Kompilasi Surat Cinta Terbaik (part 4)
Surat pertama dari Hisnanad
Teruntuk Dia yang Kupanggil Bunda
Dari Aku yang Kaupanggil Cinta
Bunda, apa kabar? Kenapa pergi dalam waktu lama? Kenapa terlalu betah untuk berjauhan denganku? Aku di sini tidak baik-baik saja.
Bunda, aku mohon dengarkan ceritaku ini. Cerita yang biasanya mampu kau mengerti tanpa kata. Cerita kesedihanku tanpa kehadiranmu belakangan tahun ini.
Bunda, Wulan menghianatiku. Gadis yang kuanggap teman sejatiku ternyata memiliki dua muka. Kemarin, ia memfitnahku mencuri. Pada akhirnya semua teman di kelas menjauh dariku. Tanpa terkecuali.
Bunda, Adib, lelaki itu meninggalkanku dengan luka. Kekasih yang pernah kubela di depanmu sekarang menunjukkan wajahnya. Ia penghianat. Sama seperti Wulan. Ia berselingkuh dengan gadis lain di depanku tadi. Tanpa rasa bersalah ia pergi. Memutuskanku dengan luka yang kutanggung sendiri, tentunya.
Bunda, dua cerita tadi tidak lebih sakit dari semua tentangmu. Tentangmu yang hanya bisa kukenang lewat mimpi. Ragamu mati, meninggalku dalam ruang senyap dan sepi. Sendiri.
Bunda, semua orang di sekitarku penghianat. Kebaikannya semua maya. Tidak sepertimu, sejati dan asli.
Malam ini hujan deras, Bunda. Petir menyambar dengan garangnya. Cakrawala seakan runtuh dibuatnya.
Hujan ini membuatku mengenang lagi tentangmu. Ingatkah, saat aku memelukmu dengan tangisan hanya karena takut dengan petir. Sekarang, siapa yang akan menenangkanku, Bunda?
Atau, apa kau ingat tentang pertama kali aku sakit karena kehujanan? Bunda menjagaku tanpa terlelap sedetik pun. Kau bertahan dengan wajah khawatir yang tidak bisa dijabarkan lagi. Cukup, wajah khawatirmu itu seakan obat yang manjur untuk rasa sakitku. Sekarang, khawatirkah dirimu dengan rasa sakitku, Bunda? Rasa sakit dalam hati yang lukanya menganga.
Bunda, aku rindu. Rindu dengan tepukan pelanmu di punggungku tiap malam dulu. Rindu omelanmu saat aku tidak mau makan dulu. Rindu semua tentangmu, Bunda.
Bunda, aku takut sendirian. Bolehkah jika sedetik saja kau mampir dalam mimpiku? Tentu sangat menyenangkan.
Bunda, kutunggu kedatanganmu selalu. Semoga kau juga rindu aku.
Dari cintamu
—
Surat kedua dari Lufia Aufa
Kepada: Ayah, yang kata ibu telah bahagia di surga
Dari: Lufia, anakmu yang selalu menunggu ayah pulang
Ayah,
Apa ayah nggak pernah rindu Lufi? Apa ayah nggak rindu ibu? Apa ayah tega bahagia di sana, sedang Lufi di sini selalu menangis ingin melihat ayah?
Ayah, lihatlah! Anak-anak itu gak mempedulikan Lufi. Mereka asyik bermain bersama ayah mereka, sedang Lufi termenung di sini. Di teras rumah menanti kedatangan ayah dari surga.
Setiap hari, Lufi menulis surat untuk ayah. Apa surat ini sampai kepada ayah? Apa ayah telah membacanya?
Atau mungkin ayah nggak sayang sama Lufi? Atau ayah nggak mau lihat Lufi? Atau ayah takut Lufi nakal?
Ayah, Lufi nggak pernah nakal. Lufi selalu membantu ibu. Lufi selalu menurut apa pun kata ibu. Lufi juga bisa ngaji, lho! Apa ayah selalu mendengar bacaan Al-Qur’an Lufi untuk ayah? Kata ibu, jika Lufi mengirim bacaan Al-Qur’an untuk ayah, maka ayah akan semakin bahagia di sana. Apa benar ayah bahagia tanpa Lufi dan ibu?
Dulu, saat Lufi baru bisa menulis, Lufi selalu menulis surat untuk ayah. Lufi selalu cerita semua tentang Lufi dan ibu. Ketika ibu mengantar Lufi sekolah, terus menangis saat teman-teman Lufi di antar bersama ayahnya, ketika Lufi merengek minta jajan sedang ibu tak punya uang.
Dan sekarang, saat Lufi naik kelas pun ayah tak kunjung datang.
Apa ayah tahu surat-surat itu telah Lufi kirim ke surga, ke tempat ayah berada? Kata tukang pos, surat-surat itu telah sampai, tetapi kenapa ayah gak pernah datang menemui Lufi?
Ayah, tadi Lufi dapat ranking 2. Ibu sangat bahagia, lalu memeluk dan mencium wajah Lufi. Apa ayah nggak bangga dengan prestasi Lufi?
Ayah, Lufi sudah hafal juz 30, tapi kata ibu ayah hafal 30 juz. Apa ayah kecewa sama Lufi? Apa gara-gara itu ayah gak pernah pulang?
Oke, kalau begitu, Lufi akan terus menghafal agar dapat melebihi hafalan ayah, kalau bisa sampai 31 juz.
Tapi kata ibu, Al-Qur’an hanya ada sampai 30 juz. Jadi, gimana Lufi bisa melebihi hafalan ayah?
Ah, ayah curang! Masa nggak mau kalah sama Lufi?
Oh iya, di sini juga ada ibu. Ibu tertawa kecil di belakang Lufi, makanya Lufi tahu kalau ada ibu. Oke, jadi ini namanya ibu sedang mencontek surat Lufi untuk ayah. Lufi nggak bakal marahin ibu karena udah nyontek, soalnya ibu bilang akan mengantar surat ini sendiri ke surga. Lufi mau ikut, tapi ibu bilang nggak boleh.
Pokoknya, Lufi tunggu ayah pulang. Lufi udah gede dan cantik, masa ayah gak mau lihat Lufi?
Sampai jumpa, ayah. Lufi sama ibu selalu rindu ayah.
Salam rindu,
Lufia, anakmu
—
Surat ketiga dari LCC Craftyzone
Teruntuk : Kamu yang berinisial M
Dari : Aku yang selalu merindu
Assalamu alaikum warohmatullahi wabarrokatuh.
Hai apa kabar Bang? Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Aku di sini sedang sakit. Sakit karena terlalu merindumu. Kabarmu hilang seolah ditelan bumi. Semoga kamu yang merasa pernah kusebut nama dalam setiap doa, baca surat dariku ini ya.
Bang, sudah terhitung delapan belas bulan sejak kepulanganmu dari negeri seberang. Tak juga kamu datang. Apa kamu gak merasa rindu? Saat jauh, katamu hanya aku yang kau tunggu. Setelah dekat tak jua kunjung bertemu. Sebenarnya apa maumu Bang?
Kata-kata mesra yang pernah kau ucapkan seolah menguap begitu saja. Janji-janji manismu terkisis bersama hati yang kian teriris.
Katamu aku ini laksana purnama, meski terhalang mendung tapi masih memancarkan sinarnya membias selaksa rindu melebur kepingan hati sang kelana yang terpuruk dalam sudut takdir. Itu yang pernah terucap. Tapi apa buktinya. Aku hanyalah butiran debu yang bahkan mungkin tidak kau ingat.
Katamu, aku ini rembulan, yang masih menyimpan jutaan rindu. Kenyataannya aku hanya seonggok pasir yang bahkan tak pernah kau lirik.
Bang, tahukah kamu? Aku menunggu bertahun tahun untuk bertatap temu, walau cuma sekali, semenit atau mungkin hanya sedetik. Sampai kini pun aku masih menunggu.
Bang, tahukah kamu? Sampai hari ini, hanya ada namamu yang selalu aku sebut dalam doa. Di setiap sujud panjang dalam setiap malam kelam.
Bang, bolehkah aku bertanya? Sedang apa kau di sana? Apa engkau merasa yang sama seperti apa yang kurasa saat ini? Ataukah engkau sudah bahagia? Bersama dia yang ada di antara kita?
Bang, tak cukup satu atau dua kata. Jangan sampai aku lelah, hingga akhirnya menyerah pasrah. Melepasmu bersama kepingan hati yang patah
Bang, di manapun kamu berada sekarang. Teriring doa semoga engkau selalu bahagia.
Bang, banyak kata yang ingin aku ucap. Namun aku tak tega. Aku tak kuasa. Semua akan aku ungkap hanya jika kita berjumpa.
Sudah dulu ya Bang, sudah cukup kata-kata ini mewakili semua. Semua rindu yang pernah ada. Tertumpuk satu dalam balutan debu.
Wassalamu alaikum warrohmatulohi wabarrokatuh.
Surabaya, 18 Januari 2020