Kita dalam Satu Kata

Kita dalam Satu Kata

Kita dalam Satu Kata

Oleh : Aisyah Zahra

Terbaik 13 Lomba Cerpen Autofiksi

“Ai aja yang makan ya, Nak. Mama sudah kenyang.”

Dulu seringkali kudengar Mama mengucapkan kalimat itu. Bahkan jika ada makanan enak yang dibawakan Abah setelah pulang dari ikhtiar mencari nafkah, Mama hanya makan beberapa suap saja. Selebihnya akulah yang disuruh menghabiskan. Pun begitu dengan Abah.

“Abah kenapa cuma makan sepotong? Padahal ini martabak telur kesukaan Abah,” kutatap Abah dengan keheranan. “Kan tadi Abah yang bawa.”

Ditenggaknya hingga tandas teh tawar buatan Mama. “Buat Ai aja. Habiskan sama Mama, ya. Abah mau istirahat dulu.”

Selalu begitu. Setelahnya Abah akan beranjak ke dapur untuk mencuci gelas lalu masuk ke kamar.

Martabak telur bebek kala itu termasuk makanan mahal buat kami. Penghasilan Abah benar-benar hanya cukup untuk membeli kebutuhan makanan sehari-hari, tidak dengan makanan pendamping seperti martabak telur ataupun kue-kue lain.

Saat itu aku tidak mengerti. Jadi dengan senang hati kuhabiskan jika ada makanan enak di rumah. Sebab tidak setiap hari kami bisa makan enak.

Padahal kalau sedang ada cukup banyak nasi dan sayur di rumah, Abah dan Mama akan makan dengan lahap. Jadi saat itu kupikir mereka berdua lebih menyukai makan nasi dan sayur ketimbang makanan lain.

Sekarang akulah orang tua itu. Aku baru mengerti setiap ucapan Mama dan Abah tiap kali kami dapat rezeki bisa makan enak.

Saat kulihat putri kecilku sedang melahap piza yang dibawa suamiku sepulang dari tempatnya bekerja, aku sangat senang. Bukan berarti aku tidak menginginkan piza itu, kurasa cukup sepotong saja aku sudah merasa kenyang melihat putriku memakannya dengan mata berbinar.

“Kok bisa Babah beli piza? Ayu baru kali ini lihat piza beneran. Biasanya cuma lihat dari iklan di TV,” ujarnya sambil memakan potongan piza ketiga.

Suamiku menatap putriku dengan mata tak kalah berbinar. “Tadi pas pulang kerja, dikasih sama bos Babah. Semua karyawan dapat satu kotak.”

Putri kecilku ber-oh pendek sambil terus melanjutkan memakan pizanya. Aku hanya saling bertukar pandang dengan suamiku yang juga hanya memakan sepotong piza.

Ternyata seperti ini rasanya menjadi orang tua. Kebahagiaan kita terletak pada sang anak. Melihat anak makan dengan lahap, perut terasa kenyang meskipun hanya makan beberapa suap karena makanan yang ada tidak cukup mengenyangkan perut orang dewasa.

***

Pernah ketika masih berusia lima, aku marah pada Abah. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana saat itu kupukul punggungnya karena tidak mau menemaniku bermain.

Saat itu usai sholat Isya aku ingin bermain naik kuda-kudaan di punggung Abah. Tapi Abah menolak dengan alasan badannya lelah dan ingin tidur. Tentu saja aku merajuk dan merasa Abah tidak sayang padaku.

“Abah kan sudah seharian kerja masa nggak ada waktu buat nemenin Ai main, sih. Abah nyebelin!”

Abah berusaha menenangkanku namun aku tetap merajuk khas anak kecil. “Nanti hari Minggu kita jalan-jalan, ya, ke pasar pagi. Kalau sekarang Abah beneran capek, Ai. Abah mau istirahat dulu ya, Sayang. Soalnya besok harus berangkat kerja pagi-pagi.”

“Abah cuma taunya kerja aja! Ai nggak mau temenan Abah lagi!” Kuentakkan kaki seraya berjalan keluar dari kamar orang tuaku.

Saat mengingat kejadian itu, ingin kupukul kepalaku sendiri. Karena sekarang barulah aku mengerti rasa lelah yang dirasakan abahku kala itu.

“Babah… Ayo main,” rengek putriku. Ditariknya dengan sekuat tenaga tangan sang ayah agar bangun dari tempat tidur.

“Ayu main sama Mama aja dulu ya, Nak. Babah capek, mau istirahat dulu. Kasihan Babah habis kerja seharian.”

Sebenarnya suamiku selalu menyempatkan waktu bermain bersama putri kecil kami. Ia selalu meluangkan waktu sejak Sabtu sore hingga Sabtu malam untuk menghabiskan waktu bersama. Bahkan jika hari Minggu tidak ada hal yang mendesak di tempat kerjanya, ia akan menemani putrinya bermain.

“Nggak mau sama Mama! Ayu mau main sama Babah. Pokoknya sama Babah!”

Terkadang putri kami sudah tertidur pulas ketika suamiku baru pulang bekerja. Jadi, suamiku biasanya akan tidur di sampingnya sambil mencium puncak kepalanya dan menggenggam tangannya yang sedang pulas tidur.

“Maafin Babah ya, Ayu. Babah sibuk cari uang. Nggak bisa main tiap hari sama Ayu.”

Saat mendengar suamiku berbisik di telinga putri kecilku, aku hanya bisa menitikkan air mata. Kembali teringat bagaimana abahku dulu juga memperlakukanku seperti itu. Bahwa ternyata di dunia ini masih banyak orang tua yang ingin menghabiskan waktu bersama sang anak, menemani tumbuh kembangnya, namun tak bisa karena ada kebutuhan ekonomi keluarga yang harus dicukupi.

***

Ada sebuah pigura lama, berusia dua puluh tahun lebih, di dinding ruang keluarga. Pigura berisi fotoku bersama kedua orang tuaku. Foto yang diambil menggunakan kamera jadul milik pamanku, di depan sebuah becak saat pertama kalinya kami jalan-jalan ke kampung halaman nenekku di Kalimantan Selatan.

“Itu Nenek sama Kakek ya, Ma?” Aku mengangguk.

Putri kecilku berjinjit agar bisa melihat foto itu dengan jelas. “Tapi rambutnya, kok, hitam? Kan rambut Nenek putih semua. Kalau Kakek ada hitam-hitamnya dikit.”

Aku hanya bisa tertawa. Benar. Rambut orang tuaku sekarang tidak lagi hitam. Rambut Mama sudah sepenuhnya putih, ditambah sakit strok yang dideritanya membuatnya saat ini terlihat jauh lebih tua dibanding Abah.

“Besok kita ke rumah Nenek, ya. Kita bawakan roti kesukaan Nenek dan semangka kesukaan Kakek.”

“Yey! Ayu mau minta uang sama Kakek buat beli es krim!” Putriku bertepuk tangan heboh.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Semua momen kebersamaan dengan orang tuaku bagaikan kereta ekspres yang melintas, cepat tak terkejar.

Setelah menjadi orang tua, barulah aku mengerti arti kasih sayang dan pengorbanan. Betapa aku dan suami ingin memberikan segalanya untuk putri kecil kami.

Karena setelah menjadi orang tua, kita hanya mengetahui satu hal. Bahwa kita dalam satu kata: Cinta.

Tana Paser, 28 Desember 2024

__

Komentar Juri, Berry Budiman:

Kenangan yang disampakan bukan hanya bernilai bagi penulis, tetapi juga menjadi sebuah refleksi dan eksplorasi diri penulis terhadap pengalamannya di masa lalu. Membuatnya lebih memaknai kehidupan setelah bercermin dari masa lalu. Ditulis dengan apa adanya, kisah ini terasa makin menyentuh. Apalagi ia ditutup denga ending (terkait kondisi orangtua tokoh) yang bittersweat. Sebuah autofiksi yang baik sekali.

Grup FB KCLK