Kompromi
Oleh: Ketut Eka Kanatam
“Apa yang Anda pikirkan?”
Aku menatap tulisan dalam ponsel tersebut dengan perasaan campur aduk. Haruskah kutuliskan saja apa yang sedang memenuhi pikiranku akhir-akhir ini? Akankah ada perbedaan dalam hati jika semua yang menyesakkan dada ini kutulis dan kuunggah di media sosial? Siapkah menerima segala akibat dari tulisan yang aku unggah itu? Teman mayaku banyak juga yang menjadi teman nyataku.
“Mas lihat, sering sekali kamu menghabiskan waktu dengan ponsel itu. Ada yang menarik, Dek?”
Cepat kuletakkan ponsel di meja begitu mendengar pertanyaannya. Suara Mas Gibran tidak terlalu keras, namun begitu melihat ekspresinya, aku merasa sedang ditegur olehnya.
“Mau aku panaskan lauknya, Mas?”
Aku hanya bisa menggeleng, berusaha tersenyum padanya. Aku berharap dia tidak menuntut agar aku menjawab pertanyaannya.
“Tidak usah. Aku sudah makan tadi di kantor. Aku lelah, Dek. Mau langsung tidur saja.”
Syukurlah, dia tidak penasaran aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Ya, Mas. Kalau begitu, lauk akan aku masukkan ke kulkas.”
Sebenarnya, begitu selesai makan malam dengan anak-anak, aku langsung memasukkan semua lauk ke kulkas. Lebih mudah jika memanaskan lauk yang ada di kulkas dan jika langsung disimpan di kulkas maka lauk itu tidak cepat basi.
“Agus sama Amelia sudah mengerjakan tugas sekolahnya, Mas. Sekarang mereka sudah tidur.”
Dia masih mengamatiku dengan teliti. Aku kembali bicara. Lebih baik segera laporan pada dirinya. Akhir-akhir ini, Mas Gibran sering sekali mengkritik kegiatanku. Katanya, aku terlalu banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman mayaku. Lebih baik aku katakan apa yang sudah kulakukan seharian ini. Aku tidak mau dia berprasangka yang tidak-tidak dan mulai membatasi kehidupan sosialku.
“Baguslah. Sudah larut malam, Dek. Ayo, tidur!”
Wajahnya tidak lagi tegang begitu mendengar perkembangan anak-anak kami.
“Ya, Mas.”
Refleks aku bangun dari kasur untuk mematikan lampu kamar. Dia tidak bisa tidur jika ada cahaya. Tidak sampai sepuluh menit kami berbaring, suara dengkurannya mulai menghiasi keheningan kamar.
Lelaki yang sudah belasan tahun hidup bersamaku ini, tidak menyadari kalau aku belum bisa memejamkan mata. Tatapanku kembali ke ponsel yang tergeletak di meja. Kalimat tanya dalam aplikasi itu kembali terbayang-bayang: Apa yang Anda pikirkan?
Banyak yang sedang aku pikirkan. Sejak kami menikah, bisa dibilang kalau aku selalu menuruti keinginannya. Selama ini, apa yang dimintanya kucoba untuk memenuhinya.
Saat malam pertama kami, aku mulai menyesuaikan diri dengannya. Ternyata, dia lebih suka tidur dalam keadaan gelap gulita. Sedangkan aku memiliki kebiasaan yang sebaliknya. Waktu itu, begitu ritual malam pertama kami selesai, dia bilang mengantuk. Masalah itu hadir di antara kami. Dia mengajukan permintaan pertama kepadaku. Kamar harus dalam keadaan gelap gulita. Sempat ada rasa tidak nyaman di hatiku untuk memenuhi permintaannya.
Kenapa bukan dia yang membuatku nyaman dengan bertanya apakah aku bisa tidur dalam kegelapan? Bukankah seharusnya dia mendahulukan keinginanku karena sudah berjanji dalam akad nikah untuk membahagiakanku? Semua pikiran itu segera kutepis. Aku tidak mau menjadi wanita yang egois. Pasti dia kelelahan setelah memuaskan diriku. Giliranku untuk membuat dirinya nyaman.
Kamar pengantin kami di rumah ibunya. Malu rasanya jika sampai mereka tahu kalau kami meributkan soal lampu kamar.
Masih jelas dalam ingatan, malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali. Membuatku terlambat bangun pagi. Semua keluarganya menatapku sambil tersenyum penuh arti. Aku hanya bisa menunduk, tidak sanggup meluruskan dugaan mereka. Semalam kegiatan kami berdua hanya membutuhkan waktu sekian menit, sedangkan waktu yang tersisa kuhabiskan dengan mata terbuka.
Itulah awal dari serangkaian kompromi yang aku lakukan sepanjang pernikahan kami. Pernah kucoba merubah kebiasaannya. Meminta dia mengerti keadaanku. Aku bilang padanya agar kita tidur dengan sinar lampu yang temaram. Dia terlihat enggan saat mengangguk. Berulang kali dia membangunkanku, meminta dibuatkan ini dan itu. Sangat melelahkan. Pada akhirnya, aku yang menyerah, perlahan-lahan mengubah kebiasaanku yang tidak sesuai dengan kebiasaannya.
Tidak mudah bagiku bertahan mendampinginya, apalagi saat orangtua dan saudara-saudaranya ikut campur dalam hubungan kami. Sering aku menahan air mata yang terkadang mendesak untuk keluar. Akhirnya, segala usahaku berbuah manis. Kepatuhanku membuat senyum selalu muncul di bibirnya saat kami berdua saja. Dalam dekapannya, aku mulai bisa menikmati malam demi malam dalam kegelapan. Setelah itu, satu per satu permintaannya terasa begitu mudah kupenuhi. Jika merasa ada keluarganya yang melemahkan tekadku, dengan cepat kualihkan dengan mengingat nasihat Ibu.
Setiap kali aku mengadu, Ibu akan mengelus rambutku dengan lembut. Beliau selalu mengibaratkan sebuah keluarga itu sama dengan sebuah kapal yang sedang mengarungi lautan. Jika ada dua nahkoda maka kapal itu tidak akan bisa kemana-mana karena keduanya memiliki pemikiran yang berbeda. Jika di dalam kapal begitu banyak ada penumpang dan semua memberi usul dengan mengatakan ingin membantu, maka terima lah keadaan itu dengan lapang dada. Ibu memintaku agar selalu yakin bahwa sang nahkoda bisa memutuskan apa yang tepat. Aku harus yakin kalau dia akan membawa seluruh penumpang sampai ke tujuan dengan selamat.
Nasihat itu yang aku pegang selama ini. Aku bisa bertahan tinggal dengan keluarga besarnya. Aku juga setuju ketika dia meminta agar tidak bekerja di luar rumah. Dia berharap aku fokus mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga.
Tidak mudah meredam keinginanku yang terkadang muncul untuk bisa seperti wanita lain yang tetap berkarir saat membina rumah tangga. Aku selalu mengatakan kepada teman-teman kalau aku ikut senang ketika mereka meraih kesuksesan. Setiap selesai menulis ucapan selamat di sosial media mereka, aku selalu bicara sendiri di depan cermin. Aku pun sukses dalam hidup ini, sama seperti mereka. Binar di matanya dan di mata kedua anak kami adalah buktinya.
Terkadang, ingin juga kupajang kebahagiaan kami di sosial media. Aku menahan diri tidak melakukannya. Mas Gibran pernah mengatakan tidak suka dirinya dipamerkan seperti itu. Kembali kuyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak membutuhkan pengakuan mereka atas keberhasilanku.
Kembali aku membalikkan badan, berusaha mengalihkan pikiran dari godaan mengambil handphone dan menuruti menjawab pertanyaan di media sosial itu.
Kurapatkan badan ke dadanya, berharap ada kehangatan di sana yang bisa membuat mata ini segera terpejam. Mas Gibran ada dalam pelukanku. Anak-anak tidak bertingkah yang mengkhawatirkanku. Semua baik-baik saja.
Mataku kembali terbuka begitu Mas Gibran bergerak, membuat pelukanku terlepas begitu saja. Dia memunggungiku. Kucoba kembali merapat, menghela napas dan mengembuskannya perlahan-lahan ke tengkuknya. Biasanya, dia menyadari saat aku melakukan hal itu. Dia lelaki yang peka. Tidak perlu waktu yang lama buat Mas Gibran untuk berbalik ke arahku.
“Ndak bisa tidur ya, Dek?”
Aku akan mengangguk dengan kuat begitu dia merengkuhku dengan erat. Seketika dada ini berdebar dengan kencang begitu dia mulai melakukan gerakan intim yang begitu kuhapal.
Kini, aku hanya bisa menatap punggungnya. Sepertinya, usahaku kali ini gagal total. Punggung kekarnya bagaikan karang yang tajam. Tanganku akan terluka ketika mencoba meraihnya.
Lelah mengatur napas agar dada ini tidak terlalu sesak membuatku bangun dari tempat tidur. Aku pergi ke kamar anak-anak. Aku tertegun di depan kamar mereka. Tidak seperti dulu, dengan mudah aku bisa keluar masuk kamar anak-anakku. Sekarang, aku tidak lagi bisa menyelinap dan tidur diam-diam di samping mereka. Pintu kamar mereka terkunci dari dalam.
Lampu ruang tengah kunyalakan. Aku harus makan sesuatu kalau mau menenangkan diri dan mata ini bisa terpejam.
Saat menikmati mie instan berisi telur sampai habis, ada rasa puas muncul dalam hati. Ini salah satu kebahagiaan yang baru saja kunikmati. Tidak ada lagi mertua yang membuatku sungkan ketika ingin melakukan sesuatu di dalam rumah.
Rasa tidak nyaman yang tadi begitu merasukiku juga perlahan memudar ketika perut ini kenyang. Aku bisa kembali ke kamar dengan tenang.
Langkahku seketika terhenti ketika melihat tas kerja Mas Gibran. Apakah salah jika aku memeriksa tasnya? Bolehkah aku mengambil ponselnya dan memeriksa apa isinya? Seharusnya tidak ada yang salah dengan tindakanku. Bukankah selama ini dia bisa melihat handphone-ku kapan saja dan di mana saja?
Kuperiksa tasnya. Aku harus tahu apa penyebab perubahan sikapnya yang begitu drastis kepadaku. Jika aku berkeluh kesah pada teman-teman mayaku tentang perubahannya. Aku harus yakin dulu kalau benar ada pihak ketiga yang menjadi biang keladinya. Jika aku menemukan bukti maka unggahanku di media sosial menjadi kuat.
Aku juga akan mendapat simpati dan dukungan dari teman-teman mayaku. Jika kapal yang aku tumpangi karam, maka setidaknya aku tidak sendirian tenggelam.
Setelah yakin Mas Gibran masih tidur dengan lelap, aku mulai beraksi. Hidup bersama selama lima belas tahun membuatku mudah menebak nomor yang dia pakai untuk mengunci ponselnya. Tidak ada nama baru dalam kontak yang dia simpan. Percakapan yang masih disimpan hanya urusan bisnis dengan rekannya.
Sepertinya kecurigaanku hanya berdasarkan perasaan saja. Aku kembali mengamati foto-foto yang tersimpan dalam galeri ponselnya dengan lebih teliti. Kenapa aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari foto dirinya dengan rekan kerjanya? Semakin lama menatap foto-foto itu, perasaan tidak nyaman semakin kuat kurasakan.
Wanita itu cantik. Tangan wanita itu bersentuhan dengan tangan suamiku. Mungkin, hal itu terjadi karena dia sedang menata kertas yang ada di samping Mas Gibran. Ekspresi wanita itu juga terlihat begitu wajar. Namun, aku merasa aneh saat menatap mereka berdua. Naluri seorang istri tidak pernah salah. Ada sesuatu di antara mereka. Dia dan Mas Gibran selalu berdampingan di foto-foto yang lainnya.
Semua gambar itu kukirim ke ponselku. Suara anjing yang melolong membuatku spontan menghentikan semuanya. Meskipun tengkuk tiba-tiba merinding, kutepis rasa takut itu dengan segera. Ada ketakutan yang lebih besar dalam pikiranku.
Suamiku masih mendengkur. Setelah mengirim foto-foto itu pada seseorang, segera kuhapus semua jejak di dalam ponselku. Aku kembali berbaring sambil memunggunginya.
Sepertinya, aku tidak akan bisa lagi kompromi dalam hal apa pun dengan dirinya(*)
Bali, 19 Juli 2022
Ketut Eka Kanatam, mengajar di Taman Kanak-kanak, penyuka warna ungu.