Kisah Momon
Oleh: Isnani Tias
Part 4. Pesan Ibu
“Hai …,” panggil panda itu lagi.
“Maaf, Momon tadi teringat ucapan Ayah,” jawab Momon ketika tersadar dari lamunannya.
“Oh, namamu Momon?”
“Iya. Nama Kakak siapa?” tanya Momon sambil duduk di tanah beralaskan daun-daun bambu yang berjatuhan dan telah mengering.
“Panggil saja Pano. Sepertinya usia kita sama,” jawab panda muda itu dengan tersenyum.
Momon mengangguk, seraya kedua tangannya memegang perut dan wajahnya yang terlihat pucat.
“Ini pasti gara-gara aku kebanyakan makan tadi,” kata Momon dalam hati.
Momon sepertinya lupa pesan sang Ibu, kalau ia tidak boleh telat makan maupun makan berlebihan. Jika Momon melanggar, pasti akan mengalami hal seperti saat ini.
Pano pun memandang monyet yang memakai tas punggung itu, dan bertanya, “Kamu kenapa, Mon?”
“Hmm … i-itu ….” Momon tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena ia merasa di dalam perutnya seperti ada yang menusuk-nusuk.
“Kamu sakit perut?”
“I-ya,” jawab Momon terbata-bata.
Momon melepaskan tas punggung yang masih menempel di tubuhnya, lalu meletakkannya di depan. Ia mulai membuka tas itu, sambil menahan rasa sakit.
Pano memperhatikan apa yang sedang Momon cari di dalam tas anyaman berwarna oranye itu. Momon mengeluarkan tangannya dari dalam tas, lalu jemarinya memegang kantong kecil.
“Itu apa?” tanya Pano penasaran dengan isi kantong tersebut.
“Ini kantong obat,” jawab Momon sambil mengeluarkan satu butir obat yang berwarna cokelat.
Sebelum berangkat tiga hari yang lalu, Momon dibawakan obat-obatan yang berasal dari berbagai macam tumbuhan yang sudah dikeringkan dan dibentuk bulat-bulat oleh ibunya.
“Hiii …,” kata Pano sambil menaikkan kedua bahunya, “apa tidak pahit?”
“Hanya sedikit pahit,” jawab Momon setelah menelan obatnya dengan bantuan air putih.
“Pano tidak suka minum obat,” ucap Pano sambil melanjutkan makannya yang tertunda tadi.
“Terus, ketika kamu sakit, apa tidak minum obat?” tanya Momon saat perutnya sudah mulai membaik.
Pano menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Karena ia sedang mengunyah makanan. Pano selalu ingat pesan ibunya, “Jika mulut kita masih penuh dengan makanan, maka janganlah berbicara. Nanti bisa tersedak dan akhirnya terbatuk-batuk.”
“Sembuhnya lama, dong!”
Sesudah Pano menyelesaikan makanannya, ia lalu bercerita. Ketika sakit dan disuruh minum obat, ia selalu kabur, atau kadang pura-pura tertidur. Pano menyadari, kalau perbuatannya itu selalu membuat orangtuanya khawatir akan kondisinya.
Momon pendengar yang baik. Ia tidak memotong perkataan Pano saat bercerita.
“Pano, rupanya kamu di situ.”
Suara panggilan itu membuat Momon maupun Pano terkejut.
“Ayah,” ucap Pano sambil beranjak dari tempat duduknya dan membersihkan daun-daun kering yang menempel di tubuhnya.
“Ini siapa, Pano?” tanya ayah si panda ketika melihat monyet muda itu bersama anaknya.
“Ini Momon, Yah,” kata Pano.
Momon mengulurkan tangannya kepada ayah Pano, lalu mencium tangan ayah Pano.
Hari mulai gelap, Momon diajak untuk bermalam di tempat keluarga Pano. Ia teringat pesan Kakek Kera, yaitu jika hari sudah malam, lebih baik tidak melakukan perjalanan. Karena kalau malam, jalan yang akan dilalui itu terlihat sama. Kita bisa tersesat dan banyak binatang buas yang keluar pada malam hari.
Momon mengikuti di belakang Pano, ia tidak bisa berjalan berdampingan, karena jarak antara pohon bambu satu dengan yang lain cukup rapat. Mereka terus melangkah dan baru berhenti ketika tiba di depan gundukan tanah yang besar.
“Sudah sampai!” seru Pano sambil berbalik menghadap Momon.
Pandangan Momon mengelilingi sekitar. Lalu, ia menatap Pano.
“Pasti kamu bingung, ya? Ini kita sudah sampai rumahku,” ucap Pano sambil menunjuk ke arah gundukan tanah yang sebagian besar ditumbuhi aneka jenis rumput liar.
Ayah si Pano mendorong dinding tanah itu sampai masuk ke dalam. Momon terkejut. Ternyata gundukan besar itu adalah sebuah rumah berbentuk seperti gua.
Momon pun diajak masuk oleh Pano. Mata Momon melihat seisi rumah, ia dibuat kagum oleh indahnya gua itu. Tampak berbeda dari yang terlihat di luar tadi.
“Rupanya ada tamu,” ucap seekor panda yang ukuran tubuhnya lebih besar dari Pano.
Momon mendekat dan membungkukkan badan di hadapan ibunya Pano. Ibu panda tersenyum dan menyambut monyet muda itu dengan ramah.
Momon sangat senang bisa diterima dengan hangat oleh keluarga Pano. Tiba-tiba telinga Momon mendengar tangisan anak kecil. Ternyata di balik tubuh besar itu, ada panda kecil yang menempelkan badannya pada sang Ibu.
Ibu si Pano mempersilakan Momon duduk di bebatuan. Kemudian menyiapkan makanan untuk makan bersama.
“Anggap saja rumah sendiri, ya,” kata ibu panda sambil menata makanan di atas batu besar yang atasnya datar.
Melihat keharmonisan keluarga Pano ini, Momon teringat masa kecilnya dulu. Waktu itu ia juga mempunyai keluarga lengkap, terdiri dari Ayah, Ibu, dan Momon. Namun, sekarang semua itu menjadi sebuah kenangan. Karena ayah Momon pergi berkelana untuk yang kedua kalinya dan itu pertemuan terakhirnya dengan sang Ayah. Karena tidak ada lagi kabar keberadaan sang Ayah.
“Hai, Nak. Kok, melamun? Segeralah makan, lalu pergi tidur,” ucap ibunya Panda yang membuyarkan lamunan Momon.
Momon mengangguk, lalu melepaskan tas punggungnya dan mulai menyantap makanannya secara perlahan dan tidak berlebihan. Tidak lupa, ia membaca doa sebelum makan.
Setelah semuanya selesai makan, mereka beristirahat karena hari semakin malam. Momon pun mulai memejamkan mata, tetapi ia tidak bisa tidur. Momon memikirkan kondisi sang Ibu dan merindukannya.
Momon bangun dari posisi tidurnya, berganti dengan duduk bersandar di dinding gua yang hangat.
“Ya Tuhan, tolong berikan kekuatan untuk ibuku. Agar Ibu tetap bertahan sampai Momon kembali membawakan obat untuk beliau. Ya Tuhan, tolong jagalah keselamatan Ibu untukku. Karena Momon hanya punya seorang ibu saja,” kata Momon lirih.
Tidak sengaja ibu Pano mendengar doa Momon saat ia sedang menyusui bayinya.
***Bersambung***
Sidoarjo, 28 Maret 2021
Penulis dengan panggilan akrab Tias ini adalah seorang ibu dari dua putri cantik, Aisyah dan Shofia. Penulis saat ini sedang belajar membuat cerita anak. Cerbung anak berupa fabel ini adalah karya pertamanya. Semoga segera bisa dibukukan. Aamiin.
Penulis bisa dihubungi melalui Facebook Isnani Tias dan Instragam @t145.7055.
Editor: Fitri Fatimah