Kumpulan Creepypasta 2 (Event Singkat Lokit)
Ruang Mandi
Devin Elysia Dhywinanda
Begitu kereta berhenti di sebuah tempat yang sangat bising, Oma[1] segera meraih tanganku. Katanya, aku tidak boleh pergi jauh-jauh, sebab nanti bisa tersesat, sama seperti Mutter[2] dan Vater[3] yang mengabaikan larangan Oma untuk pergi dari rumah, hingga akhirnya mereka ketinggalan kereta yang mengantarkan kami ke rumah baru.
“Mereka akan menyusul, jadi kamu tenang saja, dan jangan pergi jauh-jauh dari Oma, oke?”
Aku mengangguk dengan bersemangat, tentu saja.
Setelah itu, para paman berkumis tebal membantu kami berbaris dan mengantarkan kami menuju ruang mandi bersama. Oma membantuku melepas baju—”Kita harus bersih dan wangi untuk menyambut Mutter dan Vater,” jelasnya lembut—dan, setelah ikutan melepas baju, kami pun masuk ke ruang mandi bersama para perempuan lain yang tampaknya juga tidak sabar untuk bebersih diri.
Ruang mandi kami sangat besar. Dindingnya keras dan berwarna abu-abu mengilat. Ada banyak pancuran, sabun, serta handuk di sana, yang sepertinya disesuaikan dengan jumlah kami yang memang sangat banyak.
Selagi orang-orang masuk ke sini, aku segera menarik Oma ke pancuran yang terletak dekat ventilasi udara, tepat di samping tulisan “SAUNA”. Aku meloncat kegirangan, meminta Oma membantuku mandi, karena memang sudah berhari-hari aku tidak mandi, bahkan ganti baju.
Ruangan bertambah pengap. Orang-orang terus masuk, tidak sabar untuk mandi. Sedangkan, pintu masuk sepertinya sudah ditutup oleh paman berkumis tebal.
Tidak berapa lama, gas air hangat disalurkan dari ventilasi udara. Orang-orang menjerit kegirangan. Aku merasa kulitku ikut panas, sedangkan telingaku berdenging, tidak kuat mendengar jerit kegirangan orang-orang, sepertinya.
Lalu, tidak berapa lama, Oma tidur di lantai, diikuti dengan orang-orang lain—juga aku, akhirnya—yang ikut tidur di lantai ruang mandi yang entah kenapa terasa dingin. (*)
[1] (bahasa Jerman) Nenek
[2] (bahasa Jerman) Ibu
[3] (bahasa Jerman) Ayah
Bercerita dengan Hani
Tri Wahyu Utami
Aku suka bercerita tentang apa saja, terutama hal yang terjadi di sekitar rumah kami. Di ujung jalan, ada wanita muda berambut panjang yang suka muncul dan menghilang secara tiba-tiba. Biasanya ia berdiri di pinggir jembatan yang sudah jarang dilintasi orang ketika malam datang. Hani percaya itu, tetapi ia melarangku untuk terus bercerita hingga tuntas. Ia bilang itu berbahaya, apalagi jika Ibu ikut mendengar apa yang kami obrolkan.
Suatu hari menjelang tidur, Hani memberiku pensil untuk menuliskan semua hal yang ingin kuceritakan padanya. Dengan begitu Ibu tidak akan marah, sebab ia tidak akan mendengar suara apa pun dari mulut kami. Sayangnya, di lain waktu, Hani menolak keinginan Ibu yang menyuruhnya untuk tidur lebih awal. Ibu cemas Hani akan sakit lagi, tetapi gadis itu beralasan bahwa ia belum mengantuk. Lagi pula, ada aku—kakaknya—yang menemani. Tak disangka, malah timbul percekcokan di antara mereka.
Ibu marah besar. Ia memaksa Hani untuk berhenti bicara dan bergegas masuk ke dalam kamar setelah aku selesai menulis. Beberapa saat sebelumnya, Hani memintaku menjawab pertanyaan di selembar kertas yang ia berikan.
“Tunggu, Bu!” cegahnya ketika Ibu hendak menutup pintu. “Kalau Ibu tidak percaya, baca saja ini.”
Disodorkannya kertas itu kepada Ibu setelah merebutnya dari tanganku. Aku diam memerhatikan dan tak bersuara sedikit pun.
“Ini …?” ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca. Saat itu, ia pasti telah membaca semuanya. Sebagai orangtua yang membesarkan kami, Ibu tentu ingat betul dengan tulisan anaknya. Begitu pun dengan tanggal yang kutuliskan di kertas itu sebagai hari terakhir kami berkumpul bersama.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata