Kota Penjual Bahagia
Oleh : Siti Nuraliah
Pada suatu pagi, sebagai pendatang baru di kota ini, saya memutuskan untuk berjoging ke alun-alun kota. Saya terpukau, di sini semua orang berwajah putih bersinar. Saya nyaris tidak menemukan satu orang pun dengan wajah murung. Semua terlihat sangat menyenangkan. Saya berucap “waaah ..” tanpa suara. Udara di kota ini sangat berbeda dari kota-kota lain, atau mungkin ini karena masih sangat pagi saja. Barangkali bila sudah sedikit siang, wajah kota yang asli akan menyibakkan tirainya. Tapi ternyata saya salah, meski sudah pukul setengah delapan dan saya sudah kembali berjalan pulang ke apartemen, jalanan kota masih terlihat asri tanpa suara klakson-klakson mobil. Hanya ada satu-dua mobil dan beberapa pesepeda.
Hari Minggu, biasanya di kota-kota metropolitan, jalan-jalan padat oleh mobil yang hendak berlibur menuju Puncak, orang-orang yang disibukkan oleh pekerjaan akan mencari hiburan untuk melepas kepenatan. Saya memandang ke luar dari kaca kamar lantai 15. Sudah pukul 10. Jalanan mulai ramai, tapi terlihat sangat rapi. Tidak ada yang ingin saling mendahului. Saya penasaran. Saya turun ke bawah, ingin menyaksikan langsung pemandangan yang cukup asing dan langka untuk sebuah kota besar.
Saat saya sudah di pinggir jalan, saya melihat seorang pejalan kaki, dia menyapa saya dengan senyum dan anggukkan khas orang desa. Saya jarang menemukan orang yang seramah dirinya di kota besar seperti ini. Wajahnya sangat menyenangkan, dia seorang pemuda tidak berkulit putih, namun bersih. Sorot matanya memancarkan aura kebahagiaan. Saya mengikutinya dari belakang.
“Hai!” sapa saya.
Dia menghentikan langkah, kemudian berbalik badan dan menyejajarkan langkahnya dengan saya.
“Halo,” jawab laki-laki itu, ditambahi senyum yang meluluhkan hati.
Saya jadi salah tingkah, mengingat baru satu bulan yang lalu saya dikhianati dan ditinggal menikah. Begitulah alasan saya datang ke kota ini memutuskan untuk tinggal beberapa waktu agar luka di hati saya bisa sembuh. Setelah memandang wajah laki-laki ini semangat saya untuk bisa menyembuhkan hati jadi semakin kuat.
“Orang baru, ya?” tanyanya.
“Iya, saya baru dua hari di sini,” jawab saya malu-malu, “mau ke mana?” tanya saya lagi.
“Saya mau ke toko bahagia,” jawabnya sambil menunjuk ke depan.
Saya pikir toko bahagia itu, sebuah toko yang menjual berbagai kebutuhan pokok sehari-hari. Dan yang disebutkan oleh laki-laki itu sebagai sebuah nama. Ternyata toko bahagia memang nyata, yang dijual di sana adalah kebahagiaan. Saya baru tahu setelah laki-laki itu memberi tahu. Dia juga mengatakan, jangan heran bila orang-orang di kota ini semuanya terlihat sangat bahagia. Katanya, di sini semuanya mengonsumsi kebahagiaan. Efeknya, orang-orang tidak mudah emosi dan bisa mengendalikan diri.
Saya sangat girang mendengar penuturan laki-laki itu. Saya jadi ingin cepat sampai. Laki-laki itu memperkenalkan dirinya, Hans. Dia mengajak saya untuk melihat toko bahagia, siapa tahu saya juga butuh satu atau dua porsi kebahagiaan, katanya.
Seperti apa bentuk kebahagiaan, saya masih mengira-ngira. Di ujung pandangan, sebuah bangunan megah mulai terlihat, orang-orang membludak di sana.
“Sebentar lagi kita sampai.” Hans menunjuk kerumunan orang-orang di depan sana.
Saya mengikuti Hans dari di belakang dan sekarang sudah berada tepat di depan gedung yang bertuliskan “Toko Bahagia”. Saya melihat gedung ini, seperti sebuah restoran, namun juga seperti rumah sakit. Unik. Dindingnya kaca sehingga saya bisa melihat orang-orang yang sedang duduk melingkari meja bundar dari arah luar. Di depannya ada bungkusan-bungkusan kecil. Saya yakin itu kemasan kebahagiaan. Namun, di sisi ruangan, ada sebuah meja dengan rupa-rupa botol berisi cairan warna-warni yang menarik. Seperti botol obat. Di sampingnya lagi, berderet etalase besar dengan aneka macam … seperti kue dan cokelat berbagai ukuran, dan warna-warnanya mencolok.
“Hans,” Saya berbisik pada Hans. “Saya ingin membeli kebahagiaan, bukan membeli kue.”
“Iya, di sini tempat membeli kebahagiaan, kamu mau berapa porsi? Itu yang bentuknya seperti kue.” Hans menunjuk deretan etalase.
“Kalau itu?” saya menunjuk sebuah meja yang sedang ada orang bercakap-cakap. Saya melihat seseorang di sana seperti sedang diinterogasi.
“Dia memesan kebahagiaan dengan racikan baru. Orang itu sedang diperiksa berapa dosis yang dia butuhkan. Seseorang boleh asal beli kebahagiaan yang ada di etalase itu, tapi tidak bisa sembarang membeli kebahagiaan dengan racikan yang baru. Karena penjual perlu tahu dulu seberapa kadar kebahagiaan pembeli yang telah hilang, dan berapa yang diperlukan.”
“Mengapa bisa begitu? Kenapa dia harus repot-repot berkonsultasi, sedangkan yang di etalase ini sudah banyak?” saya masih penasaran.
“Yang di etalase ini, untuk orang-orang yang butuh kebahagiaan tidak terlalu banyak. Dosisnya juga sudah disesuaikan untuk orang-orang normal. Kalau itu,” Hans menunjuk orang yang tadi, “mungkin dia orang yang butuh bahagia dengan dosis yang tinggi, sehingga perlu perhatian lebih dari pemilik toko ini.”
“Oh, jadi itu?” saya menunjuk deretan botol berisi cairan warna-warni.
“Iya itu bahan untuk digunakan membuat adonan kebahagiaan,” jawab Hans sambil mengambil beberapa bungkus bahagia di etalase.
“Kamu mau berapa? Biar saya ambilkan,” tanya Hans, menyadari saya yang masih takjub dan mengedarkan pandangan di sekeliling ruangan. Aroma hangat dan manis begitu memanjakan hidung. Sungguh begitu menyenangkan. Saya jadi ingin lebih berlama-lama di tempat ini.
“Atau kamu perlu kebahagiaan dengan dosis yang baru?”
Pertanyaan Hans menyadarkan saya bahwa ada kebahagiaan saya yang telah hilang. Barangkali saya memang perlu kebahagiaan dengan dosis dan takaran yang baru. (*)
Banjarsari, 23 November 2020
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis kadang suka membaca.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata