Kotak Amal (Episode 3)
Oleh: Vianda Alshafaq
Wajahnya berubah merah padam. Bagaimanapun, ia tetaplah manusia biasa yang memiliki perasaan.
Rahangnya mengeras. Kepalan tangannya siap melepaskan pukulan kapan saja. Ingin sekali rasanya ia benar-benar melayangkan pukulan pada wajah lelaki itu. Tapi Jiwo masih sadar. Kemarahan bukanlah solusi yang dapat menyelesaikan masalah ini. Bagaimanapun, semua ini terjadi karena apa yang telah ia lakukan di masa silam, beberapa tahun lalu.
Mata tajam dengan warna hitam kecokelatan miliknya, ia pejamkan. Dadanya naik turun beberapa kali sesuai tarikan napas, melepaskan amarah yang bergejolak di dalam jiwa. Selang beberapa waktu, mata itu kembali memandang dunia. Diamatinya lelaki itu dengan diam. Lalu berkata, “Siramlah aku dengan kopi panas sebanyak yang kau mau jika itulah jalan yang bisa membuat kita membicarakan masalah ini baik-baik setelahnya.”
Lelaki itu–-Karso—hanya diam. Tangannya masih gemetar. Masih jelas terekam di benaknya apa yang baru saja ia lakukan pada Jiwo, lelaki yang dahulu dengan santai melayangkan pukulan dan tamparan pada orang yang mengganggunya.
Apa yang baru saja kudengar? Ia benar-benar menahan amarahnya? Ah, tidak mungkin! Ini semua hanya karena ada banyak orang di sini. Aku yakin itulah alasannya.
Seseorang yang suka memukul tetaplah pemukul. Seorang pembunuh tetaplah pembunuh. Ia takkan berubah semudah itu! batin Karso.
Keheningan terjadi di kedai kopi yang sudah tua itu. Suara-suara yang sebelumnya terdengar dari pelanggan lain yang mulai tak peduli pada kedatangan Jiwo setelah beberapa saat, kini telah enyah dan mengambang ke udara. Mata mereka dengan cermat menikmati tontonan gratis dengan Jiwo dan Karso sebagai pemeran utama. Bahkan tak sedikit dari mereka yang tersenyum miring melihat Jiwo yang hanya diam, tak seperti Jiwo yang mereka lihat di masa lalu.
Angin berembus sedikit kencang. Dinding kedai yang sudah tua yang hanya terbuat dari anyaman bambu ikut bergoyang pelan. Suara dedaunan pohon di sekitar kedai yang bertubrukan, berlomba-lomba memecah keheningan di sana, di tempat dua orang lelaki berbadan tegap yang hanya diam seolah tak memiliki suara.
“Kau sungguh hanya diam, Jiwo? Kau tak membalas perlakuannya? Ternyata sekarang kau tak lebih dari seorang lelaki penakut!” teriak seorang pemuda bertato dengan celana yang robek, tampilan khas seorang preman. Mendengar celetukan pemuda berjanggut tipis itu, semua pengunjung tertawa serempak.
Lagi, Jiwo hanya memejamkan matanya. Menarik napas lalu menghempaskannya. Diam. Sepertinya memang itulah yang harus dilakukan.
***
Hamparan sawah hijau dan beberapa yang mulai menguning terlihat sangat indah. Burung-burung pipit beterbangan, mencari rumpun padi paling enak untuk dinikmati. Tak ada yang mengawasi persawahan itu. Sawah persegi dengan air yang sudah kering itu sangat sepi. Hanya suara angin yang berdesau dan derap langkah seorang lelaki yang lamban, seperti jalan seekor siput. Jalan setapak yang lelaki itu lewati dipagari rumput-rumput kecil. Tepat di depan sebuah sawah persegi yang masih hijau, lelaki itu berhenti. Ia melayangkan pandangan sejauh yang ia mampu, menikmati indahnya pemandangan di sana. Sebuah pegunungan yang ditumbuhi pepohonan hijau dengan bentuk kerucut yang sangat indah. Awan-awan putih yang berlarian di sekitar gunung membuatnya tampak jauh lebih indah. Langit biru cerah dengan gumpalan awan yang terkadang membentuk pola-pola unik. Ah, betapa indah pesona alam yang sudah tak ia lihat sejak sepuluh tahun lalu.
“Semoga aku bisa mendapatkan langit itu. Langit yang bisa berdamai dengan beragam pola yang dibentuk oleh awan,” ucap Jiwo pada dirinya sendiri.
***
“Hei, Ning, kau sudah dengar belum kalau pembunuh yang sudah mendekam sepuluh tahun di penjara sudah pulang?” tanya seorang wanita paruh baya dengan suara yang sedikit dikeraskan pada temannya. Mereka tengah membeli sayur keliling untuk makan malam nanti.
“Maksudmu siapa?” tanya Ning yang tak paham akan pertanyaan tadi.
“Kau tak tahu? Coba saja kau tanyakan pada Bu Musinah. Ia pasti tahu siapa pembunuh itu,” ujar wanita tadi seraya menunjuk Bu Musinah—Ibu Jiwo—dengan mulutnya.
“Ah, apa benar tukang onar itu sudah bebas? Jangan sampai dia membuat onar lagi di kampung kita. Apalagi mencuri seperti yang dulu dia lakukan di kampung sebelah. Jika sampai begitu, lebih baik dia diusir saja dari sini. Aku tak rela nama kampung ini tercoreng lagi karena ulahnya,” ujar wanita lain.
Bu Musinah hanya menahan sesak di dadanya. Buliran air bening melapisi matanya yang tampak sayu, memperjelas penderitaan yang telah lama ia tanggung.
“Jiwo memang sudah bebas. Tapi ia tidak akan kembali seperti Jiwo yang dulu,” lirih Bu Musinah dengan suara parau menahan tangis.
“Hei, Bu Musinah, kenyataan tidak akan pernah berubah. Seorang pembunuh tetaplah pembunuh, pencuri tetaplah pencuri. Kau pikir semudah itu berubah dari kebiasaan jelek anakmu yang selalu membuat kampung ini ribut.”
“Tidak! Jiwo tidak akan seperti dulu lagi. Kau bisa memegang kata-kataku ini.” Bu musinah berlalu. Ia tak jadi membeli sayuran di sana. Dadanya semakin sesak ditambah dengan air mata yang sudah berlinang, dan siap meluncur kapan saja.
Sebenarnya bukan kali ini saja Bu Musinah mendapat perlakuan seperti ini. Jauh sebelum ini, ketika Jiwo masih mendekam di penjara, masyarakat di sini memang kerap begitu. Ya, masyarakat di kampung ini kerap mempertanyakan didikannya terhadap anak lelakinya.
***
Allahu akbar … Allahu akbar ….
Azan Magrib berkumandang. Suara lantang yang menyuarakan panggilan Tuhan itu saling bersahutan, berlomba-lomba menjadi yang paling indah dalam mengedarkan undangan Tuhan untuk segera melaksanakan salat. Jiwo menyahuti panggilan itu dalam hati dan bergegas menuju musala.
“Assalamualaikum. Jiwo, ‘kan?” sapa seseorang di halaman musala.
Vianda Alshafaq, gadis remaja penyuka senja. Bisa dihubungi melalui Facebook: Vianda Ashafaq.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata