Kota yang Indah

Kota yang Indah

https://id.pinterest.com/pin/826410600375971907/

 

Kota yang Indah

Oleh: Whed

 

Aku sering tertawa sendiri. Terkadang, aku tak tahu apa yang kutertawakan. Seperti saat ini, aku tak mengerti apa yang membuatku tertawa hingga tubuhku hampir terjatuh.

Dari tempatku duduk, tampak barisan gedung dan rumah yang berdiri tenang, tak bergerak. Mereka seperti kardus, bahkan jika dilihat lebih lama, bangunan berbentuk kotak itu seperti tumpukan sampah. Dan, menurutku itu sungguh lucu. Bangunan mewah yang mereka bangun dan banggakan tak lain hanyalah sampah. Ya, kota ini memang Kota Sampah. Sangat indah.

Aku sungguh beruntung. Di saat semua orang menjauhiku, aku masih bisa tertawa dan merasa baik-baik saja. Kota ini sungguh ajaib. Saat pacarku yang bangsat tiba-tiba menghilang, aku masih sanggup tertawa. Di sini, di kota ini, saat melihat orang-orang, aku merasa seperti sedang melihat badut. Mereka menghiburku.

Dan sore ini benar-benar menjadi sore terbaik. Rambutku dimainkan angin. Perut buncitku berkeriuk. Kata seorang dokter, di dalam perutku ada makhluk yang hidupnya bergantung padaku. Lucu sekali. Apa makhluk itu tak bisa memilih orang lain saja? Memilih Arin, teman yang suka menertawakanku, misalnya?

“Itu balasan karena kau mau tidur dengan banyak laki-laki, bahkan ayahku! Kau sudah menyakiti ibuku!” Arin menuding wajahku setelah aku menceritakan perihal makhluk di perutku.

Lalu, di samping Arin selalu berdiri Nanda, temannya—yang sebenarnya juga temanku. Dia akan berkata dengan suara pelan yang masih bisa kudengar, “Sudah, Rin! Biarkan jalang itu menikmati nasibnya.”

Mereka berlalu, meninggalkanku yang duduk  terpaku di kursi taman kampus. Hari-hari selanjutnya, orang-orang akan menyingkir saat berpapasan denganku. Dengan tatapan aneh, mereka akan berbisik dengan teman lainnya. Terkadang, setelah itu akan ada tawa yang terdengar.

Entah sudah berapa menit aku duduk di sini. Awalnya, aku hanya tertarik dengan tangga besi karatan yang membawaku ke atas gedung terbengkalai ini. Kemudian aku tertarik untuk duduk di atas tembok batu yang berada di atap gedung. Semua benar-benar tampak kecil. Aku pun bebas tertawa.

Tawaku terhenti saat samar-samar kudengar suara lelaki. Suara itu seperti suara Ilham, mantanku yang bekerja sebagai waiter, tetapi juga seperti suara Handi—lelaki yang saat putus dengan kekasihnya  yang mendatangiku ke indekos dan membawakan sebotol anggur. Namun, saat aku menoleh, sekilas kulihat lelaki yang wajahnya mirip dengan dosenku, tetapi saat aku menatapnya lama, lelaki itu mirip Om Doni, ayah Arin.

Aku menggeleng. Perutku kembali berkeriuk. Berisik. Karena bayangan wajah para lelaki yang baru saja kulihat itu menghilang, aku memutuskan untuk mengajak bicara makhluk yang mendiami rahimku.

“Hei, makhluk bodoh? Bajingan mana yang berani mengirimmu, hah?”

Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara tawaku sendiri.

“Aku yakin pasti si bangsat Andrew,” gumamku.

Oh, aku yakin pasti dia orangnya. Dia paling tampan dan paling sering datang ke indekos. Dia satu-satunya lelaki yang tak membayarku. Ya, aku yakin dia orangnya.

Sebenarnya, setelah tahu bahwa perutku dihuni oleh makhluk tak diundang, aku ingin pergi meninggalkan Kota Sampah, meninggalkan Ibu yang selalu mengeluh tentang tagihan listrik dan air yang terus naik, harga sewa kontrakan yang naik setiap tahun, juga harga makanan yang naik, dan gajinya sebagai buruh cuci yang tak pernah naik. Bukankah kalau pergi dari Kota Sampah ini aku tak akan mendengar keluhan-keluhan yang bagiku cukup menghibur itu? Ah, kini Ibu pun turut menjadi badut.

Kalau dipikir lagi, ada baiknya aku tak kembali ke kampus. Saat rektor mendengar kabar tentang makhluk di perutku, aku tak diizinkan kembali ke kampus. Dosen yang berjanji akan memberikan nilai bagus pun menghindari dan seperti tak mengenalku. Dan mulai saat itulah orang-orang menjauhiku, selain Ibu.

Mungkin, jika Ibu tahu, dia pun akan menjauhiku sama seperti orang lain yang tinggal di Kota Sampah ini atau malah senang karena tak perlu lagi membiayai kuliahku? Uang yang seharusnya dibayarkan untuk kuliah bisa digunakan untuk membeli baju seksi yang katanya bisa membuatnya dilirik oleh lelaki. Ya, Ibu pernah bilang kepadaku bahwa dia ingin memiliki suami.

Cahaya matahari mulai meredup. Langit perlahan berganti warna menjadi jingga. Aku yakin, nanti malam sampah-sampah itu akan menyala, mengalahkan sinar bintang. Lagi-lagi, aku ingin tertawa jika mengingat Kota Sampah yang penuh orang gila yang sukanya mentertawakan sesuatu tanpa tahu penyebabnya.

Meskipun begitu, kota ini tetap menjadi kota terbaik yang pernah kutinggali. Rumahnya, jalanannya, bahkan orang-orangnya mampu membuatku tertawa. Dan, aku benar-benar tak tahu mengapa mataku keluar air, membanjiri pipi saat aku tertawa. [*]

Ruang Kecil, 14 Februari 2022

 

Whed adalah nama pena dari seseorang yang lahir di bulan Maret. Hobi membaca membuatnya ingin bisa menulis. Beberapa cerpennya sudah terbit dalam buku antologi.

 

Editor: Vianda Alshafaq

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply