Kita Jodoh?
Oleh: Erien
“Kita itu jodoh.”
Aku tertawa terbahak ketika potongan wajah manis di layar itu memerah lalu salah tingkah. Sejak berkenalan di Facebook tiga bulan lalu dan berlanjut lewat VC, Lei selalu memperlihatkan separuh wajah dan separuh badan bagian kanan. Sedangkan aku, justru kebalikannya. Hanya sebagian wajah dan tubuh atas bagian kiri yang terlihat. Sesekali kami memiringkan kepala, saat bersepakat memperlihatkan seluruh wajah. Dan … Lei cantik.
“Yee … PD banget. Dari mana kamu tahu kalau kita jodoh?” Lei membenarkan jilbab instannya dengan tangan kanan.
“Nih!” Kukirimkan foto hasil screenshoot yang sudah aku modifikasi dengan menjajarkan foto sebelah kanannya dan sebelah kiriku. Kami seperti berdampingan meski hanya separuh yang terlihat. Kembali Lei tertawa.
“Ketemuan, yuk! Aku yang datang.”
Wajahnya berubah seperti ketakutan. “Aku sudah senang seperti ini. Nanti kalau kamu lihat aku, kamu pasti enggak mau temenan lagi sama aku.” Sedikit tersendat nada suaranya.
“Oh, pasti.” Jawabanku membuatnya menatap tepat ke kamera. Wajah manisnya tampak kaget. “Aku memang enggak mau temenan. Aku mau menikah sama kamu.”
Sedetik kemudian, kunikmati wajah yang memerah dan malu-malu. Ya Tuhan, ada apa dengan hatiku ini? Kenapa sejak tiga bulan lalu hanya wajah gadis ini yang mengisi?
“Mau, ya? Kita ketemu.” Aku sedikit heran dengan suaraku yang melembut secara otomatis.
Lei tetap menggeleng meski beberapa kali aku memaksa.
Kuhela napas panjang. “Ya, deh. Mana mau kamu ketemu sama aku yang pengangguran begini. Mana jelek lagi. Tahu dirilah aku.”
Lei menggeleng-geleng. Aku tahu ia merasa tidak enak karena telah membuatku merasa tidak pantas sekadar bertemu dengannya. Jujur saja, itu hanya strategi untuk membuatnya berkata ya. Dan sepertinya berhasil, karena akhirnya ia mengangguk.
Meski terkesan sedikit memaksa, sesungguhnya apa yang kulakukan untuk membuatnya sadar, bahwa ia pun berharga. Untuk gadis secantik Lei, seharusnya semua perhatian tertuju padanya. Namun, tidak. Dan aku tahu kenapa.
“Tapi jangan dalam waktu dekat, ya? Aku harus mempersiapkan diri dulu.” Lei mencoba mengulur waktu. Tak tega terus memaksa, aku mengacungkan jempol tanda setuju.
“Tiga minggu?” Matanya berputar ke atas, seperti sedang berpikir, lalu ia mengangguk.
Deal!
❤❤❤
“Jam sembilan pagi di bangku taman kota dekat masjid.” Begitu pesannya malam tadi.
Masih setengah jam dari pertemuan, aku sudah duduk di bangku yang ia maksud. Taman pagi itu tidak terlalu ramai. Yang terlihat ramai malah masjid. Sedari pagi ada kajian rutin yang diadakan remaja masjid kota ini. Lalu-lalang jemaah yang hendak pulang ataupun yang bertransaksi di sekitar masjid masih cukup ramai.
Huft! Aku mendengkus mencoba menghilangkan rasa gugup yang entah kenapa hadir tiba-tiba.
Aku mengecek kembali tampilanku. Baju lengan panjang warna biru muda, sesuai kesepakatan, dan celana jeans warna biru dongker, dilengkapi sepatu kets dan topi hitam. Ya Allah, aku nervous!
“Kak Fath?”
Aku terlonjak kaget mendengar seseorang memanggil namaku tepat di sebelah. Kudapati pemuda berpakaian kaus merah dan celana jeans, dengan rambut ikal ala artis Korea tersenyum memandangku.
“Iya, saya. Maaf, siapa, ya?” Keningku berkerut mengingat-ingat siapa pemuda di hadapanku ini. Rasanya kami belum pernah bertemu.
“Aku adiknya Kak Lei. Leinara.” Pemuda itu mengulurkan tangan dan kusambut hangat. Sejenak ia tertegun memandangku dan tangan yang menyambut ulurannya. Namun setelah aku memiringkan tubuh, ia tersenyum. “Tunggu sini ya, Kak. Aku jemput Kak Lei dulu. Dia pasti senang.” Adik Lei itu tampak senang melihat penampilanku. Aku hanya bisa mengangguk.
Pemuda itu berlari ke belakang pohon besar di seberang bangku. Ia menghilang di kelokan jalan. Aku kembali duduk. Rasanya waktu berjalan lambat, selambat siput yang melintas di dekat pohon itu.
Aku kembali berdiri dengan tiba-tiba ketika melihat pemuda itu kembali berjalan menuju tempatku duduk. Kali ini ia bersama seorang gadis. Lei. Mereka sedikit lebih lambat karena Lei berjalan menggunakan tongkat yang dimodifikasi sedemikian rupa agar menempel di tangan kiri.
Yah. Kaki kiri Lei tidak ada. Tangan kirinya hanya sampai siku. Aku tahu sejak sebulan yang lalu, saat diam-diam kulacak keberadaannya. Rumahnya kutemukan tak jauh dari taman kota tempat kami bertemu saat ini. Dan dari pintu rumah, kulihat seseorang keluar menggunakan tongkat, itulah Lei. Ia menyiram bunga di halaman rumahnya. Meski sedikit kesulitan, senyumnya tetap mengembang bahkan ketika seekor kucing melompat ke bahunya. Saat itulah, aku jatuh cinta. Tetes air keran bak gerimis seakan-akan menjelma jadi kristal yang kilaunya menambah cantik wajah Lei.
Lei sampai di hadapanku dengan wajah sedikit menunduk. Jilbab warna biru tua berpadu dengan blus yang warnanya serupa dengan warna kemejaku, serta rok jeans biru dongker. Cantik.
Pemuda yang mengaku adiknya tadi, pamit untuk duduk di bangku lain yang letaknya sekitar lima meter dari bangku kami. Jarak itu cukup untuk mengamati, tetapi tak cukup untuk mendengar percakapan kami. Aku mengerti.
“Lei ….” Kupanggil namanya dengan lembut.
“Assalamualaikum, Bang Fath.” Masih menunduk.
“Waalaikumsalam,” jawabku singkat. Lalu kami berdua berdiri terdiam. Ya Allah, aku benar-benar jatuh cinta. Jantung ini mendetakkan namanya, dan hati ini melambungkan doa. Jodohkanlah kami.
“Eh, ayo duduk.” Aku mengajaknya duduk. Perlahan ia mendekat ke bangku, melepas ikat pada lengan kiri, meletakkan tongkat di sisi kanan bangku, dan duduk perlahan. Aku mengambil tempat di sisi lainnya sembari memperhatikan. Ingin sekali menolongnya, tapi kami bukan mahram. Ah, belum, maksudku.
“Enggak pengin lihat aku, Lei? Tahu-tahu beda orang, gimana? Nunduk mulu, nyari apa?” Aku berusaha sok akrab meski hati deg-degan.
Wajahnya bersemu merah. Ia mengusap wajah dengan tangan kanan. “Abang ini … becanda mulu. Pasti sekarang nyesel kan, ketemu aku.”
“Siapa bilang? Aku malah bersyukur.” Aku menepis tudingannya. “Eh, kamu jadi manggil aku abang? Meleleh hati Abang, Dek Lei.” Kekehku berhasil menular. Senyumnya mengembang, meski belum berani menatap wajahku.
“Abang kan lebih tua. Maaf ya, kemarin-kemarin di video call aku pake aku kamu.” Tangan kanan Lei mempermainkan ujung jilbabnya.
“Iya, nggak apa, Dek. Nanti kalau kita nikah panggilannya ganti lagi jadi sayang.” Kembali kugoda gadis itu, seperti biasa kulakukan saat kami video call.
Lei terkikik sambil menutup mulut dengan tangan kanannya. “Abang kok PD amat. Siapa yang mau nikah sama Abang?” Nada suara malu-malunya, kini persis sama ketika di ponsel.
“Ya … kamu! Kan udah kubilang. Kita jodoh.” Aku santai menanggapinya.
“Abang PD amat. Dari mana Abang tahu?” Lei menatap sepatu putihnya. Ia belum menatapku sama sekali.
“Aku, enggak tahu. Tapi berdoa.”
Lei menghela napas dan mengembuskan pelan. “Jangan bikin aku baper, terus menghilang. Kayak yang lain. Biasanya habis ketemu, udah nggak ada kabar.” Ia mengusap lengan kirinya. “Tapi udah biasa buat aku sih. Yang penting janji ketemu sudah kutepati.”
Aku menatap wajah manisnya dari samping. “Kita itu saling melengkapi, Lei. Makanya, jangan nunduk mulu. Lihat aku, coba.”
Gadis itu perlahan menoleh. Mukanya merah, malu-malu menatapku. Segera, ia terbelalak melihat lengan kanan bajuku yang kosong. Tidak ada lengan di sana. Begitulah aku terlahir.
“Ini, satu lagi.” Kubuka sepatu kanan dan kaus kakinya, lalu menggulung celana jeans-ku bagian kanan. Kini terlihat kaki palsu sebatas lutut yang kukenakan semenjak kecelakaan saat masih berusia sepuluh tahun.
Lei menutup mulut dengan tangan kanannya. Kini matanya berani menatapku.
“Kita jodoh?”
Pertanyaanku disambut tawa kecilnya. Dan aku sangat gemas melihat pipinya yang merona. Ia mengedikkan bahu, lalu menahan tawa.
“Pantas adikku semangat banget tadi setelah ketemu Abang.” Kami berpaling pada pemuda di bangku depan. Ia mengacungkan jempol padaku.
Oke, segera aku dan Lei menjadi mahram.
Tamat.
Kotabaru, 25032021
Erien, menulis untuk belajar, berpikir, dan bersyukur. Mari berkenalan di FB Maurien Razsya.
Editor: Rinanda Tesniana