Konspirasi di Sumur Mukari
Oleh: Wardah T.
Pada suatu tempat yang lembap, sunyi dan pengap, waktu pagi yang masih gelap, kami diringkus, lalu dimasukkan ke dalam plastik hitam. Dari derap langkah yang terdengar, suara alam yang sama seperti kemarin, lalu diakhiri suara kerek tua yang terseok-seok menaikkan timba berisi air, aku menyimpulkan kami dibawa ke Sumur Mukari. Sebuah sumur tua di desa itu yang dikenal tak pernah habis airnya meski kemarau menjadi-jadi. Letaknya ada di sudut tikungan yang bercabang dua. Orang-orang menyebutnya pertigaan Mukari. Sebab Mukarilah yang menggali sumur itu. Seorang laki-laki tua yang mewariskan perawatan sumur kepada cicit laki-lakinya.
“Pagi sekali, Sur?” sapa perempuan di antara derik balok kayu tempat katrol menggantung. Aku mengira dialah yang membikin suara penuh derita di pagi buta.
“Lagi banyak cucian.” Kudengar suara debam ember penuh isi sebelum kami terlempar entah mendarat pada apa. Yang jelas aku syukuri, bukan sesuatu yang keras. Barangkali tumpukan baju. Kulihat teman-teman seperjuangan masih diam dalam ringkusan. “Kamu sendiri tumben sepagi ini sudah menimba air.”
“Pompa di rumah rusak. Terpaksa harus menimba ke sini.” Aku mendengarkan obrolan mereka sambil mengira-ngira, siapa lawan bicara peringkus kami ini.
“Ini, Sur, kalau mau menimba.”
“Tidak usah. Selesaikan saja. Saya belakangan. Tidak terburu-buru.”
Setelah mengatakan itu, peringkus kami membuka plastik hitam tempat kami. Hal pertama yang kulihat adalah langit yang masih gelap. Waktu yang paling menggoda untuk kembali tidur. Dingin dan selimut adalah buaian menghanyutkan saat ini. Kulihat teman-temanku yang menampakkan wajah muram, terlebih saat penimba tadi sudah pulang membawa airnya menuju gentong-gentong penampung, kemudian laki-laki itu datang tanpa suara. Menyambut sarung yang dikenakan peringkus sebatas dada. Kami menyaksikannya. Sesuatu yang tak pantas terjadi lagi.
“Kalian kenapa diam?” tanyaku kepada teman-teman yang tidak biasanya diam.
“Setelah ini, kita akan melakukan pembersihan.”
“Sampai kapan kita mampu melakukan pembersihan ini?” Sabun yang menyahut, di sampingnya Sampo tengah menengadah. Seperti berkomunikasi dengan penghuni langit.
“Sampai kamu, Sampo, dan Odol habis, lalu aku aus. Tugas kita selesai.”
“Bukan selesai, tetapi estafet ke generasi selanjutnya. Kepada sabun, sampo, sikat gigi, dan odol baru.” Odol menjawab masih dalam posisi berbaringnya. “Kalau saja bisa bicara dengan produsen kita, aku ingin mereka berhenti membuat alat-alat seperti kita.”
“Aku tidak setuju,” sela Sabun yang diiringi suara dengih dari peringkus dengan laki-laki asing yang kami kenali.
Sumur Mukari dikelilingi tembok setinggi dada orang dewasa, aktivitas mereka di lantai tentu tak akan mudah dijangkau mata dari jalan. Apalagi keberadaan pintu tunggal dari sisi utara yang tersembunyi, sangat mendukung sebagai tempat mereka beraksi. “Sebagai sabun yang diberkati aroma harum, kadang aku bangga memberi jejak di tubuh anak kecil setelah mandi. Atau menghilangkan bau ketiak kuli pencari nafkah, membersihkan keringat Ibu setelah lelah membersihkan rumah.”
“Benar,” kataku, “kita yang tidak beruntung berada di sini. Menjadi pembersih dari orang yang tak tahu diri.”
“Sesekali kita melewati ini.” Sampo ikut dalam perbincangan setelah bangkit dari kebisuan. “Saat dibawa ke sumur pada pagi hari. Di rumah, aku paling senang saat menjadi buih di kepala Tuan Penyabar. Lebih sering ikhlas membawa dakinya dan hanyut bersama air ke comberan. Aku bangga menjadi sesuatu yang membersihkan bagian tubuhnya yang mulia.”
“Mengingat Tuan Penyabar, aku paling senang menjadi buih di kulitnya yang bersinar. Halus dan lebih lembut dari peringkus itu, sekalipun dia perempuan.”
“Dan aku paling bahagia saat membersihkan sisa makanan di sela-sela giginya yang rapi. Tuan Penyabar sangat pandai merawat diri. Selain aku dan Sikat gigi, dia punya sebatang akar kecil yang dipanggilnya siwak untuk membersihkan geligi putih dan rapi miliknya.”
Cerita mereka dengan Tuan Penyabar adalah upaya pengembalian optimisme yang sebenarnya sudah lenyap sejak kami diringkus dalam plastik hitam. Memotivasi diri sendiri tepatnya. Mungkin juga pengalihan fokus dari pemandangan suram berbau haram yang kami temui belum genap sebulan ini.
“Bagaimana denganmu?” Odol bertanya kepadaku yang merenungi cerita mereka. Sabun, Sampo, dan Odol, mereka tak melulu bekerja di tubuh perempuan itu. Hanya aku benda yang istikamah menyikat gigi penuh dengan plak dan bau menyengat miliknya.
Aku menunduk. Tidak bisa menjawab dan bernostalgia saat membersihkan tubuh Tuan Penyabar yang dalam perspektif ini, di sanalah satu-satunya mereka bekerja mulia. Berbeda dengan mereka, kenangan yang kumiliki hanya tentang busuknya rongga mulut si peringkus.
“Kalian beruntung.” Aku berkata tak kalah lirih dari desah kedua orang yang terkapar oleh pergelutan setan. “Aku tidak memiliki kisah manis seperti kalian.”
“Hei, pekerjaanmu mulia, kawan.”
“Apakah masih bisa dikatakan mulia kalau orang yang aku bantu bersihkan giginya adalah pendosa? Berdosa membohongi suaminya. Pamit ke sumur untuk mencuci, sampai sini malah bermain dengan cicit Mukari.”
Lagi pula, apa yang baik darinya? Secara fisik, Tuan Penyabar penyejuk pandangan, sedangkan cicit Mukari pendidih gelora. Kalau aku, lebih baik pilih sejuk daripada panas. Entah bagaimana manusia. Kadang penampilannya tak bisa diiraskan dengan hatinya. Kerap terjadi kontradiksi pada mereka.
“Aku merasa … pekerjaanku lebih buruk daripada pekerjaan sikat kloset. Lebih baik membersihkan sesuatu yang dianggap kotor dan menjijikkan daripada rongga mulut yang terlihat baik sebenarnya munafik. Selain sisa makanan, tentu sisa gibah, fitnah, kebohongan, dan perkataan keji lainnya menempel di email gigi. Dan aku, tidak mampu membersihkan semua itu.” Aku baru menyadari ini. Sebelumnya, tidak pernah ada rasa iri terhadap sesuatu. Aku suka menjadi diriku dan kegunaanku. Namun, sejak peringkus itu membawa kami ke sumur ini pertama kali, kami dijadikan saksi bisu perbuatannya seperti tadi. Tidak sekali, bahkan tidak cukup tiga kali. Mereka melakukan saat Tuan Penyabar pulang ke kota.
“Tenanglah! Kamu boleh mengatakan pekerjaanmu buruk, tetapi kamu tidak buruk. Kamu bisa menjadi pahlawan, mewakili kami yang tidak punya tubuh kuat dan masuk dalam rongganya,” kata Sampo yang membuat Odol dan Sabun seperti tercerahkan.
Dari sana sebuah persekongkolan tercetus. Saat laki-laki-asing-yang-kami-kenali itu pamit dengan kecupan mesra melumat bibir peringkus, kami menyusun rencana. Tentu perlu satu sekutu lagi untuk menyukseskan konspirasi ini. Air.
Setetes air dari burai sumur kami utus untuk menyampaikan amanat kami kepadanya sejumlah air yang akan tersangkut pada timba peringkus nanti. Seperti Muhammad mengutus Dihya bin Khalifah al-Kalbi kepada Kaisar Heraclius, mengajak mereka bersatu dengan kami demi satu tujuan. Suara kesepakatan itu menggema dari bawah sana.
Tibalah waktu kami kerja rodi. Laiknya masa penjajahan, kami dipaksa bekerja keras membersihkan hadas yang didapat dengan cara terlaknat. Saat perempuan itu mengeluarkan kami dari plastik hitam, Sampo yang diambilnya pertama. Agar tidak ketahuan, berbarengan dengan itu, sabun melompat ke lantai sumur. Duduk dekat kaki peringkus. Seperti kebiasaannya, perempuan itu akan mengambilku dan membubuhkan Odol sebelum membilas buih sampo di rambutnya. Di situlah Sampo beraksi. Bersama air, mengaliri keningnya perlahan hingga mencapai matanya. Rencana pun dimulai.
Posisi Sabun sangat menguntungkan. Tubuh basahnya mencipta licin saat kaki peringkus menyentuhnya lalu terpelanting menubruk timba di bibir sumur. Dalam kondisi serba licin berkat air, tubuhnya menukik ke dasar liang sumur. Kami mendengar sorak-sorai air berupa debur. Kabarnya, sumur yang tidak pernah kehabisan air itu karena digali sedalam 40 meter dari permukaan tanah. Itulah kenapa suara peringkus tidak kudengar lagi, dan kami berangkulan.
Ini bukan kejahatan. Ini hanya karma. Karena yang bisa disebut jahat hanyalah makhluk yang punya hasrat dan pikiran, bukan benda-benda seperti kami yang sering dipaksa membersihkan kotoran mereka. Terutama manusia.
Madura, 20 Oktober 2021
Wardah T. Editor lepas yang belajar menulis. Bisa ditemui di Facebook dengan nama akun Wardah Toyibah.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata