Kriminal Kelas

Kriminal Kelas

Kriminal Kelas

M Indah

Terbaik 6 Lomba Cerpen Autofiksi

Saya mulai mengenal ‘kegilaan’ pada kelas dua SMA. Setelah lepas dari kelas 1.1 yang bertaburan murid-murid pintar, di kelas 2.9, saya layaknya bayi yang baru lancar berjalan, berkeliaran ke mana pun saya suka, mengeksplor berbagai macam ‘histeria’ remaja. Sebut saja nama majalah remaja, saya pasti mengetahuinya. Model rambut terkini? Pernah saya coba untuk ke sekolah. Bolos kelas? Oh, tentu tidak, Esmeralda. Kegilaan saya hanya untuk hal-hal positif, tidak ada hubungannya dengan hal-hal ‘kriminal’.

Yang tidak pernah saya sangka adalah, kelas baru saya berisi murid-murid bermasalah. Langganan keluar-masuk ruang BK, masuk kelas setengah nge-fly, berbondong-bondong bolos sekolah, atau kongko-kongko di UKS dengan alasan sakit kepala. Tentu saja pelakunya adalah mereka, cowok-cowok penghuni baris paling belakang. Sembilan orang plus sekian orang yang terlihat alim, tapi ternyata juga bermasalah.

Entah mengapa pula, kelas saya berisi empat puluh satu anak. Padahal, normalnya hanya empat puluh anak dengan formasi 8×5. Karena keabnormalan itu, baris paling belakang ditambah satu meja di tengah-tengah.

Saya adalah salah satu dari empat murid perempuan yang duduk satu baris di depan baris belakang. Di belakang saya, duduk Mas Bimo, cowok bermata sedikit sipit yang kalau tertawa matanya sering jadi segaris. Saya memang memanggil para kriminal kelas itu dengan sebutan “Mas” karena rata-rata umur mereka setahun lebih tua, bahkan ada yang bedanya hampir dua tahun. Mas Bimo ini senang sekali mengajak ngobrol. Tidak seperti Mas Dani dan Mas Yuda yang selalu tidur di pojok kelas. Setelah lulus, baru saya tahu bahwa mereka tidur bukan karena mengantuk tetapi karena mabuk.

Suatu hari, pada pelajaran Ekonomi yang sangat membosankan, Mas Bimo mendesis-desis memanggil saya.

“Em, ssst …, Em ….”

“Hm?”

“Sini, nyandar.” Dia menyuruh saya duduk tegak bersandar di sandaran kursi. Saya menurut, sambil mengarahkan pandangan kepada Bu Yeti yang berdiri di belakang meja guru, di sudut sebelah jendela, berlawanan dengan pintu.

“Rambutnya keluarin.” Kembali saya menurut dengan mengurai rambut saya yang hari itu saya gerai bebas. Rambut saya, yang saat itu panjangnya sepunggung, mendarat di mejanya. Cowok berkulit kuning langsat itu memang sering memainkan rambut saya ketika gabut.

“Aku kepang lima, ya, Em?”

Saya hanya sedikit mengangguk lalu berbisik, “Yang rapi, ya.”

Dia tidak menjawab, tetapi saya bisa merasakan tangannya mulai membelai rambut saya dan membagi rambut saya menjadi beberapa bagian.

“Adikku minta dikepang lima besok, jadi aku mau latihan,” katanya masih dalam suara lirih.

“Emang si Kay kelas berapa sekarang?” Saya pernah mendengar ceritanya tentang Kay, adik perempuannya. Namun, saya lupa tepatnya umur Kay. Yang jelas, beda sangat jauh dengan Mas Bimo.

“Masih TK, tapi gayanya selangit. Centilnya kebangetan pokoknya.”

“Eh, Em, Bimo tadi habis garuk-garuk pantat tau. Dia belum cuci tangan dah pegang-pegang rambutmu. Ati-ati ntar ketombean.” Ben, si pelaku penyiraman air comberan saat saya ulang tahun bulan lalu, ikut nimbrung dalam obrolan. Saya hanya memutar bola mata, tak bereaksi lebih. Tahu, kan, kenapa saya tidak memanggilnya menggunakan embel-embel “Mas”?

Mas Bimo hanya berdecak untuk menanggapi omongan Ben. Dia lanjut bercerita tentang Kay dan segala tingkah polah bocah yang katanya centil itu. Sesekali aku menimpali dan menanyakan tentang Mbak En, kakak Mas Bimo. Kami mengobrol seru dan selama itu saya terus melihat ke arah Bu Yeti. Kadang menunduk pura-pura mencatat pada saat saya tidak dapat menahan tawa mendengar cerita Mas Bimo.

Ben sudah tidak berusaha ikut ngobrol lagi, sementara Bu Yeti, yang dari mukanya saja sudah terlihat galak, terus menjelaskan tentang teori-teori ekonomi. Ralat. Bukan menjelaskan, melainkan membaca penjelasan di buku teks. Buat apa mendengarkan kalau bisa membaca sendiri di rumah, kan?

Saking serunya obrolan kami, tak terasa jam pelajaran telah berakhir. Sebelum mengakhiri kelas, Bu Yeti menegur Mas Bimo dengan ketus.

“Itu, Mas yang di belakang saya perhatikan dari tadi ngomooong terus. Emangnya udah ngerti? Awas kalo nanti ndak dapat nilai seratus.”

Mas Bimo langsung melepaskan tangannya dari rambut saya. Tubuh saya langsung kaku. Pandangan saya lurus ke Bu Yeti. Saya pasang muka polos, menyampaikan pesan bahwa saya terpaksa mengobrol dengan Mas Bimo. Saat itu, saya dapat membayangkan Mas Bimo menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil berkedip-kedip. Dia sering melakukan itu ketika kami mengobrol di kelas, saat dia merasa salah bicara. Cukup menggelikan jika situasinya sedang santai.

Ketegangan segera terurai begitu Bu Yeti meninggalkan kelas. Nasib baik, kami tidak mendapat hukuman. Mas Bimo langsung menggerutu karena hanya dia yang kena omel, sedangkan saya tidak.

“Ya, maaf. Aku udah mahir berbicara tanpa membuka mulut. Aku sama Nina sering, kok, ngobrol selama pelajaran. Tapi nggak pernah kena teguran, kan? Hehe ….”

Memang saya dan Nina, teman sebangku saya, hampir tiap hari mengobrol kalau penjelasan guru terasa membosankan atau ketika kami merasa ngantuk. Sayang sekali, hari itu Nina sedang tidak masuk. Pasti lebih seru ngobrol bertiga, tapi yang diomelin guru hanya Mas Bimo.

“Walah, kalah kriminal kita, Ben!” Mas Bimo melihat Ben sambil mengacak-acak hasil kepangannya di rambut saya.[]

Tangerang, 27 Desember 2024

__

Komentar Juri, Imas Hanifah:

Salah satu cerita dengan ide yang cukup menarik sebenarnya, walaupun menurut saya, ada beberapa bagian yang terasa kurang kuat. Saya percaya bahwa cerita ini mencakup pengalaman penulis, tapi apakah cukup berkesan atau tidak untuk si penulis, sehingga ia memilih ide tersebut untuk dituangkan ke dalam sebentuk cerita? Saya ragu.

Walaupun demikian, ada beberapa bagian yang menjadi nilai tambah. Cara penulis memperkenalkan diri, karakter di sekitarnya, dan bahkan ketika sedang berdialog, hal-hal tersebut ditampilkan dengan cukup mengalir dan natural. Karena itulah, cerita ini pun layak berada peringkat 6, menjadi salah satu cerita yang ada di deretan 10 terbaik.

Selamat.

Grup FB KCLK