Kita dalam Bahaya
Oleh: Fath_vhat
Alarm yang melekat di samping layar monitor berkedap-kedip cepat. Suara bising menyerupai suara sirine menyeruak lantang diikuti sorotan cahaya merah yang bergantian redup dan terang. Tim yang bertugas memantau layar monitor panik, dengan sigap ia menekan beberapa tombol, hingga layar besar itu menampilkan sebuah gambar yang diduga menjadi penyebab berbunyinya sang alarm. Alarm dalam ruang canggih ini terkoneksi langsung dengan keadaan Bumi. Jika Bumi tidak memberi kabar sesuatu akan terjadi, alarm itu tidak akan pernah berbunyi.
Semakin lama suara alarm semakin lantang. Kedipan cahaya merah yang dipancarkan pun semakin bersinar galak. Bumi sedang tidak baik-baik saja, terlebih mendengar bunyi alarm yang seakan sedang menjerit meminta tolong dengan begitu paniknya. Ibarat teriakan perempuan yang hampir ditikam pisau oleh begal malam. Petugas semakin panik, ia sampai lupa, dalam keadaan genting seperti ini apa yang harus dilakukan lebih dahulu.
Di layar lain, terdengar suara sidik jari terdeteksi. Tak lama pintu yang menjadi pelindung kedua setelah laser zig-zag terbuka. Beberapa temannya datang sambil bercengkerama. Mereka tidak tahu, sampai ruang khusus ini terbuka dan sinar lampu merah menyambut galak. Petugas yang sudah lemas dilanda kepanikan berlebih menoleh, dengan suara serak ia berteriak sejadi-jadinya.
“Bumi dalam bahaya! Bumi dalam bahaya!”
***
Sebelum lepas landas, Profesor Atan Lubis kembali memeriksa kelengkapan roket. Memastikan semuanya aman agar tidak ada kekhawatiran saat roket meluncur nanti. Semalam Bumi memberi sinyal, ia rindu mendengar cerita tentang kabar penduduknya. Padahal tiga hari lalu, astronot baru saja menghadap dan menyampaikan salam seluruh manusia, tetapi hari ini Bumi kembali merindu.
Tim Astra sempat mengajukan kesepakatan pada Bumi, mereka hanya akan berkunjung satu bulan sekali. Bumi menolak, ia ingin astronaut mengunjunginya setiap kali ia diserang rindu. Jika keinginannya tidak disetujui, Bumi mengancam akan meredupkan dirinya–menolak cahaya matahari–dalam jangka waktu yang cukup lama. Begitulah Bumi, rasa sayangnya sangat berlebihan pada manusia. Pernah Bumi meminta dipertemukan dengan semua penduduknya, tetapi tim Astra tidak mengizinkan, jalur Bumi bukanlah jalur aman yang bebas dilewati semua manusia. Hanya orang-orang profesional yang sudah dilatih sekian tahun yang bisa menapak di sana dan keahlian itu tidak dimiliki semua manusia. Lagi pula, roket dunia tak sebanyak itu untuk menampung semua manusia. Kali ini, bagusnya Bumi mengerti.
Profesor Atan Lubis keluar, ia mengacungkan ibu jari sejajar dengan tinggi pipi. Tim sudah paham, mereka berlari sambil berteriak, “Roket Saturn V sudah siap!”
***
“Hei, kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Jupiter pada Bumi.
Sejak tadi temannya itu terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Pandangannya terus tertuju pada Venus yang sedang beristirahat.
Sebelum menjawab, senyum Bumi makin merekah lebar. “Hari ini pendudukku akan menjenguk.”
“Lagi? Bukannya kemarin pendudukmu sudah menjenguk?” tanya Mars.
Bumi mengangguk. “Aku meminta mereka menjengukku lagi.”
“Kenapa?”
“Karena aku rindu mereka. Aku ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan dan teknologi canggih apa lagi yang mereka ciptakan? Terakhir kudengar, manusiaku menciptakan kendaraan tanpa roda dan asap. Mereka semacam pesawat, tapi melayang rendah satu jengkal dari permukaan aspal. Yang paling kusuka mereka menciptakan kendaraan tanpa asap, syukurlah, dengan begitu polusi udara sedikit berkurang.”
Mars dan Jupiter saling tatap. Bertukar pandang tentang ketidakmengertian mereka dengan ucapan Bumi barusan. Apa temannya sedang melantur?
“Memangnya ada kendaraan seperti itu, ya?” tanya Jupiter.
Bumi mengangguk antusias. “Jelas ada. Ah, tapi sayang aku tak bisa menunjukkan kendaraan canggih itu pada kalian, andai kalian bisa melihat aktivitas manusia di tubuhku, kalian akan paham sendiri seberapa canggih kendaraan itu.”
Sebuah pesawat lancip baru saja datang menghampiri Venus, senyum Bumi makin melebar.
“Aku ke sana dulu, ya. Mereka sudah datang.” Tak sabar ingin mendengar update terbaru tentang kehidupan manusia, Bumi langsung pergi begitu saja menghampiri pesawat lancip tadi. Ia meniupkan udara, pesawat lancip itu berhenti dan memarkirkan diri di atas udara yang sudah membeku.
Sambil menatap Bumi menjauh, Mars geleng-geleng kepala. Senyum ibanya muncul, seakan prihatin akan kesehatan Bumi.
“Temanmu sudah gila, Jup. Mana ada kendaraan tanpa roda dan asap? Secanggih apa pun, pasti mereka memiliki asap. Kendaraan seluruh pendudukku begitu. Melayang tinggi dan memiliki asap.”
Jupiter tersenyum kaku. “Tadinya kupikir pun begitu. Tapi … setelah dipikir-pikir ulang, tidak ada yang tidak mungkin bagi Bumi. Hampir seluruh penduduknya cerdas dan berwawasan luas, menciptakan khayalan seperti tadi pasti mudah bagi mereka. Dan kurasa Bumi tidak berbohong, siapa tahu kendaraan canggih itu memang benar-benar ada di sana.”
Mars mengernyit, tidak suka mendengar jawaban Jupiter. “Kau membela penduduk Bumi?”
“Tidak membela, aku hanya mengungkapkan fakta.”
Emosi Mars terpancing, kepulan asap tak kasat mata berkerumun di ujung ubun-ubun. Ia tak pernah suka mendengar planet lain memuji penduduk Bumi. Kenapa selalu penduduk Bumi yang mendapat pujian? Kenapa tidak penduduknya? Setahu Mars, penduduknya tak kalah berbeda dari penduduk Bumi, mereka sama-sama makhluk dan sama-sama bisa menciptakan sesuatu. Bukankah keduanya sama-sama hebat? Mars pergi begitu saja meninggalkan Jupiter. Jupiter tidak menahan, ia menatap kepergian Mars dengan tatapan hampa.
“Sungguh tak dewasa. Bagaimana planet lain mau memuji pendudukmu kalau tingkahmu menjijikkan seperti itu?”
Jupiter beralih menatap Bumi yang sedang tersenyum lebar mendengar cerita yang dibawakan astronaut. Lagi-lagi tatapan hampa ia lemparkan hingga sekian menit. Lama memperhatikan Bumi, tanpa sadar sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas senyum itu terlihat seperti sebuah senyum miring penuh arti. Jupiter tak berkomentar apa-apa, ia balik badan, dan kembali menuju posisinya semula.
***
Siang ini, dua pesawat UFO sudah siap terbang mengintip Bumi. Setelah peristiwa yang membuat Mars kesal tadi pagi, Mars menyuruh penduduknya untuk terbang dan memperhatikan keadaan Bumi. Tak ada pilihan lain, dengan terpaksa para penduduk Mars menurut. Jika tidak, Mars akan menendang mereka dari tubuhnya.
Jupiter melirik, ia mendengkus melihat dua piring terbang menuju Bumi. “Hatinya terlalu dengki,” ujar Jupiter bermonolog.
Dua jam kemudian, makhluk Mars sudah kembali. Mereka menceritakan semua yang mereka lihat di Bumi.
“Jadi kendaraan tanpa roda dan asap itu benar-benar ada?”
Salah satu alien mengangguk. “Mereka memakai kendaraan itu untuk berkunjung ke tempat-tempat terdekat.”
Mars terkejut, lalu tertawa meremehkan. “Bergaya sekali makhluk Bumi. Pantas polusi udara di sana sangat meningkat. Lihat, dari gaya hidup jelas planet kita paling sehat, ke mana saja berjalan kaki.”
Alien yang lain mengangguk, membenarkan ucapan Mars. “Betul, Mars. Kita hanya mengendarai kendaraan saat diperlukan. Tapi, sebenarnya kami lelah mengunjungi apa pun dengan berjalan. Terlebih kalau tempat kunjungannya jauh.”
Mendengar itu, emosi Mars naik lagi. Rahangnya mengeras diikuti wajah yang memanas, setiap embusan napas berlangsung dengan cepat. Apa pun yang saat itu melayang di sekelilingnya, dilempar jauh-jauh tanpa memikirkan apa risiko selanjutnya. Mars berteriak kencang, hingga beberapa urat di leher terbentuk dengan jelas. Jupiter melirik, Bumi sedang beristirahat, Mars –yang labil–sedang dikuasai amarah jahat.
Ia datang menghampiri Mars. “Kendaraan itu benar ada, ‘kan?” tanya Jupiter tanpa basa-basi.
Mars melirik sinis, wajahnya yang masih memanas makin bertambah panas. “Diam kau!” Tangan Mars hampir mendorong Jupiter, tetapi Jupiter mencegah.
“Kau mau mendorongku juga? Pikiranmu di mana? Kalau kau mendorongku kemudian aku terbentur dan meledak, apa semesta tidak dalam bahaya?”
“Aku tidak peduli!” Mars mencoba mendorong Jupiter sekali lagi. Jupiter masih menangkis. Justru ia lah yang mendorong tubuh Mars sedikit.
“Coba belajar berpikir dengan kepala dingin. Kalau aku meledak dan serpihan ledakanku mengenaimu bahkan mendarat di tubuhmu, apa makhlukmu aman? Mereka akan binasa! Tidak apa kalau ledakanku mendarat di Bumi, hanya beberapa juta jiwa yang meninggal, berpuluh-puluh juta lagi masih tetap hidup seperti biasanya. Kalau kau? Jika makhlukmu tewas siapa yang akan hidup di planetmu? Kau pikir pendudukmu ada berapa banyak?”
Emosi Mars makin naik. Ia bersiap berteriak lagi. Dengan sigap Jupiter mencegah. “Jangan bertingkah seperti anak kecil. Kalau kau membenci Bumi, mari bekerja sama denganku, aku ada ide bagus.”
***
Berpuluh-puluh pesawat UFO siap meluncur menjalankan misi. Semua perlengkapan sudah selesai disiapkan. Yang terpenting dari semuanya adalah sebuah tabung yang tersimpan di badan pesawat bagian paling bawah, di sana tersimpan cairan kental mematikan.
“Setibanya kalian di Bumi, turunkan tabung-tabung ini. Jangan dibuka, karena akan menyiprat ke mana-mana. Biarkan tabung itu meledak dengan sendirinya,” ujar Jupiter memberi interupsi.
Semua alien yang akan meluncur mengangguk patuh.
“Sudah mengerti semua? Bagus, kalau begitu pergi, kita hancurkan Bumi!” titah Mars.
Para alien melangkah menuju pesawat masing-masing. Di dalam, mereka memeriksa ulang semua perlengkapan. Setelah semua aman, semua beranjak menuju kursi masing-masing dan mulai memasang safety belt. Pesawat UFO mulai bergerak menuju Bumi.
“Idemu brilian, Jupiter,” puji Mars bangga.
Jupiter tertawa. “Terima kasih,” jawabnya seadanya.
Di balik punggung, tangan Jupiter sedang beraksi, menyelundupkan beberapa pil ke dalam tubuh Mars, yang nantinya secara perlahan pil itu akan berubah menjadi puing-puing asap mematikan.
***
Alarm tanda bahaya dalam pesawat UFO berbunyi. Mereka bingung, apa yang terjadi? Apakah Bumi sudah tahu niat buruk mereka sehingga Bumi akan memberi serangan balik? Seluruh alien bergerak memeriksa pesawat.
“Cairannya! Cairan yang kita bawa sebentar lagi akan meledak!”
Duar!
Cairan di salah satu pesawat UFO meledak. Disusul ledakan dari pesawat UFO yang lain hingga seluruh pesawat UFO hancur. Cairan yang mereka bawa tidak hanya mematikan Bumi, tetapi juga memusnahkan mereka, sebagai korban yang membawa.
Perlahan cairan mulai menyebar di beberapa negara besar. Aroma tak sedap menohok indra penciuman, termasuk penciuman Bumi yang sangat sensitif. Sejak cairan pertama meledak Bumi sudah sangat terusik. Penasaran apa yang terjadi, Bumi mengintip.
Bola matanya membulat sempurna, puluhan pesawat tipis milik Mars meledak mengeluarkan asap sekaligus percikan air berbau tak sedap. Firasat Bumi tidak enak, ia menekan tombol darurat yang terhubung dengan Tim Astra. Meminta mereka untuk menutup seluruh dunia dengan dinding kaca tebal. Guna mencegah perkembangbiakan cairan itu di dalam tubuh mereka.
Terlambat, cairan jahat itu sudah merajai dunia. Beraksi kejam dalam tubuh, memporak-porandakan kesehatan, dan mulai berfotosintesis menjadi penyakit mematikan. Memang sejak awal niatnya untuk memusnahkan, penyakit itu tidak rela disinggahi beberapa orang saja. Ia mau seluruh dunia merasakan kehadirannya. Bumi terlambat, Mars juga terlambat, semua dalam bahaya.
Fathia Rizkiah, gadis kelahiran 99 yang sedang dan selalu belajar bagaimana cara memperbaiki kualitas tulisannya. Fathia memiliki review blog, mau berkunjung? Fathiamengulas.wordpress.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.