Klise
Oleh: Erien
Ariana berdiri tepat di depan pintu gerbang sebuah rumah. Pagar yang hanya setinggi dada membuatnya bisa melihat keseluruhan rumah berikut teras depan dan samping. Beberapa pot berjajar rapi di bawah tiang rumah. Halaman depan dihiasi kolam ikan dan taman kecil. Dinding dengan cat biru tuanya sangat elegan berpadu dengan lis hitam di tembok, pintu, dan jendela.
Tidak ada tanda kehidupan di sana seperti setengah jam lalu. Sebelumnya Ariana memang sudah berdiri selama satu jam di rumah kosong tepat di sebelah rumah ini. Dari situ terdengar seorang wanita mengikik manja, diikuti tawa membahana seorang pria. Terkadang, tawa keduanya terdengar lepas begitu saja. Alasan tawa itu tentu saja tidak diketahui Ariana. Tembok terlalu tebal menahan percakapan keduanya keluar dari dalam rumah. Hanya suara sekeras tawa yang bisa menembus dindingnya.
Tak lama, seorang lelaki dan perempuan keluar, duduk di teras depan. Ariana beralih ke dekat pagar pemisah dua rumah itu. Pohon jambu dan daun bunga kemuning yang rimbun, menutupi wajah dan tubuhnya dari kedua orang itu.
Sebenarnya Ariana tidak perlu bersembunyi. Sepasang manusia itu terlalu sibuk tertawa dan saling menatap bahagia hingga tidak menyadari keadaan sekitar. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan, tanpa peduli pada hal-hal di luar halaman, termasuk dua wanita–mungkin mereka tetangga pemilik rumah–yang melintas dan melirik sinis pada pasangan itu. Sesekali jemari mereka bertaut. Si perempuan terkadang menggelitik pinggang lelaki di sebelahnya. Benar-benar seperti sepasang anak baru gede-ABG yang sedang kasmaran.
Kini, setelah si lelaki berlalu, Ariana mengetuk pintu rumah sederhana itu. Tidak berapa lama, perempuan yang itu keluar menemuinya. Bibir yang masih sedikit melengkung menyisakan tawa, perlahan menuju datar. Hela napas sedikit kasar terdengar. Ia membuka pintu lebih lebar, seolah-olah mempersilakan Ariana masuk.
“Kau sudah tahu siapa aku?” Ariana bertanya heran.
Perempuan itu mengangguk-angguk, membuat kuncir rambutnya bergoyang. Ia merapikan leher kaus putihnya yang melorot ke bahu. Ariana dapat melihat leher perempuan itu cokelat bersih, membuat hatinya bergetar, membayangkan apa yang sudah dilakukan lelaki itu pada perempuan ini tadi.
Perempuan itu menyilakan Ariana masuk dan duduk di sofa panjang, yang membelah ruangan panjang di dalam rumah itu. Mereka duduk di masing-masing sisi sofa. Tubuh keduanya miring setengah berhadapan dengan gesture berbeda. Ariana tampak sedikit tegang dengan jemari mencengkeram tas kecil di pangkuannya. Perempuan itu tampak santai dengan bersandar dan mengangkat satu kakinya di sofa.
“Namamu … Ijah?” Tampak keraguan di wajah Ariana saat bertanya.
Perempuan itu tersenyum tipis, “Bukan. Tapi kau boleh memanggilku seperti itu. Sama seperti Kai memanggilku.”
Ariana mengernyit.
“Ada apa kamu ke sini, Ariana? Apa tentang Kai?”
Pertanyaan Ijah membuat Ariana menatap tajam perempuan itu. Kedatangannya memang tentang Kai, lelaki yang tadi tertawa bersama Ijah.
“Tinggalkan suamiku!” tampak jelas Ariana menahan geram.
Ijah menghela napas. “Tak bisa,” jawabnya membuat Ariana mendelik. “Kamu hebat bisa datang dengan tenang seperti ini ke rumahku. Tapi perintahmu itu … sulit.”
“Kenapa?” nada suara Ariana mulai meninggi. “Kamu mau apa? Mau uang? Berapa?”
Tidak tampak raut kesal Ijah dengan tuduhan itu, “Aku tidak bisa. Aku tidak mau uangmu. Kai datang padaku. Kau salah jika memintaku pergi dari Kai. Suruh dia yang pergi.”
Ariana tersentak mendengar kata-kata Ijah. Tubuhnya gemetar menahan segala rasa yang bercampur aduk di hati.
Dua bulan ini Kai berubah. Lelaki itu tidak lagi betah di rumah. Satu-satunya yang diajak bicara di rumah adalah anak lelaki berusia 3 tahun, buah cinta Ariana dan Kai yang hadir setelah tujuh tahun pernikahan mereka. Pada Ariana, Kai lebih banyak diam. Kebetulan, Ariana tipe wanita mandiri. Ia tidak terlalu terganggu dengan kecuekan Kai. Namun, kehadiran Kai yang makin jarang membuatnya menaruh curiga. Setelah dua minggu meminjam mata seseorang untuk membuntuti Kai, sampailah ia di depan perempuan yang membuat suaminya jarang berada di rumah.
Tatap selidik Ariana seakan-akan menguliti Ijah. Tidak ada yang istimewa dengan wanita ini. Kenapa Kai memilihnya? Kulitnya cokelat, bukan selera Kai. Wajahnya biasa, tak cantik meski tak bisa dibilang jelek juga. Apa yang Kai cari? Ariana membatin sambil sesekali menghela napas.
“Sejauh apa hubungan kalian?” Ia memberanikan diri bertanya, meski kebenaran bisa jadi menyakitkannya.
Ijah tersenyum tipis. “Kami nyaman … dan saling melengkapi.”
Ariana kembali gusar. Ada sedikit penyesalan tentang pertanyaannya. Meski sedari awal sudah bersiap, tetap saja hati tak bisa berbohong.
“Kau mau aku merinci apa yang kami lakukan bersama?”
Mata Ariana sedikit mendelik. Ia tidak menyangka akan mendapat tawaran seperti itu. Mulutnya yang terkunci karena shock, sepertinya diartikan sebagai persetujuan oleh Ijah.
“Kami banyak bercerita, di sofa ini, di dapur, di teras, di kasur, di mana saja. Kami tertawa bersama. Sesekali aku memijatnya, atau dia memijatku. Kai, lelaki yang hebat. Aku berunt–.”
“Udah! Cukup!” Wajah Ariana tampak tegang. Tubuhnya jelas terlihat kembali gemetar. Setitik air mata siap turun dari sudut matanya.
“Aku melengkapi apa yang tidak kau beri, Ariana.”
Ariana murka. Wanita yang sebenarnya lembut hati itu menatap tajam Ijah dengan air mata yang turun perlahan. “Apa yang kau punya, tapi aku tak punya? Apa yang kau beri, yang tidak aku beri? Apa bedanya kau dengan aku? Kai buta! Kau tidak selevel denganku!” sentaknya. Luka hati telah membuatnya berubah. Dada Ariana tampak naik turun menahan emosi.
“Perasaan dibutuhkan, itu yang tidak kau berikan padanya.” Ijah tetap terlihat tenang, “Kau terlalu mandiri. Kai merasa tidak ada artinya di hadapanmu. Percaya atau tidak, di rumah ini, Kai lebih sering melayaniku dari pada aku melayani dia. Bahkan membuat nasi goreng saja dia lakukan. Asalkan aku memintanya. Kai tipe lelaki yang senang jika diminta melakukan sesuatu. Dia senang merasa dibutuhkan. Kau lupa itu. Dia suka menjadikan wanita di sampingnya sebagai ratu. Seharusnya kau tahu!”
Ariana tergeragap, tidak percaya dengan pendengarannya.
Ijah meneruskan ucapannya tanpa peduli raut wajah Ariana. “Kai kesepian karena kalian tak pernah lagi tertawa bersama. Kau terlalu sibuk dengan anakmu, dengan bisnismu. Di sini, kami banyak tertawa. Dia jauh lebih tampan dengan bibir yang selalu melengkung. Kau tentu tahu itu, ‘kan?”
Tidak siap dengan cerita tak biasa yang keluar dari bibir Ijah, Ariana hanya terdiam sambil menyeka air mata dengan ujung jari.
“Aku hanya memenuhi hatinya yang merasa tidak kau butuhkan. Juga menemaninya tertawa. Tidak yang lain. Hanya itu. Kini kau sudah mengerti, maka rebutlah dia kembali. Ambil perhatiannya dariku. Kalau kau mau tahu, Kai selalu menyisipkan namamu dan kenangan kalian dalam tiap cerita. Kai mencintaimu.”
Suara Ijah yang sedikit melirih, membuat Ariana menoleh. Saat itu ia melihat Ijah seperti menahan rasa sedih. Apa dia benar-benar mencintai Kai? batinnya.
“Kau beruntung. Kai itu sangat baik. Kami tidak pernah bercinta, meski beberapa kali aku mengajaknya. Aku rela menyerahkan tubuhku untuk lelaki sebaik Kai. Sayangnya dia menolak.”
Kali ini, raut muka Ariana tampak mulai bersinar. Kini ia tahu bahwa Kai masih miliknya. Benar kata Ijah, sudah saatnya Ariana berusaha merebut hati Kai kembali. Ijah hanya perantara Tuhan agar memahami suaminya.
Ijah menutup pintu, tepat setelah Ariana pergi. Ia kembali ke sofa, mengambil bantal besar di sampingnya, lalu memeluk bantal itu erat-erat. Sesaat kemudian, wajahnya terbenam dengan isak perlahan. (*)
Kotabaru, 27052021
Erien, orang yang banyak belajar dan semakin merasa tidak banyak tahu. Mari berkenalan di Facebook: Maurien Razsya.
Editor: Rachmawati Ash.