Lipstik merah terpoles tebal di bibir ini tak membuatmu tertarik lagi. Gaun pemberianmu kukenakan dengan atributnya, tak membuatmu memerhatikanku. Sampai mandi kembang tujuh rupa dan tujuh jenis parfum kugunakan juga tak membuatmu bernafsu. Bahkan, ketika aku bersetelan pakaian kebesaran yang dulu, malah membuatmu seperti merasa jijik. Apa aku tak cantik lagi?
Sudah empat hari ini kau kupaksa untuk tetap di sini, tak keluar rumah lagi. Kau menuruti, tapi seakan mendendam. Dengan wajah pasi, kau bergeming di sudut kasur bagai bisu-tuli, atau bahkan … tak punya hati.
Kau tak seperti dulu, yang selalu mengecup hangat keningku kala bertandang ke rumah ini. Rumah yang kau pilihkan, tak lama setelah kau menemukanku bersembunyi di sebuah tempat karena kejaran satpol PP. Tempat yang kau bilang bagus dan aman dari cibiran orang, sebab penghuninya yang sama-sama berstatus tak jelas. Rumah yang biasanya kau hangatkan dengan canda tawa. Rumah yang bahkan selalu kau lunasi biaya sewanya tiap awal bulan. Sekarang, jangankan biaya sewanya, rekening listrik yang kuhantarkan ke hadapanmu saja kau tinggalkan di atas meja tanpa perlu melihat lagi. Bahkan, tak pelak tiap dua minggu sekali pemilik rumah ini menggedor pintu menagih uang sewa, dan aku hanya berkata, ”Maaf, kami belum memiliki uang.”
Kata cinta dan permintaanmu agar aku berhenti bekerja, mungkin adalah sebuah ikatan janji yang kau lisankan dengan geliat lidah.
Tak mungkin … benakku di awal. Namun akhirnya waktu membuatku benar-benar mencintaimu, kau … dengan ikal rambutmu. Ingin rasanya aku menuntut kejelasan dalam hubungan ini, tapi apa daya, sebuah tembok besar menghalangi itu. Dan sekarang semua terasa lebih abstrak dari sebelumnya.
Kau hanya seorang buruh pabrik. Tinggal di sebuah kontrakan berisi beberapa rekan kerja yang lain, ceritamu. Pernah sekali waktu saat kau tak ke rumah lebih dari seminggu, aku mendatangi kontrakanmu, tapi kata mereka kau sudah lama pindah. Lalu malamnya, kau datang dengan amarah yang membakar hati. Tak ada kata lembut yang biasa keluar. Hanya dampratan yang terlontar. “Sekali lagi kau lakukan itu, aku tak segan meninggalkanmu, Bajingan!” bentakmu membanting pintu, lalu menghilang ditelan malam. Aku yang sendu hanya bisa merapatkan diri ke dinding, mengaliri pipi dengan air mata.
Setahun bersamamu, aku pun belum tahu apakah kau seorang lajang, duda, atau bahkan masih memiliki istri, karena sama sekali tak pernah kau berikan jawaban atas pertanyaan itu. Namun aku tak peduli, karena sejak pertemuan kita, belum ada masalah apa pun yang mengganggu. Sampai tiba saat itu.
Gaun merah marun dan tusuk konde berwarna sama ini adalah satu-satunya hadiah darimu. Sederhana … bahkan kutahu ini adalah barang bekas yang kau carikan untukku. Namun harus kuhargai itu, sebab pun kau tak tahu bagaimana caraku menemukan ukuran baju.
Setiap kali kupakai pemberianmu itu dengan menggelung rambut dengan tusuk konde bak wanita cina dan sedikit polesan di wajah … selalu membuatmu tertegun. Lalu kita bercengkerama. Kubenamkan wajahku pada dadamu. Kadang kau sesak karenanya, dan kita tertawa.
Suatu malam, kau datang dengan mengendap masuk ke rumah. Lalu memelukku dari belakang yang saat itu tengah mengiris bawang, membuat luka sampai darah mengaliri jemari. Kau meraih tanganku, mengembus pelan dan berkata maaf. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu kau bilang, pihak pabrik akan berjanji menaikkan 20% gaji para karyawan, setelah demo dan mogok kerja besar-besaran yang kalian lakukan. Aku hanya diam dan masih tersenyum. Hingga akhirnya raut wajahku berubah suram.
“Aku takut kau berubah,” kataku merunduk.
“Tenang, Sayang. Aku akan tetap seperti ini. Kita akan bahagia, berdua saja.”
Sebulan setelahnya, kau mulai jarang menemuiku. Hingga saat itu kau tak pernah memberiku nafkah lahir dan batin. Uang simpanan berangsur-angsur menipis untuk biaya hidup dan kontrakan. Kini, tak ada lagi yang bisa kujual untuk menyambung hidup. Hanya menunggumu saja tak akan membuatku kenyang.
Dua malam terakhir sebelum akhirnya kau bertahan di sini, aku mulai berani bekerja lagi. Menjajakan diri di persimpangan jalan sana. Jika tidak, dapur ini tak akan mengepul, dan perut penghuni rumah tak akan terisi.
Brakkk … bantingan pintu kali itu menandakan kau pulang dan marah lagi. Kuperhatikan dinding belakang pintu semakin berlubang terhantam gagang pintu. Tanpa bicara, kusiapkan sepiring nasi beserta lauk yang sangat sederhana di atas meja. Kau menenggak air yang kutuang dalam gelas. Lalu menyuap nasi dengan wajah bak api yang siap melalap rerumputan kering. Mengunyahnya dua atau tiga kali, lalu hilang tertelan kerongkonganmu yang jalang.
Kuingat, dulu kau selalu menyantap makan malam dengan bahagia. Kau bilang masakanku sama enaknya seperti masakan almarhum ibumu. Lalu kita makan berdua tanpa lampu listrik. Kita makan ditemani dua cahaya lilin yang temaram. Kadang tak sengaja duri ikan menyangkut di kerongkonganku karena tak terlihat oleh mata. Aku hanya diam dan tak berkata apa-apa, lalu ke belakang dengan alasan mengambil sesuatu. Padahal aku tengah tercekik, berusaha menelan nasi hangat bulat-bulat. Itu kata ibuku saat kecil dulu.
“Abang ingat gaun ini, kan? Juga ini…,” kataku menggelengkan kepala, menampakkan gantungan tusuk konde agar bergoyang.
Brak … tanganmu menggebrak meja. Piring berdenting, gelas goyang mencipratkan isinya. “Kulihat kau jual diri lagi,” bisikmu geram. Kedua tangan kau kepalkan jadi satu, dengan kepala merunduk.
Aku terperanjat. Bergeming.
“Kau jual diri lagi, Keparat!!!” Kau menggebrak meja lagi, kali ini mengangkat diri.
“A—ku tak punya uang lagi, Bang,” aku tergagap.
“Dulu kau punya banyak tabungan … mana? Sekarang mana?”
“Habis … Bang. Tidak tersisa lagi.” Tanganku yang kekar kini gemetar. “Abang sudah jarang pulang dan tak pernah kasih uang lagi.”
“Ah … banyak alasan kau! Aku muak!”
Aku memegang lengannya erat. “Abang kenapa jadi begini, Bang. Apa Abang nggak ingat sama gaun ini?”
“Aku tak akan kembali lagi ke sini!” Kau melangkah ke arah pintu.
Aku menggantung memegangi kakimu, membuatmu tak mampu melangkah. “Ingat janji dulu, Bang,” rengekku.
“Jangan mimpi! Hidup dengan kau tak akan terjadi! Kau itu tak normal…!”
Hati ini berantakan bak cangkang telur yang digenggam terlalu erat. Dulu tak kau hiraukan masalah ini, sekarang kau lupakan semuanya. Ya, aku hanyalah seorang pria kesepian yang mencari penghidupan dengan menjadikan diri sebagai wanita. Walau dengan fisik yang tak kuubah, hanya berwarnakan beberapa polesan dan rambut panjang yang dengan susah payah kuurus. Namun, kebiasaan itu bagai jadi jati diri, aku seperti hidup dalam dunia wanita yang feminin. Lalu kau benar-benar menjadikanku seperti seorang wanita sesungguhnya.
“Aku dipecat! Bos Bangsat itu memecatku. Sekarang, satu-satunya caraku untuk tetap makan adalah kembali menemui istriku di kampung. Kau carilah laki-laki … atau wanita yang akan menemanimu. Lepaskan kakiku!” Kau mengenyahkan pegangan tanganku.
“Aku nggak mau pisah sama Abang!” teriakku menggenggam sesuatu dari atas kepala. Merangkulmu.
Kau beringsut. Menjatuhkan diri perlahan.
Terakhir kuketahui, ternyata pabrik itu mengurangi banyak buruh yang diduga menjadi dalang dalam kegiatan demo dan mogok kerja waktu itu. Ah, Bang, andai saja kau tak ikut-ikutan demo, tak akan begini ceritanya. Tapi aku senang, akhirnya kau bertahan juga di sini. Aku mohon, maafkan aku.
“Malam ini aku akan kerja mengenakan gaun ini, Bang. Kuharap kau tak cemburu,” kataku mencubit hidungmu yang mulai kendur. “Kupinjam lagi tusuk kondenya, nanti kukembalikan ke jantungmu.” Aku menarik tusukan merah itu dari tubuhnya, terbawa cairan pekat yang menetes … menusuk penciuman. Sedang perut buncitnya sudah mulai mengembung, wajahnya sudah membiru.
Ada banyak lubang di tubuhmu, dan yang paling aku suka … di bagian dada.(*)
Essy Febrianti, lahir pada tanggal 8 Februari. Gadis peranakan Jawa yang tinggal dan berkembang di Riau. Sulung dari tiga bersaudara dan satu-satunya gadis di antara kedua adiknya. Penyuka film dan cerita horror meskipun sedikit penakut.
Penulis bisa dihubungi via email: essyfebri@gmail.com atau facebook: Essy Febrianti.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan