Kucing Tetangga
Oleh : Cokelat
Aku benci dengan kucing di sebelah rumah, seekor persia jantan yang gagah. Namanya Bram. Dia selalu berusaha mencari perhatian Moza, kucing Mbak Ana. Sudah beberapa purnama ini, hampir setiap malam dia akan ribut di teras lantai dua, memanggil Moza untuk keluar. Dasar ganjen, yang dipanggil pun akan keluar dengan berlenggak-lenggok.
Moza sadar betul kalau dia sangat menarik perhatian kucing jantan itu. Dia akan pura-pura mendengkur halus ketika di dekat Bram, lalu mengelus-eluskan ekornya ke wajah si pejantan. Memuakkan! Benar-benar seekor betina penggoda.
Sementara Bram, dia juga akan mendengkur halus pada Moza. Menempelkan tubuh kekarnya sepanjang malam dan kadang menjilat-jilat wajah Moza dengan lidahnya. Aku merasa jijik dengan kedua kucing itu.
Aku tak akan peduli seandainya mereka tak berisik. Hal yang membuatku dongkol adalah kegaduhan yang ditimbulkan Bram jika Moza tak cepat datang menemuinya ketika dipanggil. Seperti malam ini, baru saja aku merebahkan diri, suara Bram tiba-tiba terdengar. Pejantan itu memanggil-manggil Moza dengan hebohnya. Astaga … perasaan ini belum memasuki musim kawin kucing. Kenapa kucing itu tak bisa menahan berahinya sebentar saja?
Aku memasang telinga. Tak terdengar suara balasan dari Moza. Ke mana dia? Tumben. Biasanya, kucing betina itu akan segera berlari menyongsong kekasihnya jika Bram mulai membuat keributan di teras lantai dua.
Terdengat suara pintu kamar sebelah terbuka. “Bram. Hush. Ayo pulang sana! Moza sudah tidur, dia lagi flu. Ayo, Bram. Pulang sana ya, Sayang.” Itu suara Mbak Ana.
Ternyata Moza sedang sakit. Pantas saja Mbak Ana tak membawanya turun ke dapur saat makan malam tadi.
Bukannya pulang, Bram malah semakin menjadi-jadi. Aku mendengar suaranya mengeong sambil menggaruk-garuk daun pintu kamar Mbak Ana. Ya ampun, cinta memang bisa bikin siapa saja menjadi gila. Bahkan seekor kucing sekalipun.
Akhirnya Mbak Ana menelepon Mas Adi, pemilik Bram. Aku mendengarnya meminta Mas Adi menjemput kucing jantan kesayangannya itu. Rasakan!
Aku tersenyum. Ah, malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak. Tanpa ada gangguan dari sepasang kucing yang sedang mamadu kasih. Nikmatnya. Aku merenggangkan otot dan mulai memejamkan mata.
Akan tetapi, ketenangan yang kurasakan tak berlangsung lama. Hanya tiga hari. Ya, tiga hari. Saat Moza sembuh dari sakit flunya, mereka berdua kembali bertemu di teras lantai dua, dan menghabiskan waktu bersama hampir sepanjang malam.
Kelakuan kedua kucing itu ternyata bukan hanya menggangguku saja. Rupanya Mbak Ana juga merasa kurang senang. Saat aku sedang santai di ruang keluarga tadi sore, aku mendengarnya menelepon.
“Mas Adi, kurasa kita harus memisahkan mereka dulu untuk sementara. Menghabiskan waktu hampir tiap malam di teras, Moza jadi sering flu akhir-akhir ini.” Setelah itu, Mbak Ana diam. Mungkin mendengar jawaban Mas Adi.
“Iya, Mas. Kalau begitu, mereka berdua kita kurung dulu. Mudah-mudahan, mereka akan melupakan satu sama lain karena jarang bertemu.” Mbak Ana lalu mengakhiri pembicaraannya dengan Mas Adi.
Sejak hari itu, Bram dan Moza benar-benar dikurung. Mereka berdua tidak bisa keluar rumah. Jangankan ke halaman atau ke rumah sebelah, ke teras lantai dua pun Moza sudah tak diizinkan lagi oleh Mbak Ana. Begitu juga dengan Bram. Kucing jantan yang gagah itu tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya.
Aku menikmati keadaan ini. Walau harus kuakui, terasa ada yang hilang. Ya, aku mulai merasa rindu dengan suara berisik Bram yang mengeong-ngeong di teras lantai dua. Apa-apaan aku ini? Aku tertawa sendiri. Dasar gila!
Hampir seminggu dikurung, Moza jatuh sakit. Mbak Ana kalang kabut. Saat diperiksa ke dokter, Moza dinyatakan sehat. Dia hanya malas makan, makanya jatuh sakit, lemas dan tak bergairah.
Mbak Ana akhirnya menelepon Mas Adi. Perempuan cantik itu meminta maaf dan berharap Bram dibiarkan bisa bertemu Moza lagi. Mbak Ana merasa, sakitnya Moza karena menahan rindu pada Bram.
Betapa kagetnya Mbak Ana ketika Mas Adi mengatakan bahwa Bram juga sakit. Sudah dua hari, Bram malas makan dan tak bergairah. Astaga … aku hanya melongo ketika mendengar Mbak Ana menceritakan semuanya pada kakaknya, Mbak Lina.
Sungguh romantis kisah dua ekor kucing ini. Romantis yang memuakkan!
Akhirnya mereka berdua diizinkan bertemu. Keduanya berangsur pulih.
Malam ini, sejak pukul delapan Bram sudah mondar-mandir di teras kamar. Kenapa Mbak Ana tak keluar dan mengusirnya? Mungkin Mbak Ana masih bersedih.
Bram masih terus mengeong-ngeong. Dia mulai menggaruk-garuk daun pintu kamar Mbak Ana. Kasihan, andai dia tahu kalau Moza ditemukan tak bernyawa tadi pagi di dapur, dia pasti sedih. Moza tewas dengan tubuh penuh cakaran dan cabikan. Mayatnya tampak menyedihkan.
“Momo …. Ayo masuk.” Suara Mbak Lina mengagetkanku.
Aku mengeong lembut dan berjalan masuk. Biarlah, Bram bisa menunggu. Setelah lama memendam perasaan ini, toh masih ada banyak waktu untuk menggodanya. Aku melenggang masuk sambil tersenyum licik.
Cokelat, menerima kiriman berbagai jenis cokelat, baik padat maupun cair.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata