Kunang-Kunang Pembawa Pesan (Terbaik ke-12 TL 20)

Kunang-Kunang Pembawa Pesan (Terbaik ke-12 TL 20)

Terbaik Ke-12 TL 20
Genre Folklore
Kunang-Kunang Pembawa Pesan
Oleh: F. Hazmi

 

Bayu telah lama mendengar mitos kunang-kunang yang berasal dari kuku orang mati. Saat ia berusia enam tahun, teman-temannya sering menuturkan hal tersebut ketika ada kunang-kunang lewat di dekat mereka. Tak satu pun dari mereka berani menangkap hewan bercahaya itu. Hewan itu akan bebas beterbangan di atas semak atau di dalam ladang di dekat rumah mereka. Sementara di kejauhan, anak-anak itu menyaksikan dengan takjub sekaligus takut.

Kunang-kunang itu masih terus datang ke kampung Bayu pada malam hari. Sebab kampung Bayu masih dipenuhi dengan ladang dan dikelilingi hutan. Rumah-rumah berdinding separuh tepas itu hanya berdiri mengelompok di satu titik dan jumlahnya tidak melebihi jari tangan ditambah jari kaki.

Bayu masih mengingat mitos itu sampai ia berusia sepuluh tahun. Ia semakin yakin bahwa benar kunang-kunang berasal dari kuku orang mati saat Buk Munaroh memperingatkan mereka yang mengejar kunang-kunang.

“Hei, jangan kalian tangkap kunang-kunang itu. Itu kuku orang mati. Nanti kalian dimimpiin yang punya kuku baru tahu rasa!” teriak Buk Munaroh dari teras rumahnya.

Anak-anak itu spontan berhenti dan melepaskan kunang-kunang yang mereka tangkap ke dalam gelapnya ladang. Bayu terus menyaksikan hewan itu terbang sambil berpikir tentang kebenaran ucapan Buk Munaroh.

“Jangan kalian kejar kunang-kunang itu. Nanti kalian dibawa orang mati, enggak bisa pulang lagi,” lanjut Buk Munaroh saat melihat lima anak tersebut berbalik ke halaman rumahnya.

“Aldi, kau ingat, ya, kata Mamak, jangan kau kejar kunang-kunang lagi!” Buk Munaroh berkata dengan sangat tegas dan serius.

Kelima anak tadi, termasuk Aldi dan Bayu, hanya terdiam dan tak ada yang membantah atau menjawab. Meski begitu, Bayu semakin berminat mendapatkan kunang-kunang setelah mendengar pernyataan Buk Munaroh.

Besoknya, diam-diam ia mendatangi Tuk Amir. Tuk Amir adalah seorang lelaki tua yang hidup di pinggir desa. Ia hidup sebatang kara dan hidup dari ladang yang mengelilingi rumahnya. Ia tampak tak istimewa, tapi tidak bagi penduduk di kampung Bayu. Tuk Amir adalah orang pertama yang dicari saat ada penduduk yang sakitnya wajar maupun tak wajar. Ia memiliki kemampuan layaknya paranormal. Meski demikian, pembawaannya tampak seperti laki-laki tua biasa dan bersahaja. Tak ada aura mistis mengelilinginya seperti paranormal lain. Karena itulah, anak-anak tak takut kepadanya, bahkan sering bercengkerama atau membantunya di ladang. 

Kepada anak-anak, Tuk Amir juga senang bercerita tentang apa saja. Kadang ia bercerita tentang malam, bulan, matahari, ajak di hutan, juga arwah dan penghuni hutan lain yang tak kasat mata. Cerita dari Tuk Amir bagai hiburan bagi anak-anak seperti Bayu dan teman-temannya di tengah kampung yang sunyi.

Menjelang tengah hari, Bayu telah tiba di ladang Tuk Amir. Ia langsung menuju depan rumah Tuk Amir dan duduk di amben. Di saat seperti itu, biasanya Tuk Amir beristirahat sambil menyantap makanan di ambennya. Sesuai perkiraan Bayu, Tuk Amir muncul dari salah satu sisi ladang dan berjalan ke arahnya. Laki-laki itu terus berjalan dan tampak biasa saja melihat Bayu ada di sana. Ia terus masuk ke dalam rumah tanpa menyapa Bayu. Setelahnya, ia mengeluarkan piring beserta bakul berisi ubi rebus.

“Ayo, dimakan!” Tuk Amir menyodorkan bakul ke arah Bayu. Anak itu mengambil satu potong ubi rebus berukuran sedang.

“Tumben kemari sendirian. Mana kawan-kawanmu?” 

“Mereka lagi di ladang, Tuk,” jawab Bayu, singkat. 

“Ada apa?”

Bayu tertunduk. Matanya menatap kaki-kakinya yang telanjang kotor berdebu. Agak lama ia menimang-nimang pertanyaannya dalam benak. Tuk Amir tidak lagi bertanya dan memilih lanjut menikmati ubi rebus.

“Tuk, apa betul kunang-kunang dari kuku orang mati?” Bayu menngangkat kepala dan menatap Tuk Amir yang duduk di sisi amben lainnya.

“Kenapa? Kau penasaran?” 

Bayu mengangguk.

“Kunang-kunang itu memang berasal dari kuku orang mati. Kalau kau bisa menangkap kunang-kunang dan menyimpannya, kau akan bertemu dengan orang mati yang memiliki kuku itu dalam mimpi,” jelas Tuk Amir, kemudian melahap ubi rebus yang masih tersisa di bakul.

Bayu yang masih mengunyah pun tertegun sejenak. Matanya menerawang jauh, tapi tertangkap oleh Tuk Amir. 

“Apa yang kau pikirkan, Bayu? Kenapa tiba-tiba bertanya tentang kunang-kunang?”

“Aku pengen ketemu Emak, Tuk.”

Tuk Amir tak menanggapi jawaban Bayu. Ia memilih sibuk membersihkan giginya dengan jari-jari yang telah keriput. 

“Bagaimana caranya ya, Tuk, kita tahu kuang-kunang itu kuku milik siapa?”

“Tak ada caranya kalau itu. Tak ada yang tahu kunang-kunang itu kuku milik siapa.”

“Aku ingat, Atuk pernah bercerita kalau orang mati saling mengenal. Tidak seperti kita yang hidup. Mereka bisa tahu siapa dan di mana perihal orang lain yang sudah mati. Apa mungkin aku bertanya pada salah satu kunang-kunang itu di mana kunang-kunang dari kuku Emak?”

“Cobalah tanyakan. Tapi ingat, jangan sampai kunang-kunang itu mati. Kalau sampai mati, maka kukumu akan menjadi gantinya.”

Bayu menelan ludah. Ia agaknya paham akan penjelasan Tuk Amir, tapi tak puas rasanya kalau tak bertanya lagi. “Maksudnya bagaimana, Tuk?”

“Salah satu kukumu akan terlepas atau rusak entah bagaimana caranya. Kukumu akan menjadi ganti kunang-kunang yang mati. Kau tahu, kunang-kunang itu sebenarnya penyampai pesan kepada pemiliknya. Ia datang kekampung untuk melihat-lihat lalu kembali menjadi kuku pemiliknya setelah pesan tersampaikan. Kalau sampai kunang-kunang itu mati, maka hilang satu kuku si pemilik dan yang membuatnya mati harus membayar dengan kukunya.”

“Baiklah, Tuk. Sekarang aku betul-betul mengerti,” jawab Bayu setelah menyimak dengan seksama penjelasan Tuk Amir.

Selama ini yang ia tahu kunang-kunang hanya kuku orang mati, tidak lebih. Baru kali ini ia mendengar cerita selengkap itu tentang kunang-kunang.

Tuk Amir masuk ke dalam rumah gubuknya dan menghilang di balik tirai. Bayu masih duduk di amben dan memandangi batang ubi di hadapannya. Kemudian matanya beralih ke langit yang biru cerah.

Beberapa saat kemudian, Tuk Amir menyibak tirai yang menutup pintu dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang kendi yang ditutup kain setipis selendang. “Ambil ini. Simpan kunang-kunang itu di sini. Kemudian lepaskan jika kau telah mendapat jawaban dalam mimpi. Jangan lebih dari lima hari. Atuk yakin paling lama tiga hari mimpi itu datang kepadamu.”

Bayu menerima kendi kecil itu dengan hati bergetar. Ia  masih agak takut membayangkan orang mati datang ke mimpinya. Belum lagi akibat yang harus ditanggungnya jika kuang-kunang itu mati. Meski begitu, ia tetap menerima kendi itu dan pulang setelahnya.

Malamnya, kunang-kunang masih datang. Tak sulit menangkap satu kunang-kunang. Sebab terbangnya lambat, tisak gesit seperti lalat. Ia segera memasukkan kunang-kunang itu ke dalam kendi. Setelahnya ia langsung tidur dengan jantung berdebar. 

“Semoga saja orang itu datang dengan wajah yang baik,” gumam Bayu penuh harap.

Malam pertama ia kesulitan tidur. Entah bagaimana ia tidak mengantuk sampai menjelang pagi. Bapaknya tidak tahu kalau ia begadang. Satu-satunya laki-laki yang menjadi keluarga Bayu itu tetap pergi ke ladang seperti biasa tanpa menghiraukan Bayu yang masih terlelap.

Bapak Bayu memang tak banyak bicara kepada anaknya. Walaupun demikian, ia tetap mengurus Bayu dan menyiapkan keperluan anak semata wayangnya. Seperti pagi tadi, sebelum pergi ke ladang, ia telah memasak makanan untuk bekalnya dan sarapan Bayu. Anak itu biasanya akan menyusul setelah sarapan.

Di malam kedua, Bayu telah bersiap di sudut amben dalam kamarmya. Ia telah meringkuk berharap kantuk segera datang. Bapaknya tidak curiga melihat tingkah anaknya itu yang biasanya masih bermain sebentar di luar bersama teman, tapi kini meringkuk di rumah. Ia berpikir, Bayu kelelahan setelah panen ubi rambat hari itu.

Sayangnya, kali ini sama seperti sebelumnya. Bayu gagal tidur dan bermimpi. Sepertinya, itu karena ia terlalu bersemangat dan menggebu-gebu. Satu malam pun terlewati dengan sia-sia.

Malam ketiga, Bayu nyaris putus asa. Ia pun meragukan kunang-kunang itu dan Tuk Amir. Maka kali ini, ia melangkah ke amben dengan enggan. Ia memilih telentang sambil berkhayal tentang wajah emaknya. Sebab, saat emaknya tiada, Bayu bahkan masih belajar merangkak.

Tanpa diduga, Bayu terlelap setelah tenggelam dalam khayalan. Ia kemudian bertemu dengan seorang bayi laki-laki. Bayi itu tampak merangkak ke sana-kemari di rumahnya. Bayu kecewa. Bagaimana bisa ia bertanya pada bayi, pikirnya. 

Tiba-tiba saja bayi itu menangis keras. Bayu buru-buru menggendongnya. Bayi itu tetap menjerit sekuat-kuatnya. Bayu kebingungan, ia lalu mencari bapaknya. Ternyata bapaknya sedang tertidur di amben belakang rumah.

Bayu hendak membangunkan bapaknya, tapi bayi dalam gendongannya menggeliat dan terlepas. Bayi itu susah berhenti menangis lalu menarik tangan bapaknya. Barulah tampak oleh Bayu jari-jari bapaknya tak lagi memiliki kuku yang bagus.***

Bandar Setia, 25 Maret 2023

Hazmi, seorang perempuan yang senang mengamati apa saja dan berkelana ke mana saja.

 

Komentar juri

Cerpen ini dibuka dengan manis seputar kepolosan anak-anak pada hewan yang berpendar saat malam hari, kunang-kunang. Kita yang membaca pasti pernah mengalami hal serupa seperti yang dialami Bayu dan teman-temannya: mempercayai bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Namun, penulis juga tidak lupa bahwa pemikiran anak-anak akan terus berkembang seiring bertambahnya usia. Hal inilah yang pada akhirnya melahirkan ending yang dramatik. 

—Hassanah

Leave a Reply