Kumpulan Manusia Tamak

Kumpulan Manusia Tamak

Kumpulan Manusia Tamak
Oleh : Zuya

Judul : 86
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Agustus 2017
Tebal : 256 halaman

Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai negeri sipil yang biasa disebut PNS atau sekarang berganti sebutan dengan ASN (Aparatur Sipil Negara)?

Gaji tiap bulan, seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, seorang juru ketik di pengadilan negeri menjadi kebanggaan orangtuanya. Seorang anak dari generasi petani yang dapat bekerja menjadi pegawai negeri. Uang yang selalu mengalir di awal bulan, seragam rapi, dan uang pensiunan untuk hari tua nanti.

Arimbi juga menjadi tempat orang-orang menitipkan harapan, baik berupa pesan dan keinginan. Berjalannya waktu, mengubah pribadi Arimbi dari orang lugu menjadi bagian dari orang-orang yang tak tahu malu.

“Apakah semua bisa selesai?”

Ah, semua bisa. Asal … 86.

Tak ada yang salah, jika sudah dilakukan berjemaah. Tak ada yang perlu ditakutkan, kalau semua sudah jadi kewajaran.

Jadi, bisa, kan?

***

Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendapat kata 86?

Apakah teringat sitkom yang pernah berjaya di salah satu stasiun televisi swasta?

Sebelumnya, kita bahas dulu apa itu 86. Mengutip dari novel ini pada halaman 94, dijelaskan bahwa 86 awalnya digunakan sebagai bahasa di kepolisian yang berarti sudah selesai atau tahu sama tahu. Tapi kemudian dipakai sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan menggunakan uang.

Sudah paham, kan, ya?

Aku beri peringatan dulu, bahwa cerita ini tidak disarankan sebagai bahan bacaan untuk anak-anak dan remaja. Banyak hal yang diangkat dalam novel ini yang kalau tidak disertai sebuah kedewasaan pasti akan melahirkan cara pandang yang salah.

Mari, kita ulas novel ini.

Pertama, novel ini gila. Idenya gak main-main. Dan setiap membacanya, kita akan tahu bahwa penulis risetnya harus mati-matian demi bisa menceritakan hal sedetail ini. Banyak hal yang jadi pelajaran, yang mungkin tidak banyak kita ketahui.

Kita langsung ambil contoh. Ada salah satu bab di novel ini membahas tentang fasilitas mewah di penjara bagi orang-orang berduit. Dia–si penulis–detail sekali menceritakan seputar barang apa saja yang dapat ditemui di sana. Kalian harus tahu bahwa novel ini pertama kali diterbitkan  pada tahun 2011, sedangkan media baru menguak seputar lapas mewah pada pertengahan tahun 2018.

Kedua, mengandung kritik yang pedas. Kritik bagi setiap sistem yang berjalan dengan proses yang salah. Tak hanya pada skala besar, bahkan urusan kecil sekalipun akan cepat selesai asal ada … duit. Sudah cukup menjelaskan betapa busuknya dunia ini karena dipenuhi manusia-manusia tamak. Sayang saja, semua itu sudah membudaya.

Bagaimana semua itu bisa hilang, jika sudah dipandang sebagai kewajaran?

Gila!

Ketiga, teknik berceritanya memang jempol. Kita bisa dibawa dengan alur maju-mundur secara dinamis. Memang beda, ya, kalau tulisan itu berasal dari seorang mastah. Jadi, bagi kalian yang mau belajar menulis  konflik yang banyak, tapi dengan sebuah cerita yang jumlah kata terbatas, maka novel ini adalah jawabannya. Banyak menggunakan teknik telling, tapi itu oke saja. Semuanya masih terasa nyaman untukku ketika membacanya. Lagi pula, untuk cerita sepadat ini, jika menggunakan showing terlalu banyak yang hanya akan mengulur jalan cerita menjadi lebih lambat.

Keempat, mengandung nilai kejujuran. Jujur atas apa? Banyak hal. Seperti yang disebutkan di poin dua adalah salah satunya. Dan aku sendiri sempat tersentak saat baru selesai membaca bab kedua. Kita akan digiring pada perspektif yang selama ini berkembang di masyarakat. Dan sayangnya, cara pandang seperti ini semakin menegaskan bahwa banyak masyarakat yang masih berpikiran sempit.

Mereka berharap dengan adanya salah satu dari anggota keluarga yang menjadi pegawai negeri, maka strata sosial mereka akan naik. Mereka akan dipandang lebih berharga di masyarakat. Aku sedikit aneh kalau bertemu orang berpikiran demikian.

Aku menemukan salah ketik pada halaman 82. Jaket parasit, mungkin maksudnya jaket parasut.

Aku tutup review kali ini dengan sebuah kalimat bijak dari Negeri Kincir Angin yang berbunyi, “All is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel.”

Artinya, secepat-cepatnya kebohongan berlari, kebenaran akan tetap bisa mengejarnya.

 

31 Maret 2021.

Zuya adalah seorang guru kelahiran Banjarmasin yang kini menetap di  Kota Parisj van Borneo.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply