Kotak Amal (Episode 4)
Oleh: Karna Jayakarta Tarigan
“Walaikumsalam, Pak,” ia menjawab dengan senyum yang ramah kepada lelaki tua itu. Lalu berjabat tangan sambil menundukkan setengah kepala lebih rendah, laiknya seorang anak kecil yang sedang menemui guru. Wajah Jiwo memang telah berubah. Dari seraut muka yang begitu angker, keruh, dan tidak bersahabat, menjadi seraut wajah yang bersahaja, teduh, dan penuh ketenangan.
“Aku pergi dulu, ya, Wo. Ada urusan mendadak. Aku hendak pergi ke kota,” ungkap lelaki tua itu. Wajahnya terlihat panik, tidak tenang. Sepertinya ada sebuah urusan penting yang tidak bisa diwakilkan, hingga melewatkan kesempatan salat bersama.
“Ya, Pak. Hati-hati di jalan.” Sambil menyentuh bagian bawah pundak mantan guru ngajinya.
Jiwo kemudian berjalan ke samping musala untuk mengambil air wudu. Ia tidak ingin ada orang lain yang mengetahui gambar naga yang dibuat “asal-asalan” yang melekat seumur hidup di lengannya. Ia segera mengambil salat sunnah dua rakaat, sambil menunggu kedatangan jemaah berikutnya. Tak lama, satu dua orang datang sambil menatap penuh rasa heran dan beberapa orang lainnya datang menyusul hingga memenuhi setengah ruang dari musala kecil itu.
Juga dengan dengan tatapan yang sama, hanya berbeda makna. Entah rasa terkejut atau mungkin juga curiga … ia hanya menunduk malu. Namun, Jiwo pun sebenarnya tahu, tatapan itu penuh selidik. Menelisik dari wajah hingga ke kaki. Ada sinis yang mengikuti tatapan mata itu. Ia hanya mengambil napas satu-satu, berusaha berdamai dengan keadaan. Seperti yang ia lakukan dua hari lalu. Untunglah suara ikamah segera menyelamatkan keadaan. Semua orang buru-buru merapikan safnya. Menunaikan panggilan salat Magrib.
*
Ruangan ini begitu hening. Hanya terdengar suara gemericik air keran yang menetes, mungkin ada seseorang yang lupa menutup dengan sempurna. Lainnya, hanyalah suara sayup-sayup isak tangis seorang lelaki. Suara isak itu memang terdengar lirih. Namun, gaungnya seolah menembus dinding langit ke tujuh. Suara seorang lelaki yang sedang berbicara dari hati ke hati, kepada Tuhannya.
Baru dua hari ia berada di desa ini, belum juga sepenuhnya menikmati suasana desa yang tenang, jauh dari hingar bingar kota. Tetapi penolakan terhadap dirinya terasa luar biasa, menggema kencang dari mulut ke mulut, menembus dinding ke dinding, disebarkan angin semilir, melewati ranting-ranting, juga daun-daun kering. Dan gaungnya menyentuh kuping semua orang. Begitulah cara berita menyebar di desa kecil. Tak ada yang tidak diketahui oleh semua orang. Sebenarnya ia sendiri tidak begitu memedulikan. Toh, sebagai orang jalanan, ia biasa ditempa oleh kehidupan yang keras. Ujian seperti ini sungguh tidak berarti apa-apa. Hanya sekelumit kecil! Sebagai seorang mantan penjahat, tubuhnya begitu sering menerima siksaan-siksaan yang melebihi batas kesanggupan dan kemampuan orang biasa. Berkali-kali ia dihajar oleh benda tumpul saat dihakimi massa, atau jempol kaki yang dijepit ujung kaki meja. Bahkan beberapa kali sundutan sebatang rokok yang panasnya membara, menembus lapisan tipis kulitnya, juga tidak mampu membuat air matanya meleleh dan membasahi ubin kusam kantor polisi. Ia hanya berteriak sekeras raungan harimau kesakitan, jika siksaan itu terlalu kejam atau sangat menyakiti. Tetapi tidak untuk menangis.
Jika di malam ini ia menangis, tentu di luar kebiasaannya. Dan jelas bukan untuk dirinya. Ia merasa dirinya terlalu kotor, dan bergelimang dosa, bahkan ia sendiri tidak terlalu yakin, apakah Tuhan akan pernah mengampuni semua dosa-dosanya. Jiwo sadar, dosa-dosanya yang tidak terhitung. Menghamburkan uang di tempat pelacuran bersama wanita-wanita penghibur hampir di setiap malam; menghabiskan berbotol-botol minuman jalang; memukuli dan membunuh orang dengan semena-mena; mencuri dan entah apalagi kejahatan-kejahatan lainnya yang bahkan ia juga lupa menghitungnya, saking banyaknya. Kini lelaki muda itu telah menyandang gelar paling memalukan dalam hidupnya: mantan residivis.
*
Kemarin malam, di penghujung malam. Jiwo tak sengaja melihat ibunya menangis. Air mata seorang wanita yang telah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan jatuh deras membasahi ujung sajadah. Ia tidak ingin menanyakan langsung, atau meminta sedikit penjelasan. Jiwo tidak sebodoh itu. Ia tahu yang sebenarnya, penyebab Ibu menangis. Pikirnya, mengapa hampir semua warga desa ikut menghakimi ibunya yang tidak bersalah, bahkan tidak tahu apa-apa tentang kejahatan yang dilakukannya. Lelaki ini menangis, mengapa harus seorang ibu juga yang ikut menerima imbas perbuatan anak. Hampir tak pernah ada, seorang ibu yang mengajarkan perbuatan buruk.
Apakah hukum karma telah berlaku untuk dirinya? Kali ini Jiwo menangis, terus menangis, dan hanya bisa menangis meratap-ratap kepada Tuhan. Hingga dinginnya malam yang menusuk tulang, menjalar ke sekujur tubuh, dan membuatnya gigil menyuruhnya pulang.
Ia memakai sendal jepitnya yang butut, lalu melangkah dengan lunglai. Kakinya seolah tak bersendi, tak bertenaga. Hanya pendar cahaya kecil nun jauh di ujung sana, tepat di bawah bulan yang muncul separuh, sebagai penanda arah. Di bawahnya, seorang Ibu sedang berharap-harap cemas, mungkin ia sedang berkata, “Kapan kamu pulang, Nak. Malam telah larut.”
Dan Jiwo semakin menguatkan langkahnya.
Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula, pengagum Michael Crichton.
Episode Sebelumnya: (http://www.lokerkata.com/2019/07/kotak-amal-episode-3/
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata