Kotak Hitam
Oleh: R. Herlina S
“Sudah mau berangkat, Nduk?” Simbok bertanya.
“Iya, Mbok. Hari ini Sri akan ada tanggapan di kampung sebelah. Doakan semoga anak-anak bisa tersenyum bahagia, ya, Mbok,” kataku.
Aku mengecup tangan kanan wanita itu. Tangan yang mulai keriput, yang setia mengajakku ke jalan yang benar, dan akan memukul jika aku melakukan kesalahan.
Aku berangkat dengan langkah perlahan. Mengenakan kostum badut yang sehari-hari aku kenakan. Bedak tebal, dengan blush on merah merona di pipi dan hidung, di sekitar mata kuberi penebal berwarna putih dan hitam, melukis bibir yang senantiasa tersenyum walau batin menangis. Tak lupa kukenakan wig brekele berambut kribo berwarna pelangi. Jangan lupa kostum polkadot dan bantal perut yang setia menemani. Ditambah sepatu kedodoran berwarna-warni.
Aku berangkat mengenakan sepeda butut lengkap dengan sebuah kotak yang kuikat di bagian boncengan. Kotak dari almarhum Kakek yang harus selalu aku bawa acapkali manggung sesuai pesannya. Biar mudah bikin orang ketawa, kata beliau.
Kotak berwarna hitam warisan dari kakek buyut itu selalu aku bawa ke mana-mana. Aku menyebutnya kotak tawa. Kotak di mana aku menyimpan semua tawa dari anak-anak juga para orang dewasa. Benar adanya, saat kubawa kotak itu, segaring apa pun leluconku, anak-anak masih bisa tertawa dengan lantang. Menimbulkan rona kebahagiaan tersendiri di hati.
Kotak tawa yang seumur hidupku tak akan bisa penuh. Walaupun setiap hari tubuh bermandikan peluh. Ah, bukan hanya seumur hidupku, tetapi seumur hidup kakek buyut, Kakek, Ayah, aku, dan akan diwariskan secara turun-temurun kepada anak pertama yang lahir di keluarga ini.
Ya, aku menjadi badut panggilan yang menyajikan segala macam banyolan untuk membuat anak-anak bahagia di hari ulang tahunnya. Sampai akhirnya senyuman tersungging dan tawa berhasil keluar dari bibirnya.
Sebenarnya, menjadi badut bukanlah pilihan hatiku. Aku lebih suka berkutat dengan angka-angka dan juga rumus matematika. Menurutku, itu lebih membahagiakan, walaupun sebagian orang bilang itu hal yang menyusahkan.
Namun, apa mau dikata, menjadi ahli waris satu-satunya membuatku tak berdaya tanpa bisa memilih. Ada alasan tersendiri dan beban mental yang kuat. Serta … sebuah tanggung jawab turun temurun dari nenek moyang untuk menjaga sebuah kotak hitam agar berjalan sesuai dengan fungsinya.
“Selamat, pemenang cilik,” ucapku acapkali ada salah satu yang memenangkan permainan yang aku buat.
Aku memberikan sebuah pensil, permen lolipop, atau terkadang sebuah kotak pensil yang aku simpan di dalam salah satu kantong ajaib di bajuku.
Permainan sederhana yang yang menimbulkan gelak tawa. Pemenang senang, pengikut permainan juga terhibur. Semua riang, hanya aku yang terkadang di rundung malang. Dada sesak karena gerak yang terbatas akibat baju yang kedodoran, tetapi banyak sumpalan di sana-sini.
Setiap kali pulang, kuintip kotak hitam yang selalu aku panggul di bahu kanan setelah mengambilnya dari boncengan sepeda. Ada garis hijau di dalamnya. Garis yang lambat laun semakin meninggi secara perlahan. Artinya, semakin banyak tawa anak-anak yang aku hasilkan. Namun, ia akan berhenti pada satu titik dan mengulang kembali dari awal.
Pernah suatu ketika aku bertanya kepada almarhum Kakek, “Mengapa indikatornya kembali ke nol, Kek? Padahal sehari lagi kotak tawa itu akan penuh?”
“Jika kotak tawa ini penuh, maka keseimbangan di dunia akan runtuh,” jawab Kakek.
“Mengapa demikian?” tanyaku selanjutnya.
“Karena … tawa adalah kebalikan dari tangis. Kamu salah, jika kotak ini menyimpan tawa. Justru kotak ini menyerap tangisan dan kesedihan hingga yang hadir hanya sebuah tawa dan kebahagiaan,” jelas Kakek panjang lebar.
“Bayangkan jika di dunia ini tidak ada tawa, yang ada hanya kesedihan dan tangis. Semua meneteskan air mata. Tidak terdengar lagi suara tawa menggelegar dan terbahak-bahak. Mata-mata mulai sendu, hidup pun tak muncul gairah,” lanjutnya kemudian.
Kini, aku mengerti dan memahami dengan benar perkataan Kakek tempo dulu. Mulai hari ini indikator kotak tawa ini tak mau berhenti, naik … naik … dan terus naik hingga akhirnya penuh. Melebihi batas maksimal yang bisa ia tampung.
Duar! Duar! Duar!
Bunyi ledakan terdengar nyaring. Kotak tawaku hancur seiring wabah mengoyak bumi. Wabah yang datang dan belum mau berhenti seakan enggan untuk pergi. Hingga kini.
Sub, 080820
– RHS-
Biodata narasi
Herlina Sari, lebih suka dikenal dengan nama pena RHS. Seorang melankolis yang punya hobby membaca juga menulis.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.