Kosong
Penulis : R Herlina Sari
Hidup dan mati adalah sebuah misteri. Tidak ada yang tahu di mana dan kapan kehidupan akan berakhir. Kita juga tidak akan pernah mengerti, bagaimana dan kapan rezeki terlahir.
“Tidakkk!”
Rezi tersentak dari tidur panjang. Degup jantungnya terdengar sangat kencang. Mimpi itu terulang lagi malam ini. Mimpi yang sama tetapi di situasi yang berbeda. Kali ini, tatapannya berpendar. Ia terbangun pada sebuah tanah lapang. Luas tetapi terasa pengap. Sesak, seolah-olah tanpa ada udara.
Rezi berjalan menyusuri lorong panjang tanpa tepi. Semua tampak gelap, tanpa ada cahaya. Sayup-sayup terdengar suara lirih nan tipis di kejauhan. Lantunan ayat suci Al-quran mengalun dengan sangat indah. Membuat perasaan sangat tenteram.
“Hai,” sapa seseorang dari arah belakang.
“Iya?” sahut Rezi seraya menoleh. Terlihat sosok dengan kulit putih bersinar. Badannya tegap dengan raut wajah yang tampan, walau tidak setampan Nabi Yusuf.
Rezi heran, dalam kondisi gelap masih sanggup melihat dengan jelas. Matanya seakan sudah terbiasa dengan bias cahaya yang cukup rendah.
“Namaku Reza, kamu anak baru, ya?” tanya sosok itu dengan dahi berkerut. Reza merasa aneh, selama di tempat ini, dia hanya sendirian, kesepian dan hanya ada kekosongan.
“Aku … Rezi. Entah apa yang terjadi. Sejak aku tersadar dan membuka mata, pertama kali yang aku lihat adalah tempat ini,” ucap Rezi sambil menerawang jauh, berusaha mengingat kejadian. Namun, tak setitik ingatan maupun kenangan yang tersisa.
“Kamu sendirian? Mau aku temani?” tanya Reza sebelum berjalan mendekat.
“Ini di mana? Mengapa semua terasa gelap?”
Rezi bertanya sambil menatap sekeliling, penasaran dengan keadaan di sekitarnya.
“Kita sedang berada di ruang tunggu, sebuah tempat yang disebut keabadian,” ucap Reza.
Mereka berdua melewati jalan panjang, sesekali bercanda dan tertawa. Menceritakan tentang kisah hidup yang mungkin terlupa. Hingga tanpa terasa kedekatan di antara mereka terjalin sempurna. Ada rasa yang tak biasa ketika Rezi menatap Reza. Ada debar kencang di dalam jantung, debaran aneh tanpa suara.
Rezi adalah seorang wanita muda yang cukup unik. Penampilannya nyentrik tetapi terkesan feminin. Suara rendah melantun indah dari mulut mungilnya. Gadis remaja itu menatap dengan penuh damba ke arah Reza.
“Za, kamu sadar tidak kalau nama kita itu mirip?”
“Mungkin ini yang disebut jodoh.”
Mereka terdiam cukup lama. Berusaha memahami makna yang tersirat dalam sorot tatap.
***
“Rezi … Zi … Rezi ….”
Suara itu terdengar pelan di telinga Rezi. Panggilan itu berulang-ulang. Samar tetapi terdengar sangat akrab. Tatapan Rezi menerawang jauh, ketika melihat setitik cahaya. Matanya berbinar cerah, ada harapan di balik segala pinta.
“Za, kamu lihat itu, ada setitik cahaya di sana.”
Dengan suara riang, Rezi menatap Reza, mengatakan apa yang mampu terlihat oleh mata cantiknya.
“Aku … tidak melihat apa pun, Rezi. Di sana cuma ada gelap, seperti biasa.”
“Tidak, Za. Itu ada setitik cahaya. Ayo kita ke sana!”
Rezi melangkahkan kakinya seranya menggenggam tangan Reza.
Mereka berdua berlari, terus berlari. Hingga pada satu titik, perlahan-lahan tubuh Rezi memudar, menjadi sebuah bayangan samar. Genggaman tangannya terlepas.
“Reza, aku kenapa? Tubuhku … tubuhku ….”
Belum sempat menyelesaikan kaalimatnya, perlahan-lahan Rezi menghilang. Meninggalkan Reza dengan perasaan tanya dan kehilangan.
***
“Reza!”
Gadis itu berteriak sambil membuka mata. Hidungnya mencium bau disinfektan serta obat-obatan. Rasa sakit menyerang tubuh Rezi. Terlebih ada rasa sesak dalam dadanya. Matanya berpendar ke sekeliling, tampak tirai hijau khas rumah sakit.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Zi.”
Ada binar bahagia juga rasa lega melihat anak semata wayangnya membuka mata.
“Mama, aku di mana? Aku haus ….”
“Jangan gerak dulu, kita sedang di rumah sakit sekarang. Kamu koma tiga bulan setelah kecelakaan itu,” ucap Mama Rezi seraya mengambilkan air minum.
“Reza di mana, Ma?” tanya Rezi ketika tidak tampak sosok pria gagah di sekitarnya.
Mama Rezi menoleh, dengan tatapan yang tak biasa. Batin wanita itu bertanya-tanya, siapakah Reza sebenarnya? Bahkan dalam kondisi koma, hanya nama Reza yang terus disebut oleh Rezi. Berkali-kali gadis itu mengucap nama Reza dalam tidur panjangnya. Sesekali tersenyum, tak jarang pula tertawa lirih. Entah apa yang Rezi lalui dalam mimpi indahnya.
“Seingat Mama, kamu tidak punya teman yang namanya Reza,”
“Reza … teman baru Rezi. Mungkin saat ini masih berada di ruangan itu,” pekik Rezi.
“Ma, bantu Rezi kembali ke sana. Reza masih ada di sana, Ma.”
Dengan histeris, Rezi teriak sambil menangis. Air mata mengalir dari kelopak mata, membanjiri pipi putihnya.
Mamanya hanya bisa memeluk, sembari menenangkan. Walau wanita cantik itu sebenarnya tidak tahu apa maksud putri tunggalnya. Sebuah pelukan hangat, semoga mampu menentramkan, walau tanpa ada kata-kata sapaan.
Tatap mata Rezi kosong, kehilangan sosok Reza yang selama ini didamba. Rezi merasa, sudah terlalu banyak canda juga tawa bersama Reza. Batinnya terluka, mengingat keakraban mereka berdua.
Senyum Reza membawa secercah cahaya bagi Rezi. Mengingat Reza, jantung gadis itu berdetak lebih cepat. Seolah-olah, Tuhan memberikan kesempatan kedua padanya untuk bisa bahagia.
Benarlah kata orang, meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan setelah sesuatu itu benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi. -Tere liye-
Setelah sembuh dan bisa menghirup udara luar, Rezi bertekad, akan menggunakan kesempatan hidup kedua ini, untuk bisa membantu sesama. Menciptakan senyuman di bibir mereka. Seperti ketika Reza memberi senyuman untuknya.
***
Di sisi lain, tampak senyum di wajah Reza, melihat tubuh gadis pujaan hatinya diam-diam memudar.
“Terima kasih, Rezi. Semoga kamu bahagia, dengan detak jantungku. Maafkan aku harus pergi lebih dahulu. Jalanmu masih panjang. Penuh dengan peluh harapan.”
Bayang maya tubuh Reza perlahan memudar, sebelum akhirnya menghilang dengan cahaya di sekelilingnya. Reza pergi menuju keabadian.
***
Aku hanya ingin kembali ke tempatku, di belakang sana. Menikmati apa yang kusanggup. -Dewi Lestari-
Lorong waktu, 06 Juli 2020
Tentang Penulis:
RHS. Cecan dari Surabaya. Sering tersesat hingga tak tahu arah jalan pulang. Menulis baginya hanya sekadar untuk menjaga kewarasan, dari ganasnya aksara buta yang nantinya membentuk sebuah cerita. Tentang kita yang masih terbilang rahasia. Iya, rahasia sesuai singkatan dari namanya. Apakah kamu percaya? Sok pantengin aja wall FB-nya dijamin akan terpesona dari seribu arah mata angin. Hingga akhirnya tergila-gila.
Editor: Erlyna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.