Kisah Tati dan anaknya
Oleh: Elly ND
Rumah itu sebagian besar berdindingkan papan dengan beberapa bagiannya yang mulai minta diganti. Atapnya masih menggunakan genting dan lantainya adalah plesteran semen berwarna abu-abu.
Di rumah warisan orang tuanya itulah, Tati dan Dayu, putra semata wayangnya tinggal.
“Ibu, aku lapar,” rengek Dayu pada ibunya.
“Tunggu sebentar, ya. Ini Ibu lagi masak. Sebentar lagi matang,” jawab si ibu sambil mengaduk sayur dalam kuali.
“Iya, Bu.”
Dayu, anak laki-laki berumur tujuh tahun itu kembali merebahkan tubuhnya di dekat pintu dapur. Sesekali matanya memerhatikan tangan sang ibu yang sedang memasak. Tanpa terasa, sejuknya angin sore yang berembus, membuat Dayu terbuai. Tertidur dengan tangan memeluk perut. Si ibu yang melihat anaknya tertidur, mengusap air mata yang menetes.
Tati, seorang janda beranak satu yang ditinggal mati suaminya. Pikiran Tati melayang pada kejadian setahun yang lalu. Pagi itu, usai sarapan bersama.
“Bu, tolong siapkan air sebotol, ya. Nanti Bapak mau narik becak.”
“Bapak ‘kan masih belum sembuh benar, Pak. Nggak bisa libur dulu aja, Pak?” bujuk Tati.
“Iya, Pak. Libur aja hari ini. Temani Dayu main.” Dayu menambahkan.
“Mumpung hari Minggu, Bu. Biasanya di pasar banyak yang belanja kalau lagi libur gini.”
“Ya sudah kalau Bapak maunya seperti itu. Sebentar saya siapkan air minumnya.”
Usai menerima botol dari istrinya, Pak Agus berpamitan dan mengayuh becaknya. Rumahnya yang berada di dalam gang mengharuskannya ke jalan besar terlebih dahulu sebelum menuju pasar.
Jalan besar yang dilaluinya pagi itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa kendaraan roda dua dan sesekali mobil bak terbuka yang berpapasan dengannya. Harapannya hanya satu, hari ini ia bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membeli baju seragam anaknya.
Benar saja, hari itu pasar sangat ramai. Banyak orang berjubel berbelanja baju dan bahan pokok, mungkin karena sebentar lagi akan masuk tahun ajaran baru. Tampak beberapa ibu-ibu menggandeng anaknya keluar masuk toko baju.
Seorang ibu paruh baya dengan menenteng kantung belanjaan di tangan kanan dan kiri, mendatangi Pak Agus yang sedang duduk di becak. Mereka sedikit bernegosiasi mengenai ongkos yang harus dikeluarkan oleh si ibu. Kesepakatan pun terjadi dan Pak Agus siap mengantar ibu itu.
Matahari beranjak naik, sinarnya yang terik terasa membakar di kulit. Sebotol air minum yang dibawanya tadi pagi sudah tandas tak bersisa. Setelah menyeka keringat di pelipis menggunakan handuk kecil yang melingkar di leher, Pak Agus memutuskan untuk pulang.
Melalui jalanan yang sama setiap harinya, Pak Agus teringat bahwa Dayu sangat ingin makan pais ikan nila. Saat melewati rumah makan yang menjual aneka olahan ikan, Pak Agus menghentikan becaknya.
Membayangkan wajah ceria Dayu saat menerima bungkusan berisi makanan yang diinginkannya membuat Pak Agus semangat mengayuh becak pulang. Hingga tanpa ia sadari, ketika hendak berbelok arah ke kanan, dari arah belakang melaju kencang sebuah mobil.
***
Tak terasa air mata Tati menitik, tiap kali ia teringat kenangan akan sang suami. Saat ini kehidupan mereka yang pas-pasan, terasa semakin sulit setelah sang kepala keluarga tiada. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Tati bekerja sebagai buruh cuci. Terkadang bila ada tetangga yang akan hajatan, Tati diminta tolong untuk membantu. Semua Tati lakukan agar dapurnya tetap mengepul. Beruntung Dayu bukan anak yang harus selalu dituruti setiap inginnya.
Suara air mendidih, menyadarkan Tati dari lamunan. Segera masakan yang telah matang dipindahkannya ke dalam wadah. Dihampirinya Dayu, dan membangunkannya.
“Yu, Dayu, bangun, Nak. Ayo, kita sama-sama makan,” ajak Tati.
Mengusap mata, Dayu menghampiri sang ibu dan menjawab, “Iya, Bu.”
Nasi yang mengepul dalam *ceting, ikan asin goreng dan aroma sayur yang menggugah selera telah terhidang di hadapan Dayu. Dengan lahap, Dayu menghabiskan nasi dalam piringnya. Tati yang melihat itu, menyusut sudut mata yang berair menggunakan ujung baju. Di dalam hati, Tati berdoa, agar senantiasa diberi kesehatan dan berharap kehidupan yang lebih baik untuk putranya. (*)
*Ceting: Perkakas tradisional Jawa, dibuat dari anyaman bambu, biasa digunakan untuk tempat nasi.
Kota Cantik, 31 Mei 2021
Elly ND, seorang perempuan penikmat bakso dan kopi susu.
Editor: Imas Hanifah N