Kotak Amal (Episode 2)
Oleh: Nurul Istiawati
Semilir angin mengantarkan aroma mawar di antara hamparan ilalang. Angin yang sama menggeser dedaunan kering di tempatnya berdiri sekaligus meniup debu di atas dua kursi bambu kusam yang mulai melapuk tergerus cuaca. Lelaki itu tegap berdiri memandang rumah kecil dengan perasaan bergemuruh di dadanya, berkejaran dengan debur rasa bersalah. Tangan kasarnya bergetar ketika membuka pagar kayu. Ia mengetuk pintu pelan seirama dengan degub jantungnya. Seorang wanita tua muncul dari dalam rumah yang remang. Tubuh wanita itu bungkuk seperti tengah memikul bumi dan seisinya. Wajah keriputnya menggambarkan guratan penderitaan. Lelaki itu bergeming memandangnya.
“Ibu.” Lelaki itu terkulai lemas dan menangis sembari memeluk lutut wanita yang dipanggilnya Ibu.
“Jiwo … anakku, kau sudah pulang,” ucapnya dengan suara bergetar.
Wanita tua itu lantas duduk mengusap air mata yang melabrak kelopak matanya.
“Ibu … jika ada hukuman yang setimpal untuk maafmu maka hukumlah aku.”
“Nak, jauh sebelum lidahmu dapat mengeja kata maaf, Ibu sudah memaafkanmu.”
“Masuklah, Nak. Bapakmu pasti senang melihat kau pulang.”
Rumah itu sangat sumpek dengan dua jendela yang berbentuk persegi empat. Hanya ada dua kamar dengan kasur dari kapuk sebagai tempat tidur. Jiwo tak menjumpai kipas angin atau AC yang tergantung di dinding–seperti yang ada di rumah yang pernah ia curi. Udara di dalam rumah ini lebih pengap dibanding di penjara. Jiwo membuka jendela. Udara pengap dan panas seperti kukusan langsung terdorong, terhempas setelah dibukanya kedua jendela.
“Bagaimana kalian bisa tahan hidup di kotak sabun begini?” tanya Jiwo yang sedang berkutat memandang sekeliling rumah.
“Bapak kan hanya tukang, untuk makan saja pas-pasan, mana bisa beli rumah yang layak.”
“Setelah ini aku janji akan cari kerja yang halal, biar bisa membeli rumah untuk kalian.”
***
Kebebasan memang selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar dari penjara, yang ia inginkan hanyalah mengunjungi kedai kopi di ujung gang. Menikmati secangkir kopi adalah cara terbaik melengkapi kebahagiaan. Begitulah yang Jiwo rasakan.
Kedai kopi ini nyaris tak ada yang berubah. Seolah-olah ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan. Meja dan kursi kayu masih tetap yang sama, hanya terlihat lebih tua dan gelap. Yang dulu tak ada, hanyalah sebuah poster bergambar anak muda yang sedang beraksi dengan gitar elektrik, terpasang di dinding. Ada tulisan di bawahnya, seperti lirik lagu. Jiwo berusaha tersenyum, ketika mendapatkan tatapan aneh dari pengunjung kedai. Sejarah memang aneh, dulu ia ditakuti, tapi sekarang ia seperti tak dihargai. Ia hanya menarik napas, menerima keadaan.
Beberapa orang di kedai langsung menatap tajam saat Jiwo masuk. Di antaranya ia kenali, para pendosa–seperti dirinya yang dulu–yang kerap berkumpul di kedai kopi. Ia tetap tenang, lebih tepatnya berpura-pura tenang. Sepuluh tahun di penjara membuat kewaspadaannya terasah baik. Apa pun bisa terjadi sekarang ini. Mungkin saja seseorang akan menyerangnya. Barangkali juga segerombolan preman akan meluapkan kebencian kepadanya. Bagaimanapun juga kebencian seperti mata pisau, kita harus berhati-hati menghadapinya.
Jiwo menghampiri pemuda penyaji kopi yang memandangnya tanpa berkedip. Mata pemuda itu mengingatkan mata lelaki yang dibunuhnya dulu. Umur pemuda itu baru 12 tahun saat ayahnya tewas. Kini pemuda itu tampak seperti banteng jantan yang siap meluapkan dendamnya.
Anak muda penyaji kopi itu telah berdiri menyodorkan secangkir kopi yang bergetar saat diletakkan di atas meja. Jiwo tahu pemuda itu gugup, tetapi berusaha terlihat santai.
“Ini kopi terbaik yang disajikan dengan cara terbaik,” ucap pemuda itu.
Di luar kedai, jalanan sangat ramai. Klakson angkot, knalpot sepeda motor berlomba-lomba meraung sekencang mungkin. Di toko seberang terdengar lagu pop klasik. Tapi Jiwo merasakan suasana sunyi di kedai ini. Semua orang di kedai ini terdiam memandangnya, berharap ada perkelahian seru.
“Duduklah, mari kita selesaikan semuanya semudah meneguk kopi.” Akhirnya Jiwo membuka pembicaraan. Pemuda itu menyeret kursi dan duduk di hadapannya.
“Kau pasti membenciku,” tutur Jiwo.
“Untuk apa membenci pengecut. Kau lebih pantas dikasihani.”
“Kau harusnya tahu alasanku membunuh ayahmu.”
“Pengecut sepertimu selalu mencari alasan untuk sebuah pembunuhan.”
“Sebagian pembunuhan memang harus dilakukan. Jangan salahkan aku sepenuhnya.”
“Seorang pengecut memang suka mencari pembenaran. Itulah sebabnya kau dapat selamat dari hukuman mati.”
Jiwo menghela napas panjang. Dadanya seperti ditimpa besi berat saat mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan pemuda itu.
“Aku datang untuk berdamai dan tentu saja untuk minta maaf,” ucap Jiwo penuh penyesalan.
“Maaf takkan mengembalikan nyawa bapakku!” suara pemuda itu mengambang di udara. Semua mata menatap tajam pada Jiwo.
Jika Tuhan saja Maha Pengampun, mengapa manusia seperti pemuda itu tak menerima maafku, batinnya.
Tiba-tiba ….
“Aaahh!”
Secangkir kopi panas sengaja ditumpahkan ke arah wajahnya. Ia berteriak kesakitan.
bersambung ….
Nurul Istiawati, gadis 18 tahun yang hobi dengerin musik klasik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata