Kisah yang Tak Terlihat: Kabar Baik Malaikat

Kisah yang Tak Terlihat: Kabar Baik Malaikat

Kisah yang Tak Terlihat: Kabar Baik Malaikat
Oleh : Dyah Diputri

Sesosok malaikat mendatangimu pada suatu ketika, mengabarkan berita bahagia. Katanya, besok malam adalah awal hari penuh berkah. Ketika hilal mulai tampak, maka orang-orang akan berbondong-bondong datang kepadamu. Malaikat itu bersama teman-temannya juga berdatangan menyertai orang-orang itu.
Semua bagai keajaiban. Masa-masa kesendirianmu seakan-akan telah purna. Kalau selama ini kamu hanya berteman beberapa mukmin dan mukminat, ditambah satu-dua imam yang bergantian memimpin salat lima waktu, kali ini shaf-shaf yang berjajar itu penuh oleh jemaah. Riuh suara anak kecil di tingkat dua menambah semarak. “Ramadhan kareem,” kata mereka.

“Selamat datang di rumah Allah. Tempatmu meninggalkan dunia barang sebentar, dengan imbalan pahala berjemaah berkali-kali lipat, disertai doa dari sang malaikat. Semoga Allah senantiasa merahmatimu juga mengabulkan permintaanmu. Aamiin.” Kamu memberi salam kepada siapa-siapa yang masuk dengan kaki kanannya terlebih dahulu.

Malaikat menyebar ke seluruh penjuru, lalu berbaris rapi dan memunajatkan doa-doa yang sama. Katanya, sebulan ke depan mereka—yang mengambil tempat hingga pelataran itu—akan bersama denganmu. Memang, tidak akan sama jumlahnya setiap harinya, bahkan semakin menurun pada minggu ketiga dan keempat bulan itu. Namun, setidaknya suara tadarus akan memenuhi langit-langitmu pagi, sore, malam, setiap waktu.

“Aku paling suka mendengar anak-anak kecil itu menyerukan ‘aamiin’ yang mengiringi Surah Al-Fatihah dengan kerasnya ketika dimulainya Tarawih. Juga melihat bapak-bapak membaca Al-Qur’an secara bergantian selepas Witir,” katamu lagi kepada malaikat.

“Aku lebih suka melihat ibu-ibu yang mendengarkan ceramah sehabis Subuh. Terkadang mereka terantuk-antuk, tetapi kemudian tergemap dan menarik napas panjang. Entah apa tadi ia mendengar dengan baik ceramahnya atau tidak, tetapi mereka kembali menegakkan duduknya. Masya Allah.”

“Bukankah seperti itu masih mendapatkan pahala?” Kamu bertanya karena penasaran.

“Ya. Tentu saja. Tuhan-ku memberi pahala untuk setiap kebaikan biarpun sebesar dzarah, terlebih pada bulan ini. Mereka yang menahan lapar dan hausnya, mendapat pahala kebaikan walau sedang tertidur.”

“Masya Allah! Masya Allah!” serumu bahagia.

“Kamu lihat di luar sana, Tuhan-ku membersihkan bumi-Nya pada bulan ini. Ia kerangkeng setan-setan di neraka, agar terlihat mana-mana dari mereka yang betulan beriman. Betapa syahdunya malam-malam sebulan ini, apalagi saat malam Lailatul Qadr.”

“Ya, kamu benar. Betapa mulianya bulan Ramadhan, sehingga mereka hanya berbondong-bondong menemaniku saat-saat ini.”

“Apa maksudmu?”

“Kita lihat saja nanti,” ucapmu mengakhiri perbincangan.

Setelahnya, hari demi hari berlalu dengan cepat. Sepuluh hari pertama, di mana Tuhan mengeluarkan dosa-dosa manusia dan mengampuni dosa orangtuanya yang mukmin, bahkan mendapat pahala serupa salat di Masjidil Haram bagi yang berjemaah Tarawih, kamu lagi-lagi ditemani mereka. Meski terkadang suara anak-anak kecil menggema di antara kekhusyukan ibadah, kamu tetap merasa bahagia.

Sepuluh hari selanjutnya, separuh dari mereka melambaikan tangan kepadamu. Meski bergaung-gaung imam salat menyebutkan bahwa pada Tarawih hari kesebelas Tuhan membersihkan seluruh dosa mereka ibarat bayi yang baru lahir, tetapi hanya sedikit saja yang istikamah dan mendatangimu.

Pada hari keempat belas, malaikat berseru, “Ya Allah, ya Tuhan-ku, sesungguhnya hamba bersaksi bahwa si Fulan telah bertarawih malam ini, maka hamba memohon, hapuskanlah hisab atasnya pada hati kiamat.”

Namun sayang, kamu mulai kedinginan karena mereka yang kekenyangan setelah berbuka puasa lebih memilih bergelung selimut di rumahnya daripada mengelus dinding kukuhmu.

Malam kedelapan belas, malaikat kembali berseru kepada sisa-sisa jemaah yang datang mengunjungimu, “Hai, hamba Allah, sesungguhnya Allah rida kepadamu dan ibu-bapakmu.”

“Siapa yang kamu seru, wahai Malaikat?” tanyamu.

“Hanya mereka yang tersisa,” jawabnya.

Sepuluh malam terakhir, kata malaikat, Tuhan menjanjikan banyak hal. Tuhan akan membangunkan untuk mereka gedung dari cahaya, menghapuskan kesedihannya pada hari kiamat, membangunkannya kota di dalam surga bagi mereka yang bertarawih pada hari kedua puluh satu, dua puluh dua, dan dua puluh tiga. Selanjutnya dua puluh empat kebaikan, dinaikkan derajatnya, dan diangkat pahalanya, hingga dipersilakan makan buah-buahan surga, mandi dari air Salsabil, dan minum dari Telaga Kautsar pada malam-malam Tarawih terakhir.
Pun begitu, kamu menjadi saksi, bahwa malam itu dan malam setelahnya, hamba-hamba yang didoakan malaikat itu tinggal segelintir saja. Sampai penghujung Ramadan, kamu kembali sunyi. Kata anak-anak kecil yang sering lewat di depanmu, mereka para orang dewasa sibuk ke tempat perbelanjaan dan untuk menyambut hari raya. Sementara salat malam hanya dihadiri oleh jemaah yang tak lebih dari dua puluh jumlahnya. Padahal, ada berpuluh ribu warga yang tinggal di daerahmu.

“Percayakah kamu, wahai Malaikat? Bahwa saat para takmir membuka kepanitiaan zakat pada senja, setelahnya mereka lupa kepadaku. Sedikit sekali mereka yang mengingat pernah menghangatkan hari-hariku. Habis Lebaran, bukan berarti habis keberkahan, tetapi keimanan mereka habis dimakan bulan. Itu membuatku bersedih sepanjang sebelas bulan ke depan.”

 

Malang, 20 April 2021

Dyah Diputri. Pencinta diksi yang tak sempurna.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply