Kisahku
Pupud Tatifa
Aku benci dengan pagi. Tiap pagi aku pasti menangis, menangisi kepergian satu orang lelaki dan satu orang perempuan. Aku heran, katanya mereka ayah dan ibuku, nyatanya mereka yang paling jarang bersamaku.
Setiap harinya, aku hanya berdua dengan wanita berwajah keriput, bertubuh gemuk dan berdaster, namanya bibi Ginah. Agaknya, dialah wanita yang paling setia menemaniku sepanjang hari. Termasuk memandikan, menyuapi, mencucikan bajuku, hingga mencebokiku. Cuma, dia tidak pernah semangat menemaniku bermain.
Jam sembilan malam, aku diserahkan kembali ke wanita dan lelaki yang membuatku menangis setiap pagi. Hanya dari jam 9 malam hingga jam 4 pagi, aku berada dipelukan mereka berdua, tetapi agaknya mereka sayang sekali kepadaku. Ciuman dan pelukan dari mereka layaknya rindu yang terbayarkan.
Ya, pagi datang lagi, aku harus kembali bersama dengan Bibi Ginah. Makanya, aku senang sekali dengan hari Minggu yang entah kenapa wanita dan lelaki yang membuatku menangis setiap pagi, berada di rumah sepanjang hari. Aku juga senang dengan hari Sabtu, wanita dan lelaki yang membuatku menangis setiap pagi, seringnya mengajakku keluar jalan-jalan, makan enak, dan membelikanku mainan. Hanya 2 hari itu saja, 5 hari lainnya, hidupku hanya dipenuhi dengan muka Bibi Ginah.
Hingga aku berdoa, Ya Rabb, jadikan semua hari hanyalah ada Sabtu dan Minggu saja. Namun, itu mustahil.
Bibi Ginah, wanita yang membuatku tidak pernah lepas dari dot susu. Dia tidak pernah membiarkan botol susuku kosong. Selalu ada saja isinya. Kadang berisi cairan putih yang sedikit manis, kadang cairan coklat yang manis, kadang cairan bening yang manis. Katanya, aku harus selalu kenyang agar tidak menangis ketika dia harus sibuk mencuci baju, memasak, bebersih rumah, dan mengepel. Begitu aku mengeluarkan suara tangis, dia langsung membekap mulutku dengan dot. Jika aku belum tidur juga, dia buatkan aku 1 dot lagi.
Jarang orang yang mau menggendongku karena ukuran tubuhku yang jauh lebih besar dari anak seusiaku. Jika anak umur dua tahun berada dikisaran berat 14 hingga 18 kilo, beratku sudah 20 kilo lebih. Ayah dan ibuku bangga sekali, apalagi Bi Ginah yang selalu memamerkan kegemolan pipiku, katanya ini berkat kepintarannya mengasuh bayi.
Jujur, aku jadi malas berdiri. Berjalan membuat tubuhku capek dan aku takut berlari. Aku takut jatuh, makanya hobiku adalah tiduran sambil minum dot. Aku juga akan memuntahkan makanan yang memiliki tekstur dan rasa yang aneh. Bagiku, makanan terenak adalah yang keluar dari dotku, roti empuk yang manis, dan wafer yang manis. Selain tiga makanan itu, semua berasa eneg. Aku benci makanan keras dan asin seperti kacang dan keripik. Makanan sejenis itu membuat mulutku harus mengunyah, sedang gigiku ngilu dan tulang rahangku kaku.
Pokoknya, hidupku adalah Bibi Ginah, dot, dan manis.
Hingga suatu ketika, aku merasakan tubuhku panas, badanku lemas, dan aku hanya bisa berbaring. Aku tidak tahu apa itu haus dan lapar, yang aku tahu adalah aku akan menangis jika ingin dot. Namun, yang aku rasakan kali ini adalah tubuhku menolak dot. Seketika aku mengisap dotku, seketika itu juga aku muntah. Dadaku pun terasa sesak, napasku ngos-ngosan. Apa ini yang disebut orang sebagai sakit?
Anehnya, ketika aku begini, wanita dan lelaki yang membuatku menangis setiap pagi, malah menemaniku. Bi Ginah malah tidak terlihat di mataku.
Aku tidak tahu kali ini aku berada di mana, sepertinya ini bukan rumahku. Ini bukan tempat tidurku dan ada 2 selang panjang menempel di tubuhku, di hidung dan tangan. Aku memang merasa lemas sekali, tetapi aku bahagia, wanita dan lelaki itu ada di sampingku.
Apa aku harus begini terus saja, agar mereka berdua ada di sampingku?
Editor: Erlyna