Kisah yang Seharusnya Tak Pernah Dikisahkan
Oleh: Lutfi Rosidah
Dia menghampiri saya dengan membawa sebotol air mineral dan sebungkus obat mag. Saya menurut ketika dia membuka bungkus obat lalu menyuruh saya mengunyahnya. Saya menangis, Dia pun menangis. Saya menangis bukan karena perut saya yang sakit, saya menangis karena Dia. Tapi Dia menangis bukan hanya karena saya, juga karena Ia.
Saya mengenal Dia ketika saya masih sangat muda. Saya mengagumi Dia juga Ia yang begitu setia menyertai setiap langkah Dia. Saya belajar banyak hal dari mereka. Saya mengagumi mereka.
Kami memulainya penuh suka cita. Dari Dia saya belajar musik, dari Ia saya belajar menjadi wanita yang baik. Sebuah hubungan yang begitu tulus.
Saya tak pernah tahu kapan saya mulai jatuh cinta pada Dia seperti Dia yang tak pernah bisa menjelaskan kapan mulai mencintai saya. Dia mencintai saya juga mencintai Ia.
Kenapa kamu menangis, tanya Dia. Sama seperti kenapa kamu menangis, jawab saya.
Dia bangkit, mengangkat ponselnya yang berbunyi.
Ia ingin kami berpisah, ucapnya pada saya setelah menutup telepon. Saya diam saja.
**
Malam makin senyap. Saya, Dia dan Ia berada dalam kamar masing-masing. Saya sedang memikirkan hubungan Dia dan Ia, saya sedih. Saya juga tahu Dia sedang memikirkan saya dan Ia, dia juga sedih. Dan saya juga yakin, Ia sedang memikirkan Dia dengan kesedihan yang mungkin melampaui kesedihan saya dan Dia.
Kami tahu kami sama-sama saling menyakiti. Kami juga tahu kenapa kami saling menyakiti. Tapi tidak ada di antara kami yang berusaha berhenti saling menyakiti. Kami sama-sama ingin semua berakhir, kami berharap akan segera sembuh. Berharap sakit itu secara ajaib musnah dan kami kembali seperti saat pertama kali kami berjumpa.
Tapi saya hanya bisa bahagia jika bersama Dia. Ia bisa bahagia jika bersama Dia. Dan Dia tak akan pernah bisa bahagia tanpa saya dan Ia. Ia menuntut Dia memilih Ia atau saya, namun saya tahu Dia tak akan pernah bersedia jika harus memilih saya atau Ia.
Saya tahu Dia akan lebih bahagia ketika tak pernah ada saya. Karena itu saya meminta Dia memilih Ia. Tapi Ia lebih dulu meminta berpisah, membiarkan Dia memilih saya. Dan Dia menjadi murung.
Ketika Dia bersama saya, Ia selalu mengingat Ia. Tapi Dia tak pernah tega meninggalkan saya demi Ia. Dia meminta saya bersabar, saya tak tahu harus menjawab apa.
Seperti seteguk air penghilang dahaga, begitu saja cinta menyapa saya. Tak ada perlawanan ketika Dia membisikkan tentang semua harapan dan impian. Saya merasa begitu berharga ketika Dia menyatakan perasaannya. Dia menggenapi hati saya yang sendiri. Tapi tetap ada Ia yang tak pernah terlupakan di hati Dia.
Ia selalu menunggu kepulangannya. Saya selalu menunggu kunjungannya. Tetap ada Ia di antara dekapan kami di tengah malam yang hangat. Tangis Ia seakan bergulung jauh merenggut kedamaian percumbuan kami. Membuat saya merasa menjadi orang jahat dan ingin segera mengakhiri hubungan kami.
Namun di saat Dia pergi, saya merasa ada yang berlubang di dada ini. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga tak terhitung lagi, saya kembali menatap ponsel dan berharap ada nomornya menghubungi. Apakah Dia dan Ia sedang bercinta? Apakah Dia sudah tak mengingat saya seperti Dia mengingat Ia saat kami berdua?
**
Kami duduk bersama di sebuah meja bundar di sebuah rumah makan. Saya tak berani mengangkat wajah meski saya sangat ingin melihat ekspresi Ia. Dia mulai berbicara, mengatakan bahwa kami saling mencinta. Ia mulai menangis, saya bisa mendengar isak tertahan tanpa harus melihatnya. Ia mengenggam pisau di atas piring hingga tangannya berdarah, meninggalkan jejak luka yang entah sampai kapan dan mungkin tak akan pernah sembuh meski telah mengering.
Saya tak ingin menyakiti kalian, kata Dia.
Saya juga ingin kalian bahagia, kata Dia lagi.
Saya dan Ia diam. Saya mulai menangis, Ia pun masih menangis.
Jarum jam seolah berhenti berdetak, dalam diam panjang kami yang menyakitkan. Tak ada kata yang bisa menghibur kami, kami terluka. Semua tak tersisa, hanya tertinggal sebuah harapan yang telah tak berupa. Ada kelegaan di antara luka, selebihnya tinggal penyesalan yang menyesakkan dada. Ternyata kejujuran tak juga bisa mengubur dusta. Saya dan Ia tak berdaya. Sangat lama saya, Dia dan Ia terjebak dalam diam. Tak ada di antara kami yang ingin membuka suara.
**
Tidakkah saya bahagia? Ia telah melepas Dia. Tapi kami tak bahagia. Dia bilang melukai saya dan Ia adalah hal yang dibencinya. Saya mempercayainya. Lalu kenapa Dia memberikan cinta pada saya ketika sudah bersama Ia, Dia tak pernah bisa menjelaskan. (*)
Lutfi Rosidah, baginya cinta sejati itu nyata.