Kisah Momon (Part 5)

Kisah Momon (Part 5)

Kisah Momon
Oleh: Isnani Tias

Part 5. Kebersamaan

Matahari mulai terbit, kicauan burung saling bersahutan. Ayah panda sedang mencari makanan di hutan bambu untuk keluarga dan tamunya, Momon. Sedangkan ibu panda membersihkan rumahnya, dan anak-anak masih tertidur, termasuk Momon.

Ibu panda sengaja tidak membangunkan Momon, karena ia kasihan melihat Momon semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak. Walaupun ia tahu kalau Momon harus melanjutkan perjalanannya lagi.

Ketika ibu panda masih membersihkan ruangan, tiba-tiba bayinya menangis dan suaranya menggema ke seluruh rumah. Mendengar itu, Momon pun terbangun.

“Maaf, ya, kamu jadi terbangun,” ucap ibu si Pano ketika melihat monyet muda itu sudah dalam posisi duduk.

“O, iya, tak apa,” jawab Momon sambil menoleh ke ibu panda.

“Kalau masih menngantuk, lanjutkan saja tidurnya.” Ibu si Pano mulai menggendong bayinya.

Momon melihat Pano yang masih terlelap di sampingnya. Ia segera beranjak dari tempat tidur secara perlahan karena tidak ingin membangunkan teman barunya.

“Apa sekarang sudah pagi, Bu?” tanya Momon yang memang masih di dalam rumah yang berbentuk menyerupai gua. Jadi, ia tidak bisa melihat sinar matahari pagi.

Tiba-tiba terdengar suara gesekan dari arah pintu, sepertinya ada yang mendorong. Momon memperhatikan siapa di balik pintu itu. Ketika Momon melihat yang datang adalah ayah si Pano yang membawa makanan cukup banyak, segera ia menghampirinya dan membantu membawakan makanan tersebut.

“Ini diletakkan di meja, ya, Bu?” tanya Momon kepada ibu Pano.

“Iya, taruh di meja. Terima kasih, sudah membantu,” ucap ibu Pano.

Momon mulai menata makanan itu satu per satu di atas meja. Ayah Pano yang ada di dekatnya, mendengar bunyi dari dalam perut Momon.

“Kamu lapar? Makan dulu saja tidak apa,” kata ayahnya Pano yang duduk di meja makan sambil tersenyum.

Momon menggeleng. Ia ingin makan bersama lagi seperti semalam. Momon sudah lama merindukan suasana makan bersama dengan keluarga.

Ibu panda bergegas membangunkan Pano yang masih tertidur pulas. Dia mendapat sebutan “Panda Pemalas” karena kerjaannya hanya makan dan tidur. Sifat Pano itu membuat orangtuanya malu. Tetangga mereka selalu mengejek Pano karena belum bisa mencarikan makanan untuk keluarganya sendiri. Selama ini yang mencari makanan adalah sang Ayah.

Setelah Pano bangun, barulah mereka sarapan pagi bersama. Perasaan Momon menjadi senang, seolah mempunyai keluarga baru yang hangat.

“Maaf, Momon harus melanjutkan perjalanan lagi,” kata Momon sesudah menghabiskan makanannya.

“Kenapa buru-buru? Tinggallah di sini sampai besok,” pinta ayah si Pano.

“Ingin Momon juga seperti itu, tapi ….” Momon menunduk dan tidak melanjutkan ucapannya.

“Pasti karena ibumu, kan?” tebak ibunya Pano.

Momon mengangguk dan minta izin meninggalkan meja makan. Ia mulai merapikan tas punggungnya dan mengecek, agar tidak ada barang yang tertinggal.

“Momon, bawalah bambu ajaib ini. Siapa tahu di perjalanan kamu membutuhkannya,” kata ibu panda sambil menyodorkan bambu berwarna keemasan yang menyerupai seruling.

“Tiuplah itu jika kamu mengalami kesulitan. Nanti akan datang keluarga panda yang akan menolong kamu,” ucap ayahnya Pano.

Momon menerima seruling itu dengan senang hati, dan tidak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada keluarga Pano.

Hari mulai menjelang siang. Momon berpamitan kepada keluarga panda yang sudah berbaik hati mengajak untuk bermalam di rumah mereka. Momon dan Pano saling berpelukan sebelum berpisah. Ayah panda mengantar Momon melewati hutan bambu yang mengarah ke utara.

Sebetulnya Momon ingin berjalan sendirian tanpa ditemani, meskipun itu sebentar. Ia tidak ingin merepotkan hewan lain. Namun, ayah si Pano tetap ingin menemani sampai ujung hutan bambu sebelah utara. Karena hutan bambu ini terkenal sebagai hutan yang membingungkan bagi yang belum pernah kemari.

Ayah panda khawatir kalau Momon nanti tersesat atau bahkan hanya berputar-putar saja tanpa tahu ujungnya ke mana. Jika itu terjadi, perjalanan Momon ke puncak Gunung Merah akan bertambah lama.

Setiap kali berpapasan dengan kawanan panda, ayah si Pano selalu menyapa mereka. Lalu mereka akan bertanya siapa yang ada di belakang ayah panda. Tanpa disuruh Momon selalu memberi salam dengan membungkukkan badannya.

Untuk menghilangkan rasa sepi selama berjalan menyusuri hutan bambu, ayah si Pano dan Momon saling mengobrol.

“Oya, Mon, kemarin saya lupa belum bertanya, kamu tinggal di hutan apa?” tanya ayah panda dengan menoleh ke arah Momon.

“Momon dari Hutan Jati Selatan, Pak,” jawab Momon dengan sopan.

“Sepertinya nama hutan itu tidak asing di telinga saya,” ucap ayah si Pano sambil mengingat-ingat nama hutan itu.

“Apa Bapak pernah ke sana?” tanya Momon dengan sopan.

Ayah panda berhasil mengingat. Ternyata tempat itu adalah rumah dari seekor monyet pengelana yang dulu pernah melintasi hutan bambu ini. Ayah si Pano menceritakan tentang teman yang suka berkelana itu.

Tiba-tiba Momon teringat ayahnya lagi. Walaupun ayah panda tidak menyebutkan nama monyet itu, Momon yakin pasti yang dimaksud adalah ayahnya. Namun, Momon belum berani bertanya karena ayah si Pano masih bercerita. Ia tidak suka memotong pembicaraan hewan lain. Apalagi kalau yang berbicara adalah hewan yang lebih tua darinya.

“Apa kamu mengenal seekor monyet yang saya ceritakan tadi?” tanya ayah panda secara tiba-tiba kepada Momon.

“Sepertinya itu ayah Momon,” jawab Momon yakin, karena di Hutan Jati Selatan, hanya sang Ayah yang suka berkelana.

Perkataan Momon itu menghentikan langkah ayah panda secara mendadak. Akibatnya, Momon menabrak tubuh besar ayah si Pano, lalu terjatuh dalam posisi duduk.

“Maaf, kamu tidak terluka?” tanya ayah Pano ketika sudah berbalik badan menghadap monyet muda yang memakai tas punggung anyaman itu.

“Tidak, Pak. Momon yang tidak melihat kalau Anda tadi berhenti,” kata Momon sambil berdiri dengan dibantu oleh ayah Pano.

Mata ayah Pano menatap sekeliling. Sebentar lagi mereka akan sampai di ujung hutan bambu sebelah utara.

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya Momon dan ayah panda tiba di ujung hutan bambu sebelah utara yang berbatasan dengan hutan rawa-rawa. Namun, sebelum mencapai ke hutan rawa-rawa, Momon harus melewati sungai dangkal yang ada di hadapannya dan beberapa pepohonan yang berdiri kukuh.

Momon memeluk tubuh ayah si Pano, tanda terima kasih telah mengantarnya sampai di tepi sungai. Ia pun merasakan seperti mempunyai seorang ayah lagi. Momon merindukan ayahnya. Entah, sang Ayah masih hidup atau sudah meninggal dalam pertualangannya.

“Hati-hati, hutan rawa-rawa sangat berbahaya. Banyak binatang buas!” pesan ayah si Pano sambil mengusap dada monyet bertopi rajut hijau itu.

“Iya, Pak. Terima kasih banyak,” jawab Momon setelah melepaskan pelukannya.

*** Bersambung ***


Sidoarjo, 3 April 2021

Penulis dengan panggilan akrab Tias ini adalah seorang ibu dari dua putri cantik, Aisyah dan Shofia. Penulis saat ini sedang belajar membuat cerita anak. Cerbung anak berupa fabel ini adalah karya pertamanya. Semoga segera bisa dibukukan. Aamiin.

Penulis bisa dihubungi melalui Facebook Isnani Tias dan Instragam @t145.7055.

Editor: Fitri Fatimah

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply