Kue Lapis untuk Ibu
Oleh : Cokelat
Aku mengusap peluh di dahi. Beberapa bulir yang lolos dan mengalir hingga ke mata memaksaku berkedip beberapa kali. Perih.
Bukan matahari yang membuatku berjibaku dengan peluh. Sudah sejak tadi ia kehilangan kegarangannya karena hari menjelang petang dan sebentar lagi waktu berbuka puasa akan tiba. Yang membuatku terengah setengah mati adalah penumpang yang sedang duduk di depan gerobak becakku.
Seorang ibu dan tiga anaknya naik ke becak kayuhku di depan Pasar Sore, lengkap dengan bawaan mereka. Mereka membawa beberapa kantong kresek besar yang aku yakini berisi pakaian baru untuk Lebaran. Selain itu, ada beberapa kresek lebih kecil yang berisi berbagai macam lauk dan kue. Aku bisa melihatnya dengan jelas karena kresek itu berwarna bening.
Seharusnya, aku sudah dalam perjalanan pulang ketika bocah yang paling besar melambaikan tangannya dan sang ibu menawarkan pembayaran yang lumayan. Meskipun alamat yang disebutkan ibu itu berlawanan arah dengan rumahku, harga yang disebutkannya membuatku tergoda. Apalagi, seharian ini pendapatanku memang belum seberapa. Baru tiga puluh ribu. Orang-orang sekarang lebih suka naik becak motor. Sedikit lebih mahal, tapi cepat sampai dan jangkauannya lebih jauh.
Kerongkonganku benar-benar kering ketika kami akhirnya sampai di depan rumah bercat hijau. Anak-anak sang ibu berebutan turun hingga membuatku kewalahan menahan becak. Mereka berhamburan ke dalam rumah. Riuh suara mereka yang saling mengolok dan mengatakan ingin segera mencoba pakaian barunya membuat kepala sang ibu menggeleng-geleng.
“Anak-anak memang begitu. Kalau tidak ada baju baru, mereka bisa-bisa tidak mau Lebaran,” kata sang ibu sambil menyodorkan selembar uang dua puluh ribu. Setelah ia turun, barulah aku benar-benar memperhatikan tubuh gempalnya. Pantas saja keringatku bercucuran seperti hujan.
Tak sengaja pandanganku jatuh di tangan kirinya yang memegang kresek berisi lauk dan kue. Pandanganku menembus ke dalam kresek bening itu. Ah, itu kue lapis. Kue kesukaan Ibu di rumah. Ia pasti akan sangat senang jika aku membawakan kue itu untuk berbuka puasa.
Setelah menerima uang dari ibu itu, aku mengucapkan terima kasih dan bergegas membalik becak lalu mengayuh ke arah sebaliknya. Aku berniat untuk mampir ke pasar dalam perjalanan pulang. Mudah-mudahan masih ada kue lapis yang tersisa di penjaja-penjaja kue musiman. Mereka menjual hanya saat bulan Ramadan.
Aku bersyukur dalam hati karena melihat masih ada kue lapis yang tersisa. Mungkin itu dagangan yang tidak laku karena para penjaja kue sedang bersiap-siap membereskan dagangan mereka. Waktu berbuka hampir tiba.
Setelah mendapatkan beberapa potong kue lapis, aku mengayuh becakku dengan kecepatan penuh. Sempat berpikir untuk mampir salat Magrib dan berbuka di masjid saat azan berkumandang, tapi aku urungkan. Bayangan Ibu yang mondar-mandir di halaman terus membayang di benakku.
Aku jadi ingat kejadian awal-awal puasa. Waktu itu aku pulang terlambat dan Ibu marah karena gelisah. Maklum, sejak Bapak meninggal setahun yang lalu karena disambar motor saat sedang mencari penumpang, tinggallah aku berdua dengan Ibu. Aku bisa memahami kekhawatirannya.
Kepergian Bapak membuatku terpaksa meninggalkan bangku sekolah, walaupun aku sudah duduk di kelas tiga SMA. Aku melanjutkan apa yang dilakukan Bapak untuk membiayai kehidupanku dan Ibu sehari-hari.
Setelah tiba, aku langsung memarkir becak di samping rumah lalu bergegas masuk. Ternyata sunyi. Sepi. Ini tak seperti harapanku. Aku tidak menemukan Ibu mondar-mandir di halaman depan dengan wajah khawatir. Apa Ibu sedang salat?
“Assalamualaikum. Bu? Ibu? Aku pulang. Lihat apa yang kubawa untuk Ibu. Hari ini kita berbuka kue lapis kesukaan Ibu.”
Tidak ada jawaban.
Aku memeriksa ke dalam kamar. Kosong.
“Bu?”
Aku melangkah ke dapur. Di atas tikar tempat kami berdua biasa berbuka puasa, dua gelas teh manis, sepiring tempe goreng, dan dua piring nasi teroggok begitu saja. Kami memang sering berbuka dengan nasi. Lebih hemat kata Ibu, dari pada harus membeli kue.
“Bu?” Kamar mandi yang terpisah di belakang rumah juga kosong.
Ya Allah, Ibu ke mana? Mendadak perasaanku tidak enak. Aku segera berlari keluar. Semua rumah tetangga tertutup rapat. Wajar, masih waktu berbuka.
Aku berteriak-teriak memanggil Ibu.
“Tadi pas mau buka, ibumu jalan ke jalan raya sana. Katanya mau nyariin kamu.” Pak Parto, tetangga sebelah kanan melongokkan kepala dari balik pintu triplek rumahnya.
Astaga Ibu ….
Aku bergegas berlari menuju jalan raya yang dimaksud. Itu adalah jalan transprovinsi yang selalu ramai dengan berbagai jenis kendaraan; mulai dari motor hingga mobil-mobil besar beroda belasan hingga puluhan. Kampung kami berada tepat di sebelah jalan raya. Kami warga kampung sangat jarang melewatinya dan memilih jalan lain yang lebih sunyi. Kenapa Ibu malah mencariku ke sana?
Aku berlari sekuat tenaga menelusuri jalan berbatu. Tak kuhiraukan lagi kakiku yang perih karena tak sempat memakai sandal. Tolong, Bu. Aku mohon, jangan sampai Ibu kenapa-napa.
Saat tiba di pinggir jalan raya, napasku terasa begitu sesak sebab letih dan khawatir memikirkan Ibu. Aku sudah hampir putus asa sebelum mataku menangkap sosok perempuan yang kusayangi itu sedang duduk pada besi pembatas jalan.
Ibu ….
“Ibu. Kenapa Ibu duduk di sini? Disini bahaya.” Aku langsung memeluknya erat.
Ibu menangis di pelukanku. “Ibu takut, Nak. Ibu takut karena kamu tidak pulang-pulang. Ibu khawatir. Ibu jadi ingat ayahmu.”
Aku mengusap air mata di pipi keriput Ibu. “Maaf, Bu. Tadi aku mampir beli kue lapis untuk Ibu. Aku janji, tidak akan pulang terlambat lagi. Tapi, Ibu juga harus janji, jangan pernah ke jalan raya lagi. Janji ya, Bu?”
Ibu mengangguk.
Aku memapah Ibu dan kami berjalan pulang. Kue lapis serta teh manis yang pasti sudah dingin menanti kami di rumah. (*)
Kamar Cokelat, 18 Mei 2021
Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata