Kupikir Dunia Masih Tetap Sama

Kupikir Dunia Masih Tetap Sama

Kupikir Dunia Masih Tetap Sama
Oleh: Erien

Kupikir dunia masih tetap sama, meski ia tak lagi ada. Aku tetap berjalan tegak seperti biasa. Mendongak pada angkuh dunia seakan-akan aku yang paling perkasa.

Nyatanya tidak. Aku melihat bayangku meringkuk di pojok ruang hati, memeluk lutut dan menenggelamkan kepala, tidak mendongak seperti biasanya. Di balik wajah kerasku, ada sosok anak wanita yang tertunduk karena kehilangan cinta pertamanya. Kehilangan lelaki yang tidak akan pernah menyakitinya, meski hanya berupa niat. Ia mencintaiku. Tulus.

“Senyum, Rien … jadi anak wanita kok wajahnya cemberut?” Masih terngiang suaranya. Hanya ia yang memanggilku seperti itu. Anak wanita. Baginya, meski aku masih sangat muda, aku patut diperlakukan selayaknya perempuan dewasa yang terhormat.

Saat itu aku hanyalah gadis enam belas tahun yang dipenuhi rasa tak percaya diri. Kulit yang gelap, rambut yang ikal tak beraturan, juga otak yang pas-pasan, membuat bibirku seakan terpaku pada satu bentuk, bulan sabit terbalik. Sementara mata ini selalu penuh curiga pada siapa saja yang menawarkan pertemanan. Ternyata, semua itu ia perhatikan.

Aku menurut. Hanya senyum yang aku suguhkan padanya setiap kami bertatap muka. Hanya  padanya, tidak pada lelaki lain. Bahkan, hanya ada senyum pula di wajah ini saat akhir pertemuan kami—meskipun dalam hati, nelangsa menyelimuti.

Lelaki itu berjiwa kesatria. Ia tak mudah menitikkan air mata. Namun, aku pernah membuatnya menangis. Tiga kali. Meski aku tak merasa mengecewakannya.

Kali pertama ia menitikkan air mata, saat pernikahanku. Ia menyerahkan tanggung jawab pada lelaki yang kupilih atas persetujuannya. Meski mata teduhnya penuh titik air, ia merestui. Aku, anak wanita satu-satunya, telah berpindah imam. “Titip Erien, ya, Mas.” Suaranya bergetar sama seperti tangan keriputnya yang menepuk pundak suamiku. Semua dosaku menjadi dosa suamiku, bukan lagi tanggungannya. Dosa di masa laluku saat masih dalam tanggung jawabnya, semoga tidak menyempitkan dinding rumahnya yang baru.

Janin tak kunjung hadir di rahimku. Semua orang bertanya dengan berbagai nada. Sebagian besar sinis. Lain dengan lelaki itu. Meski selalu bekerja dengan stetoskop di telinga, ia tidak pernah bertanya ataupun cemas. “Nanti juga ada.” Selalu optimis dengan tawakal dan kesabaran luar biasa, begitulah ia.

Sikapnya yang selalu tenang menghadapi orang-orang usil dengan pertanyaannya, membuatku tidak lagi resah. Hingga suatu waktu, test pack di tanganku bergaris dua. Ia orang pertama yang kuberi tahu, meskipun Ibu yang mengangkat teleponku. Ucap syukur digaungkan olehnya. Kata Ibu, ia terlihat sangat bahagia.

“Makan, Rien. Katanya pengen sayur lodeh terung. Ayo makan sama-sama.” Bayi di dalam perutku bergerak-gerak kala itu. Kami makan sambil melihat hasil potret calon cucu pertamanya. Ia bahkan membagi telur asin yang sedang dimakan. Ah, di sana, adakah doaku yang menjelma menjadi sayur kesukaannya itu? Semangkuk sayur lodeh terung lengkap dengan ikan asin dan sambal terasi.

Kata Ibu, teriakanku saat berjuang menjadi seorang ibu,  membuat lelaki itu memejamkan mata. Ia duduk di ruang tunggu dengan kaki yang bergerak naik-turun dengan cepat. Tangannya gemetar. Tangan yang sebelumnya sudah siap membubuhkan tanda tangan jika terpaksa bayiku keluar lewat “jendela”, bergetar. Entah tremor atau memang gelisah. Untunglah tanda tangan itu tidak kuperlukan. Namun, aku jadi paham, bahwa terkadang ia juga tidak tega melihatku kesakitan, meski rasa sakitlah yang ia hadapi dengan gagah hampir tiap hari.

Kata Ibu juga, beliau menitikkan air mata ketika mendengar tangisan cucu pertamanya. “Akhirnya aku tua juga.” Itu kata lelaki yang percaya dirinya sangat tinggi. Percaya bahwa ia akan muda selamanya. Dan inilah kali kedua aku membuatnya menangis.

Hidup berjalan, hingga dua jagoan menghiasi hari. Keduanya selalu gembira ketika lelaki kesayanganku menelepon. Riuh saling berebut perhatian membuat tawanya bergema di ponselku. Tawa yang kuharap terpahat di ingatan. Dan aku ingat kapan pun rindu hadir menyajikan bentang jarak yang tidak teraih.

Satu waktu, aku memutuskan untuk menyatakan cinta padanya. Itu adalah hal yang tidak pernah kulakukan seumur hidup. Memiliki keluarga sendiri, membuatku mengerti bahwa terkadang, cinta memang harus dilisankan. Tidak melulu dilakukan.

“Hah? Oh.” Hanya itu responsnya ketika kukatakan cinta. Raut muka kaget dan senyumnya … sungguh kenangan tak terlupa. Mungkin hatinya meleleh mendengar ungkapan cintaku. Aku tidak tahu. Ia selalu bisa mengendalikan emosi, apa pun bentuknya. Aku bersyukur pernah mengucapkan cinta padanya.

Kabar datang saat pandemi. Lelaki terhebat itu sedang terbaring. Tidak ditemukan penyakit serius dalam tubuhnya. Berkali-kali minta kembali ke rumah, tetapi kondisinya naik turun. Tiga kali keluar-masuk ruang “istimewa” dengan pengawasan superketat, dilakoninya. Ia yang dahulu mengobati, kini berganti posisi.

Ibu menghubungkan kami lewat video. Dan aku … aku tertegun menatapnya terbaring tidak berdaya. Gurat wajah tua dan tulang bertonjolan, membuatku melangitkan doa. Sedikit memaksa, aku pulang bersama ketiga cucunya.

“Pengen jus apel yang kayak tadi, yang dibikinin Erien.” Permintaan terakhirnya kupenuhi. Sayang, tak bisa masuk ke perutnya lagi. Di ranjang rumah sakit itu, lelaki tergagah di hidupku, terbaring berjuang memaksa tubuh kembali berdiri meski telah rapuh dimakan waktu.

Satu hari aku datang, bersiap menemaninya menggantikan anaknya yang lain. Matanya terbuka, tapi kosong. Kuraih punggung tangannya dan mencium khidmat. “Ini Erien, Pak.” Kukeraskan suara agar ia tahu ada anak wanitanya di sini. Di sebelahnya.

Mata yang kosong itu mendadak bergerak ke sana kemari. Seolah-olah mencari arah suara. Tangan lemah dan keriput itu menahan tanganku dan menarik agar mendekat. Aku menunduk dan mencium kembali punggung tangannya. Ia menggapai wajahku dan memaksa wajah ini lebih mendekat. Kedua pipiku diciumi.

“Erien ….”

Sudah. Itu terakhir.

Dan duniaku tak lagi sama.

Tamat.

Kotabaru, 24 Maret 2021

Erien. Yang hanya bisa merinduinya lewat doa.
Editor: Fitri Fatimah

Leave a Reply