenek bayi—saat si pemuda kembali setelah sekitar lima menit pergi.

“Toilet, Buk,” jawab si pemuda singkat.

“Oh, iya, Mas. Yang bersihin toilet kereta itu siapa, ya? Masa ada yang mau bersihkan pembuangan orang.”

Aduh, si ibu mengeluarkan pertanyaan kritis ala emak-emak.

“Ya kebuang sendirilah, Buk. Pas keretanya jalan. Buang di sepanjang rel.”

Aku melongo. Tidak percaya. Pikiran macam apa itu? Akan seperti apa lingkungan ini jika benar itulah yang sebenarnya terjadi. Bau, kotor dan kuman semakin merajalela. Aduh, paman pemain game online ini pandai sekali mengarangnya.

“Ibuk. Pembuangan itu akan dibersihkan sebagaimana semestinya. Tidak terbuang begitu saja di sepanjang rel. Ada petugas yang mengurusnya.”

Ibunya hanya manggut-manggut. Si pemuda hanya senyum-senyum tidak jelas. Dasar!

Setengah jam kemudian, mereka berkemas-kemas. Di stasiun Bekasi, mereka turun katanya. Lalu tak lama setelah laju kereta melambat dan terdengar suara operator stasiun menyampaikan bahwa kami sudah sampai di stasiun Bekasi. Mereka pun pamit. Aku kembali sendirian, dan … sedikit lega. Karena itu artinya, aku bisa mengajak Ayah, Ibu dan Kakak duduk di kursi bekas mereka, menemaniku.

Tanpa menunggu lama, mereka pun berpindah. Kau tahu, teman. Ini seperti aku bertemu kembali dengan keluargaku setelah puluhan tahun terpisah. Lega. Ah, lebay memang.

Kami pun berbincang sambil memakan bekal yang dibawa. Jauh dari keluarga sebentar saja memang menguras emosi, mengundang lapar. Banyak tenaga yang terkuras.

Saat asyik menikmati kebersamaan yang belum genap lima menit, segerombol pria datang dari arah pintu gerbong. Pakaian mereka khas pria-pria metropolitan. Biar kusebutkan apa yang aku lihat, ya. Mereka ada lima orang. Dua pria berpakaian pegawai kantoran dengan kemeja digulung sesiku. Seperti yang sering dinarasikan di novel-novel romansa. Ada ransel modern di punggung masing-masing. Tiga yang lainnya terlihat seperti anak kuliahan. Gayanya keren dengan jaket trendi, tetapi terlihat pas untuk mereka. Tampangnya mirip pemain sinetron, bintang iklan, juga para model. Aih, namanya zina mata ini. Astaghfirullah ….

Mereka semakin mendekat. Mungkin akan duduk di kursi belakang. Masih ada kursi di bagian paling belakang sepertinya. Langkah mereka semakin dekat dengan tempat kami. Lalu tiba-tiba … berhenti.

“Nomor 7A, 7B, 7C, 7D, dan 7E?” Salah satu dari mereka bertanya dengan tutur kata yang santun. Beberapa detik, mataku terpesona. Mematung seperti detik-detik waktu berhenti seketika. Aku dibuat terdiam cukup lama. Sampai akhirnya tersadar saat salah satunya lagi mengulang membacakan nomor tiket mereka.

Sebentar-sebentar. Nomor berapa?

“Di sini, Mas.” Suara Ayah menjawab. Dia satu-satunya kaum adam. Jelas kami kalah cepat tersadar. Ah, khilaf.

“Oh, iya. Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama. Sebentar. Kami pindah dulu.”

Eh, tunggu! Kalian mau ke mana? Apa ini maksudnya?

Seketika pipiku memanas, lutut lemas, dan hati seperti dihimpit kayu yang keras. Sesek napas. Aku salah tingkah. Tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa dari mereka meminta izin untuk duduk dengan mengangguk sopan.

Hei, kalian! Apa tidak sedikit saja meraskan kegugupanku yang sudah memuncak ini. Bagaimana bisa, gadis dengan gamis dan kerudung terulur panjang, duduk terkepung lima pria. Meski aku akui, mereka … tampan-tampan sekali.

Aku merapatkan diri ke jendela kereta, sambil merapal istighfar banyak-banyak. Takut khilaf. Takut dosa.

Beberapa dari mereka mulai menikmati duduknya. Mengeluarkan laptop atau berbincang tentang kantor, film yang sedang booming atau rencana di akhir pekan. Tidak tahu ada seorang gadis yang mulai kembang kempis di dekat mereka. Melekat di jendela seperti cicak. Lalu, lama-lama dia mulai menyerah, membenarkan kalau keadaan demikian salah.

Lalu ….

“Huaaaa ….” Tangisku pecah.

“Aku enggak mau di sini, Ibu, Ayah.” Suaraku keras. Aku sadar itu. Sampai terkaget-kaget sendiri juga. Membuat semua pria di sekitarku menatap heran, kemudian berubah menjadi kasihan.

Ah, yang benar saja. Kalian! Memang benar-benar ujian. (*)

 

Evamuzy. Penulis amatir dari Brebes Jawa Tengah. Penyuka angin dan sepeda.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata