Kisah Momon
Oleh: Isnani Tias
Part 6. Muara Sungai dan Hutan Rawa-Rawa
Momon berjalan menyeberangi sungai dangkal dan bening. Ia melambaikan tangan kepada ayah panda yang masih berdiri memandangi monyet muda itu.
“Terima kasih untuk semuanya, keluarga panda. Momon akan merindukan kalian semua,” ucapnya dalam hati.
Setelah menginjakkan kaki di tanah, Momon mulai memanjat pohon dan bergelantungan dengan berpindah tempat. Hati Momon senang bisa melakukan ini lagi. Karena hampir seharian Momon melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, tanpa berlari pula. Karena ia berjalan dengan ayah panda yang berbadan besar sehingga untuk berlari pun agak susah baginya.
Momon beristirahat sejenak di pohon yang dahannya kuat dan menjulang tinggi. Dari tempat ini, ia bisa melihat hutan rawa-rawa yang akan dilaluinya nanti.
Momon mulai membuka tas punggungnya dan mengambil buah kesukaannya, pisang. Ia memakan dengan lahap sambil melihat pemandangan yang indah serta beberapa burung yang terbang. Cuaca hari ini sangat cerah.
Sesudah Momon mengisi perutnya, ia melihat peta dari Kakek Kera. Memastikan sekarang Momon berada di mana dan harus berjalan ke arah mana. Ia tidak ingin tersesat. Kemudian Momon merapikan tasnya kembali dan memasangkan di bahunya lagi.
“Tunggu dan doakan Momon tiba dengan selamat, Bu,” ucap dalam hati Momon sambil memulai perjalanan lagi dengan turun dari pohon.
Momon sepertinya harus melalui perjalanan di air lagi. Namun, kali ini Momon tidak tahu kedalaman sungai yang ada di hadapannya. Matanya mulai menelusuri area sungai.
“Siapa tahu ada jalan untuk menyeberanginya,” gumam Momon.
Momon masih mengamati area muara sungai itu untuk mencari jalan agar bisa menyeberanginya. Pandangan Momon terhenti pada beberapa batu yang berada di dalam sungai. Batu-batu itu dikelilingi tanaman eceng gondok dan bunga terarai.
Momon berjalan ke arah kanan tempat bebatuan itu berada. Ia ingin memastikan batu itu cukup kuat dipijak olehnya atau tidak. Setelah sampai di depan batu-batu itu yang ukurannya tidak terlalu besar, Momon mencermati letak batu tersebut. Ternyata, letaknya seperti zig-zag.
“Batunya ada satu, dua, tiga … lalu empat. Dan jarak batu ketiga dengan keempat cukup jauh,” ucap Momon sambil memikirkan sesuatu.
Momon ragu apa bisa melompat kurang lebih dua kali lipat jarak lompatannya, walaupun aliran sungainya tidak begitu deras. Akhirnya Momon memantapkan hati untuk melalui bebatuan itu.
Tekad Momon sudah bulat, ia akan berusaha melompat sejauh mungkin untuk mencapai batu keempat. Momon mulai melompat di batu pertama. Ternyata batunya cukup kuat. Lalu, ia berpindah ke batu kedua yang letaknya berada di kiri dan berhenti sebentar.
Bebatuan itu cukup licin, karena kondisi batu selalu basah terkena air sungai. Momon berhati-hati, ia tidak ingin terpeleset dan tercebur di sungai. Pandangannya mulai berfokus pada batu ketiga yang berada di sebelah kanan.
Kali ini Momon menyakinkan diri dengan berkata, “Ayo, Mon, pasti bisa. Mulai lompat … tiigaa … empaat … liimaaa … sampai!”
“Aduh, sakit. Siapa yang berani menginjak kepalaku!” Tiba-tiba ada yang berteriak.
Momon mendengar suara itu, lalu ia berbalik menghadap sungai kembali.
“Ups! Pantas saja batunya tadi, kok, menjadi lima,” gumam Momon sambil menggaruk kepala yang ditutupi topi rajut berwarna hijau.
“Hai, kau di sana!” teriak hewan pemakan daging itu, ia mulai berenang ke arah tepi sungai.
Ternyata, Momon tadi menginjak kepala buaya yang mempunyai tubuh besar dan panjang. Mengetahui kalau hewan bergigi tajam mulai menghampirinya, Momon melangkah mundur perlahan.
“Ma-maaf, Mo-mon ti-dak ta-hu ka-lau i-tu ke-pa-la Anda,” ucap Momon terbata-bata dan kaki bergetar.
Buaya itu terlihat marah, kaki depannya mulai berada di tanah basah. Ia berjalan perlahan dengan empat kakinya. Sepertinya dengan badan yang besar, ia susah untuk berjalan.
Momon tetap melangkah mundur sambil tengok kanan-kiri yang terdapat rerumputan basah setinggi lututnya. Mata Momon terus waspada, ia tidak mau menjadi santapan buaya muara sungai.
“Semoga hanya dia satu-satunya buaya yang berada di sini,” batin Momon.
“Sepertinya malam ini aku akan makan enak. Hahaha …,” kata buaya besar dengan wajah gembira sambil berjalan ke arah Momon.
Momon pun tetap melangkah mundur sambil menoleh ke belakang. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
“Ja-jangan, daging Momon tak enak,” ucap Momon sambil mengusap keringat di dahinya.
“Aku mencium daging segar.”
Tiba-tiba terdengar suara bernada besar. Momon mempertajam indra penglihatan dan pendengarannya.
“Gawat, sepertinya ada yang akan datang,” kata Momon dalam hati.
Bunyi injakan rumput basah semakin terdengar dari arah kiri. Pandangan Momon beralih pada datangnya sumber bunyi itu. Ia pun mulai berpikir untuk meloloskan diri dari para buaya yang lapar.
“Hahaha … indra penciumanku selalu benar. Nanti malam bisa berpesta,” ucap buaya yang baru datang.
“Eh, monyet ini punyaku. Aku yang melihat dia duluan!” teriak buaya besar yang tadi.
Kemudian dua buaya muara sungai itu saling berdebat. Kesempatan ini digunakan Momon untuk melarikan diri dari mereka dan masuk ke hutan rawa-rawa.
“Hentikan pertengkaran kalian! Mangsa kalian sudah melarikan diri.”
Buaya yang lain pun datang karena mendengar suara keributan mereka berdua.
Momon terus dan terus berlari ke dalam hutan. Hutan rawa ini membuat tubuh Momon kotor karena berlari di tanah basah. Ia pun memutuskan untuk memanjat pohon. Lalu berpindah dari pohon satu ke pohon lain dengan bergantungan di dahan.
Di hutan rawa itu hanya terdengar suara-suara dari binatang kecil yang saling bersahutan. Namun, Momon tidak dapat melihatnya. Sepertinya mereka sedang bersembunyi, untuk menghindar dari pemangsa.
Momon berhenti sejenak untuk melepas lelah di salah satu batang pohon. Ia membuka tas punggung dan mengambil botol air, lalu meminumnya. Tampaknya Momon kehausan, isi botol itu hampir habis.
Kepala Momon mengarah ke atas, memandang langit yang mulai gelap. Ia bergegas merapikan isi tasnya dan pergi mencari tempat untuk bermalam. Momon bangkit dari duduknya, lalu melompat dan bergelatungan kembali.
Tiba-tiba langit tertutup awan hitam dan mengeluarkan titik-titik air. Padahal tadi cuaca tampak cerah, bukan mendung maupun berangin.
“Wah, mau turun hujan. Aku harus menemukan segera tempat untuk berteduh,” gumam Momon setelah wajahnya terkena tetesan air hujan.
Momon semakin mempercepat lompatannya dan tangannya menggapai dahan-dahan. Air hujan perlahan mulai turun membasahi hutan rawa-rawa itu. Momon semakin panik sehingga tidak memperhatikan bahwa sambaran tangannya salah mengambil dahan yang rapuh. Akhirnya, ia terjatuh.
*** Bersambung ***
Sidoarjo, 5 April 2021
Penulis dengan panggilan akrab Tias ini adalah seorang ibu dari dua putri cantik, Aisyah dan Shofia. Penulis saat ini sedang belajar membuat cerita anak. Cerbung anak berupa fabel ini adalah karya pertamanya. Semoga segera bisa dibukukan. Aamiin.
Penulis bisa dihubungi melalui Facebook Isnani Tias dan Instragam @t145.7055.
Editor: Fitri Fatimah