Krenceng
Oleh: Lilik Eka
Seorang lelaki paruh baya terlihat duduk di balai depan rumahnya. Ia duduk dengan sedikit membungkuk dan menopang dagu. Ia masih memakai sarung, baju koko, dan songkok hitam yang tidak sepenuhnya menutupi rambut ikalnya. Dilihat dari pakaiannya itu, pasti ia baru pulang dari masjid. Pandangan lelaki itu terarah ke pagar tembok di depannya. Pagar tembok yang membentang sejauh mata memandang.
Tembok itulah yang sudah menyempitkan pandangan dan mematikan sumber kehidupan keluarganya, juga keluarga lain. Lelaki itu terlihat menarik napas panjang, lalu mendesah. Kerutan di dahinya menggambarkan bahwa ia tengah berpikir keras. Kemurungan terlihat jelas di wajahnya, seolah tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Setahun berlalu dan hidup keluarganya semakin sulit. Bukan, bukan keluarganya saja, melainkan hampir seluruh warga dusun juga mengalami kesulitan. Dulu, meskipun tidak hidup mewah, ia dan warga lainnya bisa menghidupi keluarga dengan hasil sawah mereka. Semua hidup rukun dan damai, saling membantu dalam hal apa pun. Apalagi saat musim tanam tiba.
Pemilik sapi dan pemilik alat bajak tradisional bekerja bersama. Mereka membajak sawah secara bergilir dan yang tidak memiliki keduanya akan menyumbangkan tenaga dengan mencangkul. Warga masih menggunakan bajak tradisional untuk menekan biaya, karena harga sewa mesin bajak modern sangat mahal untuk petani gurem seperti mereka.
Begitulah cara mereka mengolah lahan sawah tanpa mengeluarkan banyak biaya. Bergotong royong dan bergiliran dari petak satu ke petak lainnya. Cara menggarap sawah itu juga bisa menambah kerukunan di dusun tersebut. Untuk pengairan, warga secara turun temurun mengambilnya dari Sungai Lor yang terletak di sebelah utara dusun. Sungai itu juga menjadi pasokan utama Waduk Notopuro. Dari sungai itu, dibuat parit yang mengalir ke area persawahan.
Di saat kaum pria menggarap sawah, maka kaum wanita bersama-sama menyediakan makan siang di rumah Kepala Dusun. Ada yang mengolah nasi, ada yang menyiapkan sayur dan lauk pauk. Tanpa diperintah, mereka sudah bergerak mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Mereka sudah terbiasa mengerjakan tugas sesuai kemampuan masing-masing.
Sementara para orangtua bekerja, anak-anak bermain di halaman atau jalan depan rumah Kepala Dusun. Ada yang bermain karet, ada yang bermain tekong, juga ada yang duduk hanya menonton. Seperti orangtua mereka yang bekerja sama, mereka pun tampak rukun dan saling menjaga. Anak yang usianya lebih besar mengasuh yang kecil secara bergantian tanpa memilih apakah itu saudara sedarah atau bukan.
Dusun Krenceng tempat tinggal lelaki itu adalah dusun kecil yang terletak di tengah area persawahan milik warga dari berbagai desa. Area persawahan membentang sepanjang puluhan kilometer persegi, menjadikan dusun itu sepi dan agak tertinggal pembangunannya. Namun, tetap membuat warganya betah hidup di sana dan bertahan hingga turun-temurun, tetapi itu dulu, setahun yang lalu.
***
Suara lenguhan sapi yang panjang telah mengejutkan lelaki itu. Ia berjalan tergopoh ke arah kandang sapi yang terletak di samping rumahnya. Ia berjalan cepat sambil mengangkat bagian bawah sarung, lalu mengikatnya di pinggang. Sapi milik lelaki itu terdengar melenguh lagi. Suaranya semakin nyaring dan panjang. Tak lama kemudian, lelaki itu keluar kandang dan masuk ke rumahnya melewati pintu samping yang berdekatan dengan kandang sapi.
Kemudian lelaki itu keluar lagi dan membawa ember yang airnya tumpah di sepanjang jalan. Ia juga sudah mengganti bajunya dengan celana pendek warna cokelat dan kaos oblong putih. Lenguhan sapi dari kandang terdengar semakin sering dan nyaring, sampai lenguhan terakhir berhenti. Kemudian lelaki itu keluar dan berteriak, “Sri, sapi kita sudah beranak!” Wajah lelaki itu tampak berseri-seri, kemudian ia pun masuk kembali.
Tidak lama setelah teriakan lelaki itu, seorang wanita keluar rumah dan masuk ke kandang. Wajahnya juga tampak berseri-seri seperti lelaki itu. Wanita itu tidak lama di dalam kandang sapi. Ia keluar kandang dan masuk ke rumah. Kemudian ia keluar lagi dengan menenteng kain. Entah apa yang mereka lakukan di dalam kandang sapi, bahkan lenguhan sapi pun sudah tidak terdengar lagi.
Hari terus berganti. Lelaki itu terus saja bertahan hidup di dusun, walaupun sawah tidak bisa digarap seperti dulu karena aliran sungai terputus oleh jalan tol yang dibangun dengan jarak enam meter di depan rumahnya. Jalan tol telah membelah persawahan sekitar tempat tinggalnya. Pembangunan jalan tol menguntungkan sebagian orang. Ada yang mendapat akses jalan cepat, ada sebagian pemilik sawah yang mendapat ganti untung hingga milyaran rupiah, tetapi jalan tol juga telah menyengsarakan sebagian orang lainnya, termasuk lelaki itu.
Warga Dusun Krenceng adalah contoh kecil yang mengalami kesengsaraan itu. Tanpa rembesan air dari sungai Lor, tidak ada yang bisa menggarap sawah. Karena aliran sungai itu satu-satunya sumber pengairan sawah mereka yang bisa diambil setiap saat. Jika hanya mengharapkan air hujan, maka mereka hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun. Itu pun sering tidak mendapat hasil sesuai harapan, karena hujan di daerah itu tidak bisa ditebak kapan turunnya. Bahkan pengajuan pembuatan sumur bor oleh warga pun belum juga ditindaklanjuti. Sementara untuk membuat sendiri, warga tidak mampu membiayai walaupun ditanggung bersama-sama.
Semakin lama, Dusun Krenceng makin hari makin sepi. Sebagian pria memilih ke kota untuk mencari nafkah, meskipun hanya menjadi buruh bangunan, kernet truk, atau buruh kasar lainnya. Sementara kaum wanitanya bertugas mengurus anak di rumah dan memelihara ternak, seperti sapi, kambing, dan ayam yang akan mereka jual sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Lelaki itu, masih sama dengan hari-hari kemarin. Duduk di balai depan rumah, menopang dagu, menatap pagar tembok di depannya dan terlihat sesekali menghela napas, lalu menggelengkan kepala. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Balikpapan, 14 September 2021
Lilik Eka adalah seorang ibu yang ingin memberi contoh pada anaknya, bahwa belajar itu tidak mengenal usia.
Editor: Imas Hanifah N
*Gambar hanya sebagai ilustrasi, bukan tempat yang sebenarnya. Diambil dari situs Pixabay.