Kompilasi Surat Cinta Pilihan (Part 10)
Surat milik Putri Handayani
Salatiga, 17 Januari 2020
Kepada: Yang Kusebut Kanan
Dari: Putri
Assalamualaikum, Kanan. Harapku kau selalu dalam keadaan baik dan terus baik. Agar kelak kita mampu menghadapi semuanya secara bersamaan.
Kanan, bolehkah kuungkapkan beberapa penyesalan? Itu pun jika kau tak keberatan, namun tetap saja akan kusampaikan. Egois, bukan?
Kanan, maafkan. Jika bukan karena ulahku saat di usia sembilan, barangkali kau tak akan seperti sekarang. Kumohon maafkan. Maafkan atas ulahku yang membuat kau kerap tak mampu bergerak secara leluasa. Maafkan atas ulahku yang membuat kau kerap harus tertatih saat beraktivitas. Maafkan atas ulahku yang membuat kau tak mampu berlari seperti yang lain. Maafkan atas ulahku yang membuat kau kerap harus rebah di kasur. Maafkan atas ulahku yang membuat kau menjadi berbeda.
Kanan, masihkah ada maaf untukku?
Andai saat usia sembilan itu aku menuruti kata Ibu untuk tidur siang dan tak memanjat pohon yang tingginya melebihi tinggiku, barangkali kau tak akan menderita seperti saat dahulu hingga kini.
Andai saat usia sembilan itu aku menjadi anak yang baik, barangkali takkan kubuat kau kerap merepotkan kiri.
Andai ….
Kanan, maukah kau memaafkan semua kesalahanku?
Oh, iya, Kanan, yang aku tahu kamu kuat. Terima kasih sudah mau berjuang untukku sejak saat ini hingga nanti. Iya, nanti hingga mimpi-mimpi itu terwujud.
Sungguh kuhaturkan terima kasih untuk ketulusannya mau berjuang hingga detik ini.
Kanan, barangkali hanya itu yang mampu kutuliskan untuk memohon sebuah permaafan. Semoga kau tak berkeberatan.
Dari aku yang banyak membuat kesalahan kepadamu, … PUTRI.
***
Surat milik Ciya
Kepada; Lelaki yang Kusebut Ayah
Dari; Ta
Selamat membaca. Kutulis surat ini sambil mengenangmu.
Begini. Pada usia kelima belas, aku kehilangan. Dan istrimu yang biasa kusebut Ibu bilang, “Tak apa, semua akan pergi. Kau perlu terbiasa, Ta.”
Kupikir yang namanya terbiasa itu butuh waktu. Kau beranjak dari rumah, meninggalkan kenangan-kenangan yang semakin hari menjadi acak-acakan. Aku sesekali ingat bagaimana kau dengan baik mengajari Anna untuk lebih mandiri daripada harus memintamu terus menjemputnya dari sekolah. Anak perempuan pertamamu selalu manja, kupikir itu lumrah. Kau memang memberikan segalanya kepada kami berdua. Namun, dalam kurun waktu yang lama aku paham beberapa pertengkaran orang dewasa. Aku melihat Ibu berlinang air mata, sesekali kau berteriak dan kalian melewati berhari-hari dengan perdebatan panjang. Aku bersyukur, Anna tidak melihat ataupun mendengar, harinya padat dengan jadwal les dalam persiapan ujian nasional. Kupikir, kalian akan baik-baik saja. Karena setiap ibu kutanya, jawabannya baik, “Ayah dan Ibu sedang ada di pertikaian kecil. Lumrah bagi orang dewasa, Ta. Besok pasti sudah selesai. Kau masuklah ke kamar.”
Puncaknya, kau membanting pintu tanpa memberikan kesempatan aku bertanya. Kau membawa seluruh bajumu, dan beranjak pergi. Sekilas mengecupku. Aku ingat apa yang kau bisikkan saat itu, “Kau nanti pasti tumbuh besar dan lebih pemberani. Titip Anna.”
Aku menyesal kenapa harus mendengarkan dari seorang Ayah yang kadang-kadang membuatku iri. Kenapa kau lebih mengingat Anna di detik-detik perpisahan.
Pada usia ketujuh belas, pertama kalinya kau pulang. Masih dengan kesan karyawan perusahan. Membawa oleh-oleh dan seorang anak kecil di mobil bagian depan. Kalian terlihat akrab, akrab sekali. Kau bilang anak kecil bernama Sam itu adalah adikku. Anna tentu saja marah, kau tahu sejak kepergianmu dia berubah menjadi perempuan yang dingin. Dia menobatkan diri menjadi seseorang yang tidak ceria sama sekali, bahkan sikap cengeng yang kau khawatirkan pun lenyap. Ibu masih selalu murung sampai pada tahun di mana kau pulang, ibu dan Anna semakin mengenaskan. Mereka seolah menjuh dari sebuah kesenangan-kesenangan yang biasanya manusia cari.
Pada usia ke sembilan belas, aku ternyata terus memikirkanmu. Menebak-nebak apa yang kau lakukan di kota tempatmu bekerja dan menghabiskan waktumu bersama sesosok perempuan yang lebih muda dari Ibu. Aku kadang-kadang sempat membencimu sewaktu melihat Ibu dan Anna semakin susah dari jangkauanku. Kubilang pada diriku bahwa kau tak layak dicintai. Kau meninggalkan mereka yang jelas-jelas mencintaimu tanpa ampun.
Maka pada usia yang semakin beranjak, Anna juga sudah dewasa. Dia hari ini berulang tahun. Bolehkan kuminta kau pulang sebentar saja? Tanpa membawa apa-apa. Oleh-oleh pun tidak perlu, apalagi seorang anak yang kau bilang sebagai adik baru untukku. Tidak. Kau tidak perlu repot-repot. Kau hanya perlu pulang. Aku akan pura-pura mengalah dari Anna hari ini. Karena bagaimanapun aku tetap mencintaimu.
Semoga kau bersedia.
Luv ♡
(Rissta)
***
Surat milik Achatina Julia Sari
Kepada: Babang Iid dan Bang Genta
Dari: Lia
Assalamualaikum, doaku untuk kalian berdua, semoga dalam dekapan keberkahan dan keridhoan dari-Nya.
Terimakasih, atas kehadiran kalian di kehidupan ini. Terimakasih, atas lahirnya karya dari usaha kalian berdua. Dan terimakasih, atas moment 08 November 2019 kemarin.
Dari perjumpaan dengan kalian, banyak cerita yang kalian bagikan, banyak pesan yang kalian sampaikan, dan banyak harapan untuk menjalankan kehidupan di masa yang akan datang.
“Mau sampai kapan, sembunyi dari diri sendiri? Setidaknya, buatlah tempat ternyaman untuk diri kita sendiri,” pesan darimu di kala itu.
Pesan terkesan santai, namun menohok sisi lain dari diri ini. Membuat nyaman untuk diri sendiri, ternyata benar, selama ini kehidupan yang kujalani tak mampu menciptakan rasa nyaman untuk diriku sendiri, yang ada hanya rasa takut yang semakin lama menggerogoti.
Dari sana aku sadar, bahwa kenyamanan untuk diri sendiri harus kuutamakan, bukan kunomor sekiankan. Lagi-lagi ucapan terimakasih untukmu, Babang Iid.
“Mau jadi penulis seperti saya, ya NULIS atuh. Harus nulis, tetep nulis, dan terus nulis. Intinya MENULISLAH, kalian sudah menjadi seorang penulis,” tuturmu kala itu.
Gelak tawa dari kita menggema di ruang itu. Lagi dan lagi, Bang Genta menyampaikannya dengan nada bercanda. Tapi, tak menggurangi makna di dalamnya. Mungkin, ini cara mereka untuk menyampaikan pesannya.
Bang Genta benar, bahwa menjadi seorang penulis, syarat utamanya, ya, menulis. Menjadi dikenal banyak orang ataupun tidak, itu tidak menjadi masalah. Terpenting, kamu sudah mau menulis untuk dirimu sendiri.
Pesanku untuk kalian, baik-baik di sana. Semangat untuk berjuang, semangat untuk berkarya, dan semangat menebar lelucon yang penuh makna.
Doaku, semoga Tuhan dan Semesta mau mempertemukan kita kembali.
Sekian dan terimakasih.
Wassalamualaikum.
Tuban, 19 Januari 2020. (*)
Event surat cinta KCLK adalah event yang diadakan di awal bulan Januari lalu, dengan penanggung jawab Lutfi Rosida, Rahmawati, dan Evamuzy.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata