Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 2
Kisah Penulisan
Oleh: Aris’ky Maulana
Aku mendengar suara-suara tanpa wujud. Awalnya, aku berpikir semua itu hanya halusinasi, tetapi tidak. Suara-suara itu nyata. Seseorang sedang mempermainkan kehidupanku! Aku, pria tua yang telah dikhianati sang istri dan kemudian membunuh anak laki-lakinya sendiri. Tetapi demi Tuhan, bukan aku yang menggerakkan tanganku saat memukulkan kayu ke kepala Gare. Pemilik suara-suara tanpa wujud itulah pelakunya! Suara-suara itu berbisik, mendiktekan setiap langkah dan gerakku.
Suara-suara itu seperti sedang menjadikan dirinya sebagai tuhanku.
Suara-suara itu seperti seseorang yang sedang menulis kisah hidupku hingga menjadi berantakan.
***
Kehidupan Baskara tidak berakhir begitu saja. Setelah menerima hukuman atas kematian anaknya, ia menjalani kehidupan dengan sengsara, kesepian, dan dirundung penyesalan. Setiap hari sama saja baginya. Siang dan malam berlalu tanpa kebahagiaan. Rumahnya adalah batu nisan, yang bukan ditaburi bunga, melainkan daun-daun kering.
Kehidupan menyedihkan tersebut akan menjadi lebih menyedihkan pada hari Sabtu. Saat itu matahari enggan menampakkan diri. Awan kelabu menghiasi langit. Bahu Baskara memikul beras seseorang yang membutuhkan jasanya. Bagaimanapun, pasar adalah tempat yang selalu membutuhkan jasa, bahkan bagi seseorang yang baru saja terbebas dari jeruji besi.
Keringat membasahi dahi Baskara, tubuhnya yang kurus terengah-engah, ia berjalan sambil membungkuk. Saat itulah ia melihat wanita itu. Karung di bahunya jatuh dan beras pun berserakan. Wanita pemilik barang tersebut memarahi Baskara, meninggikan suaranya. Aktivitas orang-orang di pasar terhenti hanya untuk menyaksikan adegan itu. Namun, Baskara tidak peduli dengan perhatian itu, ia terpaku menatap wanita yang pernah dicintainya di ujung sana. Kecantikan wanita itu tidak berubah, malah semakin bertambah, mungkin—pikirnya—itu karena wajah wanita itu yang cerah, tampak senantiasa berseri-seri.
Aku menatap Rosmita. Seperti orang lain di sekitar, ia juga menatapku, dahinya berkerut. Tidak ada sesuatu yang menyiratkan bahwa ia mengenalku. Wajar, karena kini penampilanku berbeda dari dulu. Rambut putih memenuhi kepala dan daguku. Meski usia kami sama, penampilan Rosmita masih tampak seperti muda dulu.
“Kalau tidak bisa bekerja, tidak usah kau menawarkan diri!” Wanita pemilik beras itu membentak.
“Maaf, Bu.” Aku serak.
“Sekarang aku yang rugi. Kau mana mampu mengganti beras-beras yang berjatuhan itu, dasar gembel! Sana pergi!”
Wanita yang marah itu menolak tawaran Baskara untuk membereskan beras-beras yang berjatuhan. Setelah menggumamkan maaf berkali-kali, ia pun bergegas pergi. Baskara tertatih-tatih pulang, dadanya bergemuruh dengan kemarahan, lagi. Pengkhianatan itu seperti baru saja terjadi, bukan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Melihat Rosmita yang baik-baik saja menumbuhkan sebuah dendam dalam hati Baskara.
Baskara berteriak.
Ia melempar gelas ke dinding rumahnya.
Pecahan gelas berceceran di lantai rumahku. Aku terduduk sambil memeluk lutut. Saat melihat Rosmita, kerinduan menggelegak di dalam diriku. Aku tidak merindukan Rosmita. Aku merindukan Gare. Wajah bulat Rosmita mengingatkanku pada Gare, juga rambutnya yang hitam kecokelatan.
Mengapa tidak ada sedikit pun kesedihan yang terlihat di wajah Rosmita? Tidakkah ia merasa kehilangan? Jika tidak merasa kehilanganku, paling tidak kehilangan anaknya sendiri. Apakah ketidakhadiran kami hanya membuatnya semakin bahagia?
Pertanyaan-pertanyaan yang melayang di kepala Baskara membuat sakit hatinya semakin membesar. Sakit hati itulah yang menciptakan dendam. Perlahan, kepalanya menyusun rencana untuk membalaskan dendam tersebut.
Ia bangkit berdiri dan—
“Diam!” Aku membentak suara yang berbisik itu. “Siapa kau sebenarnya? Berhenti mempermainkanku! Berhenti menyusun kisah hidupku! Cukup!”
Aku mengambil salah satu pecahan gelas di lantai.
“Kau salah! Tidak ada rencana balas dendam yang melayang di kepalaku! Tidak ada! Yang ada adalah ini: aku berpikir untuk menggoreskan pecahan ini ke nadiku.” Aku tertawa, sungguh, ini adalah tawa pertama yang keluar dari mulutku setelah puluhan tahun. “Lihat, kau pikir hanya kau yang bisa mengacaukan hidupku? Aku juga bisa mengacaukan kisah yang kau tulis!”
Rencana pun tersusun dalam kepala Baskara. Pikirnya, Rosmita pantas mendapatkan kesengsaraan yang setimpal.
“Kau pikir aku takut untuk bunuh diri? Tidak! Lagi-lagi kau salah! Aku sama sekali tidak takut mengakhiri hidupku sendiri! Lihat, lihat ini!” Kemudian aku merasakan sakit yang tak terkira. Rasa sakit yang lebih menyakitkan dari sekadar perasaan. Darah mengalir dari pergelangan tanganku. Pandanganku memburam sebelum akhirnya menghitam.
***
Wanita yang marah itu menolak tawaran Baskara untuk membereskan beras-beras yang berjatuhan. Setelah menggumamkan maaf berkali-kali, ia pun bergegas pergi. Baskara tertatih-tatih menjauh dari tempat itu, tetapi tidak pulang, pulang berada jauh dari pikirannya saat itu.
Ia melihat beberapa orang membantu wanita itu memasukkan beras yang berjatuhan ke dalam karung. Ia juga melihat Rosmita memasuki sebuah toko pakaian. Dari jarak jauh, Baskara menunggu wanita itu selesai berbelanja. Selama itu ia menyusun rencana. Dia berpikir Rosmita tidak seharusnya terlihat bahagia.
Dengan pakaian lusuh, berbadan bau, dan tampak seperti pria tua kelaparan, Baskara berpikir rencananya akan berhasil. Lebih dari satu jam kemudian Rosmita keluar dari toko tersebut. Baskara tertatih-tatih mengikutinya. Saat jalanan yang mereka lewati mulai sepi, Baskara pun menyusulnya. Tepat beberapa langkah di depan Rosmita, ia menjatuhkan diri.
Rosmita memekik.
Baskara mengaduh, berpura-pura sakit.
“Bapak tidak apa-apa?”
“Kakiku … kakiku sakit.”
Rasa iba menghiasi wajah Rosmita.
“Ayo, biar saya antar Bapak ke rumah sakit.”
“Tidak, tidak apa-apa. Rumahku di depan sana, melewati gang itu, bisakah kau mengantarku ke sana?”
Rasa iba berubah menjadi ragu. Rosmita melirik sekelilingnya. Tidak ada siapa pun selain mereka.
“Baiklah.”
Rosmita menuntun Baskara. Beberapa langkah kemudian, Baskara berkata: “Tidakkah kau ingat aku?”
Rosmita mengurutkan kening. “Tidak. Saya tidak mengenal Bapak.”
“Bagaimana dengan Gare? Apakah kau juga melupakannya?”
Langkah Rosmita terhenti. “Siapa Bapak sebenarnya?”
Mata Baskara yang menatap Rosmita membara. “Aku, suami yang telah kau khianati, Rosmita!” Pengenalan tercermin di mata Rosmita. Ia melangkah mundur. Punggungnya menyentuh dinding gang. “Apa kabar, Sayang?”
“Baskara ….”
“Ya.”
Baskara menyentuh wajah Rosmita. Jari-jarinya menelusuri pipi wanita itu, kemudian bergerak ke bibir yang pernah menjadi favoritnya. Namun, tujuan Baskara saat itu bukan untuk mengenang kisah cinta masa lalu. Ia menurunkan jari-jarinya ke leher Rosmita.
Aku mencekik Rosmita sekuat tenaga. Mulut Rosmita terbuka tampak membutuhkan udara. Dari mulutnya keluar suara a … a … a. Suara itu hanya membuat cengkeramanku semakin erat. Aku kehilangan hitungan waktu. Mungkin satu jam kemudian, atau lebih mungkin hanya hitungan detik kemudian, tubuh Rosmita jatuh ke tanah.
Mati!
Aku berlari kencang, tidak tertatih-tatih seperti pria tua, meninggalkan Rosmita yang tergeletak. Saat sampai di jalan raya, mobil dan motor berlalu-lalang tanpa kendali, aku berlari ke tengah-tengahnya. Sebuah mobil melaju kencang dan aku menabrakkan diri ke benda itu.
***
Baskara adalah suami dan ayah yang beruntung. Ia memiliki istri yang setia dan anak laki-laki yang berperilaku baik. Saat itu hari Sabtu. Matahari bersinar terang dan awan terhampar di langit biru. Sungguh saat yang menyenangkan untuk bermain di pantai.
Rosmita bercengkerama dengan penjual kelapa.
Gare berlarian bersama anak-anak lain.
Baskara, berbaring di atas pasir putih, merasa bahagia.
Namun, di balik kebahagiaannya, lelaki itu sebenarnya terobsesi dengan kematian.[*]
Subang, 13 Desember 2025.
Aris Rizki Maulana adalah nama lengkapnya. Laki-laki ini lahir 15 Maret 2001. Ia menyenangi menulis tetapi lebih mencintai membaca.
Komentar Juri, Halimah Banani:
Seberapa jauh eksistensi kita di dunia ini? Melalui metafiksi dengan teknik breaking the four wall, Aris berhasil menyajikan cerita dengan baik. Sebagaimana kita, manusia, yang berusaha keras mengubah atau bahkan melarikan diri takdir, terkadang hasil yang didapatkan tetap sama, membuat kita bertanya-tanya apakah takdir yang ditetapkan Tuhan adalah hal yang pasti atau bisa diubah, dan sejauh mana takdir yang bisa diubah itu? Misal, seperti hari kematian kita yang sudah tercatat di Lauh Mahfuz, maka seberapa keras kita mencoba bunuh diri atau bagaimana seseorang berusaha membunuh kita, kita belum akan mati sebelum tiba waktunya, terlepas bagaimana kondisi kita semasa hidup ke depannya. Itu hanya salah satu hal yang langsung saya tangkap saat pertama membaca cerpen ini, dan tentu masih banyak hal lain yang bisa dirasakan saat/setelah membaca cerpen ini.
Meski ada adegan yang agak klise di pertengahan cerita, itu tidak mengurangi nilai dari cerpen ini. Genre yang kuat, ide yang menarik, teknik penyajian yang pas, dan makna yang mendalam dalam cerpen ini membuatnya sangat layak berada di urutan kedua. Oh, jangan lupakan juga ending yang keren sebagai nilai tambahnya. Good job, Aris!
