Kompilasi Surat Cinta Terbaik (Part 3)
Surat pertama oleh Anjarswari Wardhani
Jogja, 16 Januari 2020
Untuk : Malaikatku
Dari : Putri pembangkangmu
Hai, Bu ….
Aku rindu. Pengin telpon dan mendengar suaramu, tapi situasi gak memungkinkan, hehe …. Jadi, untuk pertama kalinya, akan kutulis surat untuk meluapkan rindu pada Ibu.
Apa kabar, Bu? Pasti Ibu menjawab baik, sambil tersenyum sendu. Senyum yang sama setiap kali kita berjumpa, senyum yang menyimpan rindu.
Ibu sedang apa? Berkebun kah, di sana? Seperti yang sering terlihat saat aku datang berkunjung, punggung berbalut daster magenta, duduk pada dingklik plastik, menunduk mencabuti rumput liar. Lalu kau akan menoleh setelah mendengar suara motorku. Matamu tampak berbinar, dan tersenyum lebar.
Ibu, sepertinya karma membalasku. Dulu, aku sering membantahmu saat disuruh tidur siang. Mengendap-endap keluar, bahkan melompati jendela ketika kau terlelap lebih dulu. Lalu, aku tertawa bahagia sambil berlarian dengan teman. Kini, anakku melakukan hal yang sama.
Dulu, aku terdiam sambil menggerutu dalam hati saat jarimu mampir di pantatku. Ketika itu, aku hanya mengabaikan panggilanmu untuk mandi. Ternyata, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kini aku sering garuk-garuk kepala melihat kelakuan cucumu. Andai bisa, ingin rasanya kembali ke masa lalu untuk menjadi anak yang penurut.
- Maafkan aku, Ibu. Ternyata seperti ini yang dulu kaurasakan. Betapa sesak perasaanmu, saat berulang kali memperingatkan pada pilihan, tapi aku tetap membangkang. Lalu, seperti biasa saat aku pulang dengan kekalahan atas pilihan yang salah, Ibu akan memelukku erat. Tanpa ada kata menyalahkan, hanya terucap, “Gak papa, buat pengalaman.”
Ibu … saat ini aku butuh pelukanmu. Aku rindu pada aroma tubuhmu. Aku kalah, Bu. Ternyata garis nasibmu berulang padaku. Aku goyah. Namun, aku masih bertahan, seperti yang selalu kau ucapkan padaku, “Bertanggung jawablah pada pilihan.”
Aku masih berdiri, berusaha untuk kokoh. Sepertimu untuk anak-anakmu, aku menjadi tangguh untuk anak-anakku.
Ibu, cukuplah surat ini kutuliskan. Lain kali akan kuceritakan hal-hal lucu dan indah. Berbahagialah di sana, Bu. Jangan khawatir, aku dan adik-adik sekuat dirimu.
Hanya saja, jika Ibu ada waktu, datanglah dalam mimpiku. Lalu peluk aku … sebentar saja.
Salam rindu selalu.
Anak sulungmu.
—
Surat kedua dari Mulia Ahmad Elkazama
Kepada: Kekasih yang Kurindu.
Dari: Lelaki yang Setia Menunggumu (Mulia Ahmad Elkazama).
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Apa kabarmu, Dinda? Semoga kasih sayang dan kinasih-Nya senantiasa menyamudra, mengiringi langkahmu menapaki jalan kehidupan yang penuh lika-liku dan misteri ini.
Tahukah kau, Dinda? Rindu menggerimis syahdu, membasah namamu dalam palung jiwaku. Bianglala yang berpendar di sorot matamu, memasungku dalam penjara sunyi yang tiada gema selain lembut suaramu, merentas gurat resah di palataran kalbuku.
Dinda, kau laksana mawar merekah yang merayu setiap kumbang jantan–sepertiku–untuk hinggap mengisap madu cinta pada putik atmamu. Keindahan yang terpancar dari paras cantikmu, menggugurkan bunga-bunga lain selainmu. Kaulah ratu dalam singgasana hatiku, yang akan senantiasa kupuja dalam tidur dan terjagaku, dalam tawa dan tangisku. Kaulah pesona lazuardi yang kusimpan rapi dalam tentakel ingatanku, dan asmamulah zikir yang dalam terlantun dalam tiap embusan napasku.
Dinda, sukmaku tergolek lemas tak berdaya di pembaringan kala malam datang menjelang. Jaring-jaring rindu melilitku, lalu menggantungkan asaku pada gigir gunung yang menjulang tinggi lambungkan anganku. Sungguh, aku ingin bertemu-sua denganmu, menyeduh rindu dalam cangkir asmara yang kau tata rapi di dalam dadamu.
Dinda, aku begitu tersiksa merinduimu, tak sabar lagi ingin kutuang sececap madu brangta di bibir ranummu, agar mampu memberiku kekuatan untuk setia menunggumu pulang ke dalam peluk hangatku. Aku takut, jarak dan waktu menenggelamkan namaku di kubangan kenang yang tak ingin kauulang, bahkan hendak kau makamkan. Biarlah, biarlah janji suci yang sempat kuikrarkan menjadi pengawal sanubariku agar aku tak tergoda mawar lain selain dirimu.
Dinda, semoga kau baik-baik saja di sana. Aku merindumu tanpa banyak kata, karena ada saat di mana kata-kata sungguh tiada makna. Satu yang pasti, aku akan selalu mencintaimu selama masih kauizinkan. Cepatlah pulang, menautkan rinduku rindumu yang takkan tuntas dikisahkan. Aku menyayangimu, Sayang.
Wassalamualaikumu warahmatullahi wabarakatuh.
Tayu-Pati, 16 Januari 2020.
—
Surat ketiga dari Isranto Datu
Kepada: Ibu
Dari: M. Isranto Datu
Assalamualaikum Ibu.
Kepadamu yang kini tak lagi bersama. Aku tahu, aku ini adalah anak yang tak tahu diri. Anak yang bandel dan juga suka membangkang hingga membuat hatimu terajam. Ibu, maafkan aku. Sejak aku melihatmu melepaskanku, aku hanya bisa terdiam duduk termenung sambil berzikir dan berdoa atasmu melepaskan jiwa dari dunia. Andainya aku tahu, begitu sakitnya. Begitu sedih dan sepinya jika kita tak duduk bersua, bercanda bersama.
Ibu, jika aku bisa berbicara kepada Tuhan. Aku hanya ingin berkata sayangilah jiwa yang tenang di alam sana. Bahagiakanlah dan juga berkahilah. Ibu, sejenak aku berpikir. Anakmu kini tak bandel lagi Bu. Jadi tersenyumlah Bu. Isran kini sudah jadi anak yang hebat. Jika saja Tuhan masih memberikan kesempatan. Aku hanya berharap Ibu tersenyum melihatku saat perpisahan kelulusan. Melihatku tumbuh dewasa, melihatku beranjak pergi merantau dan memberikanmu hasil dari jerih payahku.
Oh iya. Bu, aku hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuhan. Berkatnya, kita dipertemukan dalam mimpi meskipun hanya sejenak. Tapi aku sangat bahagia. Hangatnya pelukan itu, suara yang kurindukan selama ini terdengar jelas memanggil namaku. Ibu terima kasih untuk jumpanya dalam mimpi. Tak akan kulupakan belaianmu, dan berharap mimpi itu terulang kembali. Bu, Setiap harinya rasanya aku ingin berteriak. Dulu masih denganmu, rasanya masalah selalu ringan jika menyapa hariku. Kini, aku hanya bisa menahan rasa sakitnya, menahan rasa rindu yang kian terpendam dalam dada. Rasanya jika mengingatmu aku ingin menangis, mengeluarkan segala unek-unek dalam pelukanmu Bu. Ibu, puisi ini kini telah kusam. Biarkan dia terpajang dalam surat sederhana ini Bu.
MENEMUKANMU
Isranto Datu
Andainya aku mampu mengutarakan rasa
Menemukanmu
Hingga luruh segala gelisah yang kian menyapa
Merindumu
Andainya langit gulita, juga senja berhenti tiba
Menemukanmu
Kurenggut menyeluruh seisi malam berbintang
Untukmu
Ibu, satu hal yang pasti. Meskipun aku berusaha, budimu tak akan pernah terbalaskan meskipun seribu gunung aku cabut, seribu mesjid aku bangun untukmu Ibu. Jadi, maafkanlah kesalahan anakmu yang tak tahu diri ini, dan yang bisa kulakukan hanyalah meminta kepada-Nya, berharap kebahagiaan di alam sana untuk kita bersama.
Ibu, terima kasih untuk semuanya. Tanpa engkau, aku tak akan berada di posisi ini. Seperti katamu, tumbulah menjadi anak yang cerdas Nak. Berharap ibu melihat surat ini, meskipun kita berada di dunia yang berbeda.
Wassalamualaikum.
Bualemo, 17 Januari 20209(*)