Kisahku di Masa Putih Abu-Abu

Kisahku di Masa Putih Abu-Abu

Kisahku di Masa Putih Abu-Abu 

Oleh: Maulana Putra Alfarizki

“Lihatlah, langitnya terang dan cerah. Indah, bukan?” kataku.

“Ya, seterang hati kita. Walaupun kita akan berpisah.”

Aku mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Membayangkan kerinduan yang kelak akan kurasakan ketika berpisah dengan mereka, sahabat-sahabatku.

Hari ini adalah perpisahan kelas 12 SMA. Rasa suka dan duka bercampur aduk menjadi satu. Senang karena akhirnya bisa menamatkan sekolah, tapi juga sedih sebab harus berpisah dengan teman-teman. Tidak akan terdengar lagi canda tawa mereka di kelas seperti biasanya, juga kegaduhan yang selalu mewarnai hari-hari kami saat jam istirahat tiba. Dan semua itu akan menjadi sebuah kenangan.

“Nanti walaupun kita semua berpisah jauh, kita harus tetap saling berkomunikasi, ya. Karena kita adalah sahabat selamanya.”

“Ya. Tentu saja, Kawan.”

Semuanya menyahut kecuali satu temanku. Ia memang pendiam dan sok keren, karena itulah kami sering mengejeknya. Tapi yang mengherankan ia tidak pernah marah dengan perlakuan kami terhadapnya. Malah terkadang tersenyum.

“Hei, Riz. Kamu kok sendirian aja?” sapa Rio membuyarkan lamunan Fariz.

“Iya, nih. Wajahmu kusut. Belum mandi, ya?” tandasku.

Kami mulai usil lagi, dan ia hanya tersenyum samar tanpa melontarkan sepatah kata. Tak berapa lama kemudian wajahnya berubah murung. Membuat kami merasa heran.

“Ada apa, Riz? Katakan, mungkin kami bisa bantu.”

“Nggak apa-apa.”

“Kamu selalu seperti ini. Kalau udah murung nggak pernah mau cerita. Ayolah, kami temanmu, bukan?” potongku menyela ucapannya.

“Kalian bukan temanku.”

Kami semua terkejut. Tingkah lakunya mendadak berubah total.

“Sekalipun kita berteman, kalian nggak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan. Bukankah kalian selalu mengejekku setiap saat? Mana tahu aku sedang ada masalah atau nggak.”

“Maaf soal itu. Tapi, kenapa kamu nggak pernah menceritakan masalahmu pada kami?”

“Percuma aku cerita, kalian nggak akan mengerti.”

Aku menghela napas. Menatap lekat-lekat wajah lelaki berkaca mata yang kini tertunduk lesu di hadapanku. “Itu masalahmu. Kamu pikir kami nggak akan mau mendengarkan curahan hatimu? Meski selalu usil, bukan berarti menyepelekan dan tidak peduli padamu, Riz.”

“Mana buktinya? Kalian memang nggak peduli, kan?”

Rio menggelengkan kepala lalu melirik sekilas ke arahku. “Baik, mulai sekarang kami bukan temanmu lagi.”

Fariz terhenyak. Wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca, hendak menangis.

“Ya, kami bukan temanmu lagi. Tapi sahabatmu,” ujarku sambil menepuk pelan bahunya. Ia menoleh tanpa berkedip.

“A—apa? Sahabat?”

“Ya, mulai detik ini kami menjadi sahabatmu. Sahabat yang tidak akan berjalan di depan ataupun di belakang, melainkan di sampingmu. Sedih dan senang akan kita jalani bersama. Maaf sebelumnya kami selalu mengejekmu. Tapi percaylah, kamu membuat kami bahagia.”

“Benarkah?”

“Benar, Riz. Kamu selalu menolong kami di saat kami kesusahan, dan selalu membuat kami tertawa dengan wajah polosmu yang hanya tersenyum ketika kami mengejekmu. Sekarang, coba ceritakan apa masalahmu?”

“Masalahku sudah selesai.”

Aku dan Rio saling bertatapan. “Apa?”

“Ya, akhirnya aku menemukan sahabat di SMA ini. Sahabat yang akan selalu mendengarkan curahan hatiku dan selalu berjalan di sampingku. Benar, bukan?”

“Nah, wajahmu udah nggak kusut lagi, tuh. Tapi … masih tetap jelek seperti biasa,” sela Rio.

Seketika tawa kembali menggema di antara kami. Jika Fariz yang dulu ialah sosok yang pemurung dan pendiam, tapi sekarang tidak lagi. Ia telah berjanji untuk menjadi seseorang yang periang.

“Yuk, kita ke sana. Nyanyi bareng,” ajaknya. Menunjuk panggung pementasan yang sudah dilengkapi berbagai alat musik di atasnya. Beberapa murid tampak bersiap untuk menghibur seluruh warga sekolah.

“Ayo!” balasku dan Rio serempak.

Bukankah hati kita telah lama menyatu? Dalam kisah persahabatan sejati. Pegang erat tangan dan hapus air mata di wajahmu, Kawan. Selamat jalan. Tetaplah berjuang. Semoga kita bisa bertemu kembali. Kenang masa indah kita. Sebiru hari ini, seindah hari ini. Indahnya bak taman surga. Seindah hati kita, walau kita akan terpisah.

Hari itu sangat berarti bagiku. Hari yang akan dirindukan oleh kami semua, yang akan menjadi bahan obrolan ketika reunian. Hari yang akan menjadi kenangan terindah hingga membuat kami tersenyum sendiri ketika mengingatnya. Sungguh, hari yang benar-benar akan kami rindukan.(*)

Maulana Putra Alfarizki, adalah seseorang yang ingin yang ingin memberikan manfaat dan pesan pada orang lain melalui menulis. Akun Fb: Maulana Putra Alfarizki.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita