Kompilasi Surat Cinta Terbaik (part 6)

Kompilasi Surat Cinta  Terbaik (part 6)

Surat pertama dari Eda Erfauzan

Kepada Keyra
Dari Dinda

Apa kabar, Key?

Malam ini hujan yang baru saja usai menghadirkan banyak mahluk-mahluk kecil bercahaya, mengelilingi lampu taman. Mahluk cantik yang pernah membuat kita berebutan masuk ke kolong meja karena takut. Takut akan dibawa pergi mereka, yang menurut nenek berasal dari kuku orang mati. Namun, setelah masuk sekolah dasar kita malah senang berburu kunang-kunang dengan kantong plastik yang ujungnya terikat pada tangkai kayu. Mengumpulkannya dalam stoples kaca lalu meletakkannya di atas meja kamar sebagai pengganti lampu.

Kunang-kunang dan hujan selalu mengingatkanku tentangmu, Key. Tentang pertemuan tak sengaja di perpustakaan kota setelah bertahun kamu menghilang.

Pesanan untuk menulis beberapa artikel mengenai kehidupan rumah tangga, membuatku merasa harus mengunjungi perpustakaan untuk mencari referensi. Kejutan, aku bertemu denganmu, sahabat yang sempat membuatku iri dan tak bisa mensyukuri apa yang kupunya.

Key, tahukah kamu jika pesanan artikel itu, mampu membuatku melihat pernikahan yang kujalani dengan sudut pandang berbeda? Aku seperti menatap cermin dan merasa lebih peka.

Ya, Key, aku mengenali apa arti lingkaran merah di sekeliling lenganmu juga ‘sariawan’ yang membuatmu susah menelan. Bagaimana bisa, aku begitu asyik dengan kesulitan-kesulitanku, merasa menjadi orang termiskin dan termalang sedunia sementara sahabatku justru tengah berjuang, mempertahankan sesuatu dengan nyawa sebagai taruhannya?

Ah, Key siapa bisa menerka dan memilih jalan takdir. Saat kepalaku berpendar oleh banyak pertanyaan, berharap kita bisa rutin bertemu dan berbagi banyak hal seperti saat remaja, sebaris pesan muncul di layar ponselku.

“Key hari ini berpulang, Nda. Maafkan semua salahnya, ya ….”

Rasanya seperti terbang aku meluncur ke rumah orang tuamu, Key. Rasa sesal dan sesak bergulung mengiringi perjalananku.

Dulu, kita pernah membahas hal ini kan, Key? Saat studi lapangan, kita bertemu kasus KDRT dan kamu, dengan mata berpendar penuh semangat berkata, tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi dalam rumah tanggamu. Selalu ada cara untuk menyelesaikan setiap masalah. Lalu, saat itu sungguh terjadi, ke mana perginya semua cara itu dari otak cerdasmu? Kenapa kau tak melawan, Key? Bukankah selalu ada pilihan untuk pergi? Kenapa memilih bertahan hingga nyawamu hilang? Tak pernah ada cinta jika berujung kekerasan dan hilangnya nyawa.

Maafkan aku ya, Key. Maafkan aku yang gagal menjadi sahabat terbaikmu, yang tak pernah ada untuk menguatkanmu, mendampingimu hingga jalan keluar itu bisa kau lihat. Maafkan aku yang begitu egois. Sesak rasanya dada ini tiap ingat pertemuan terakhir kita, Key.

Sekarang, di sini aku mengenangmu bersama doa yang melangit. Bahagia-lah dalam naungan cintaNya yang luar biasa. Selamat malam Key.

Ciputat, 15012020

Surat kedua dari Cahaya Fadilah

Kepada : Pria masa depan.

Dari : Aku yang kau panggil, mama.

Entah kapan pun itu, tapi kuharap suatu hari kau bisa membaca suratku.

Assallamualaikum kesayangan.Salam cinta yang tidak pernah berhenti untukmu dariku.Saat aku menuliskan surat ini, kau sedang tertidur pulas di sampingku.

Diusiamu yang akan menuju angka empat, aku mamamu masih saja menganggapmu seorang bayi lucu. Tapi, satu waktu, kadang Aku menganggapmu seorang pria yang hebat.

Selain teman hidupku kini, kau juga seorang lelaki yang selalu melindungiku Karena kau, aku terus berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik. Karena kau pula aku terus menerus memperbaiki diri untuk pantas menjadi ibumu.

Kehadiranmu membuatku banyak berubah. Kau mengajarkan aku sabar, mengajarkan aku setia, kalau penantian itu tidak ada yang sia-sia. Kau juga, mengajarkan aku kuat, bahwa hidup tidak selalu jahat.

Hai, pria masa depanku. Siapapun yang bernama orangtua, pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Begitu pun juga aku dan ayahmu. Namun, kita ditakdirkan berpisah untuk sementara waktu dengan dia. Aku harus menjadi manusia kuat di sini sendiri tanpa sesiapa. Sedangkan ayahmu harus kuat berpisah dengan kita, terutama kamu anakku.

Ayahmu selalu berpesan untuk menjagamu dan mengajarkanmu hal baik untuk masa depanmu kelak. Karena ia sendiri tidak mampu melakukan semua itu karena dipermainkan jarak.

Bukankah Baginda Rasulullah berkata, hormati dan sayangi ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu. Tapi, bolehkah aku meminta dan ingat pesanku ini. Sayangi ibumu, ayahmu, lalu ibumu, ayahmu dan ibumu, ayahmu. Karena cinta kami kepadamu sama banyaknya. Namun, dalam bentuk yang berbeda.

Tidak banyak yang kuminta kepadamu, Anakku. Jika kau sudah besar nanti sayangi aku dan juga sayangi ayahmu. Jangan kau bedakan kami, karena aku dan Ayahmu adalah satu hati dalam jiwa yang berbeda.

Salam sayang yang tidak akan pernah padam untukmu. Terima kasih, pernah hadir dalam rahimku dan mewarnai hidupku.

Tertanda yang selalu mencinta, Mama.

Pekanbaru, 15 Januari 2020

Surat ketiga dari Tata Zee

Kepada: Orang yang kini bergelar “Mantan”
Dari: Tata, yang sedikit menyesal meninggalkanmu

Hai, apa kabarmu, Monster Logika?

Sempat aku membenci diriku sendiri karena memintamu pergi waktu itu. Kukira engkau adalah seorang optimis dalam semua bidang kehidupan termasuk dalam hal cinta. Sekarang aku tahu, pandanganmu terhadap cinta sama pesimisnya seperti pandangan Aristoteles terhadap wanita.

Setiap kali aku mengeluh dan menyuruhmu untuk berpikir sedikit saja seperti Plato terhadap perasaan manusia terutama wanita, kamu pasti menjawab dengan berbusung dada, “Ayolah… bukan Plato yang menyibukkan pikirannya dengan perasaan, tapi Shakespeare!” Lalu aku akan buru-buru lari ke perpustakaan, mencari lagi buku ‘Dua Puluh Karya Terbaik Shakespeare’ kemudian membacanya ulang dan melupakan keluhan itu.

Aku tidak tahu, tapi, hai, Romeo Plagmatis, apa kamu masih ingat ini?

Suatu hari, hujan turun dan aku menangis di bawahnya dalam keadaan demam. Saat itu, kalut akibat pertengkaran ‘orang rumah’ menguasaiku. Kamu datang mencoba menenangkan, tetapi aku menolakmu laksana orang sinting. Kamu bangkit kemudian tersenyum sambil memandang mataku dan berkata, “Setidaknya jangan biarkan dirimu mati dalam keadaan bersedih. Ingat? Democritus bilang kalau saat kita mati, diri kita akan terberai kemudian pecahan-pecahan partikelnya menyatu dengan segala sesuatu dan mungkin akan memengaruhi jika itu menempel pada sesuatu yang akan dilahirkan. Kamu tentunya tak ingin menularkan kesedihanmu pada bayi-bayi malang yang akan lahir nanti, kan?”

Kemudian dengan marah aku berteriak, “Aku bukannya ingin mati sekarang, bodoh!” dan berlari memelukmu. Sampai saat ini aku heran, mengapa aku tak pernah menganggap ucapanmu saat itu sebagai ejekan, ya? Mengapa hanya kuanggap sebagai salah satu pemikiran plagmatismu yang aneh?

Hari ini hujan turun. Aku memandangi hujan dari jendela kamar tapi rasanya hampa, tidak dingin seperti saat itu dan sama sekali tidak berwarna. Mungkin karena hujan ini diawali oleh mendung tak berkesudahan yang menyembunyikan matahari, sehingga mustahil untuk membiaskan tiap tetes air hujan yang berdebum ke tanah.

Maaf, ya, untuk pergi tanpa alasan jelas.

Semoga ‘Cinderella’-mu yang sekarang, akan cukup mampu mengetuk bagian otak yang mengunci perasaanmu, sehingga ia bisa bertahan hingga akhir, tidak seperti aku yang menyerah di tengah jalan.

Sepertinya saat aku lahir, ada partikel keegoisan dan keputusasaan beterbangan lalu menempel padaku. Itulah mengapa aku kemudian menyerah terhadapmu. Haha.

Terimakasih untuk pernah menjadi yang sempurna bagi persepsi rasaku yang tak pernah sempurna.

Beranda rumah sakit tempat pertama kali kita bertemu, 14 Januari 2020

Leave a Reply