Kisah Kera dan IKan

Kisah Kera dan IKan

Kisah Kera  dan Ikan

Pagi yang cerah ketika Kera duduk di tepi sungai. Matahari belum terlalu tinggi. Rumput-rumput masih basah karena embun belum kering. Saat ia hendak minum, ia melihat wajahnya di dalam air.

“Hai, itu wajahku?” katanya heran. Belum pernah ia melihat wajahnya sejelas itu. Biasanya tampak kabur dan tidak jelas. Beberapa ekor ikan mendekat dan mengucapkan salam kepada Kera.  Mulut mereka terbuka dan menutup saat mengambil udara.

“Selamat pagi, Kera!” seru mereka bersahutan.  Beberapa  ekor di antaranya tampak menggigit kedua telinga Kera. Beberapa ekor yang lain menggigit leher dan tangan Kera yang terjulur.

“Hai, apa yang kalian lakukan! Kalian telah menggigitku!” teriak Kera. Ia melihat Nila dan Mujair menggigit telinganya.

“Kami tidak menggigitmu,” teriak Gurami, ikan yang paling besar di sungai itu.

Kera tak percaya. Ia berlari ke dalam hutan sambil terus berteriak kesakitan.

“Ada apa Kera?” tanya Bibi Kambing saat mereka bertemu. Kera hampir saja menubruknya!

“Aduh! Tolong aku, Bibi … mereka menggigit wajah dan telingaku. Juga lengan dan kakiku!” teriak Kera sambil berlari.

Bibi Kambing memandang Kera dengan heran. Kera terus berlari ke dalam hutan sambil berteriak kesakitan.

Beberapa ekor binatang bertemu dengannya, menatap heran pada tingkah Kera yang aneh. Akhirnya karena tergesa-gesa, Kera tersandung dan jatuh terjerembap di tanah.

“Ada apa Kera?” tanya Kancil yang sedang makan rumput di bawah pohon angsana.

“Mereka memakanku, Cil! Lihatlah! Ikan-ikan itu telah menggigitku!” teriak Kera berulang-ulang sambil memegangi telinga, wajah, dan lengannya.

“Mereka siapa, maksudmu?” tanya Kancil sambil mengamati tubuh Kera.

“Mereka …,”  suara Kera terhenti. Napasnya terngah-engah seolah mau putus.

“Mereka siapa?” tanya Kancil lagi.

“Mujair dan Nila yang tinggal di sungai sana … juga Gurami,”  jawab Kera sambil menunjuk ke arah sungai.

“Memangnya kau merasa sakit?” tanya Kancil menahan tawa. Kera sangat marah karena Kancil menertawakannya.

“Mengapa kau menertawakan aku, Cil?  Apa kau tidak melihat, seluruh tubuhku yang terluka karena gigitan mereka?” tanya Kera marah.

“Kau baik-baik saja, Kawan! Tak ada yang terluka. Mereka tidak menggigitmu,” teriak Kancil dengan suara Keras. Ia sedikit membentak Kera agar menyadari kekeliruannya. Beberapa binatang lain turut berkerumun.

“Mereka tidak mungkin bisa memakanmu, Kera. Mujair dan Nila tinggal di dalam sungai, mereka tidak mungkin bisa memakanmu!” kata Paman Kerbau mencoba menasihati.

“Iya, Kera … tidak ada darah yang keluar, kok. Kau baik baik saja,” kata Dara setelah selesai memeriksa tubuh Kera.

Namun Kera tetap tidak percaya. Ia yakin mereka telah menggigit tubuhnya. Dalam hati Kera berjanji, ia tak akan minum di sungai itu lagi. Ia tidak mau Mujair, Nila, dan Gurami memakan habis seluruh tubuhnya.

Kerumunan binatang itu kemudian bubar. Beberapa binatang menggerutu dan mencibir kelakuan Kera yang kadang berlebihan.

***

Hari itu hujan deras turun di hutan. Air sungai berwarna kuning-coklat karena bercampur tanah. Binatang-binatang yang biasa mandi di sungai hari itu tidak pergi ke sungai. Mereka hanya berdiri di pinggir sungai, mandi dengan air hujan yang mengguyur mereka.

Hanya Kera yang berdiri di tepi sungai. Ha … kini ia  bisa minum sepuasnya. Kera tak melihat Nila, Mujair atau Gurami di tempat itu.

“Hai Kera! Jangan di situ, berbahaya!” teriak Kakek Gajah sambil mendekat. Tapi Kera tak peduli. Ia bahkan meloncat ke batu yang ada di tengah sungai. Beberapa binatang lain mendekat untuk mengingatkan Kera, namun Kera tak peduli. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah hilir disusul aliran air deras di sungai itu.

Beberapa binatang yang di tepi sungai berteriak ngeri. Mereka mambawa anak-anaknya masuk ke dalam hutan. Hanya Kakek Gajah yang masih berdiri tegar di tepi sungai. Ia melihat Kera yang timbul tenggelam di antara air dan bebatuan di sungai.

“Tangkap kayu ini Kera! Lalu berpeganglah yang kuat!” teriak Kakek Gajah pada Kera. Ia  melemparkan sebatang kayu yang dicabut dengan belalainya.

Dengan susah payah akhirnya Kera dapat menangkap batang kayu itu. Tubuhnya tersangkut di rantingnya yang daunnya rimbun.

“Berpeganglah!” teriak Kakek Gajah sekali lagi. Ia berusaha untuk menarik batang itu kembali ke tepi.

“Lain kali dengarkan nasihatku!” dengus Kakek Gajah marah.

“Kau bisa hanyut dan tubuhmu bisa hancur menghantam batu!” kata Kakek Gajah meninggalkannya.

Kera diam tak menjawab. Matanya menatap air sungai yang mengalir kecoklatan. Hujan sudah reda namun air sungai masih tinggi.

Di depannya ada kubangan kecil yang  terisi penuh air. Beberapa ekor ikan berenang-renang di sana.

“Kera, tolong aku! Kembalikan aku ke sungai!” teriak Nila. Mulutnya sebentar-sebentar menganga.

“Aku juga, Kera! Tolong aku!” teriak Mujair. Mulutnya pun membuka dan menutup beraturan.

Sejenak Kera berpikir, bukankah mereka telah menggigit tubuhnya tempo hari? Untuk apa ia harus menolongnya?

“Tolong kami, Kera! Kembalikan ke sungai! Sebentar lagi air di sini akan mengering, kami bisa mati!” teriak Gurami.

Kera melangkah mendekat. Ia menatap ikan-ikan yang mulai kehabisan air. Matanya sesekali menatap air sungai yang masih kecoklatan.

“Di sana sangat bahaya! Aku hampir mati karena hanyut di sana! Lebih baik kau tinggal di sini!” kata Kera sambil melangkah menjauh. “Lagi pula kalian telah menggigitku tempo hari,” kata Kera dari kejauhan.

Ikan-ikan itu menangis sedih. Beberapa ikan kecil menjerit karena air yang terus surut. Beberapa ikan yang lebih besar meloncat menuju sungai, namun loncatan mereka terlalu pendek, hingga hanya jatuh di rerumputan. Tinggal Nila, Mujair, Gurami, dan ikan-ikan kecil yang tersisa.

“Hai, kalian terlempar ke sini, ya?” teriak Kancil yang sore itu mencari makan di tepi sungai.

“Iya, Kancil, tolonglah kami! Sebentar  lagi kubangan ini akan kering! Kami bisa mati!” teriak Gurami yang paling besar. Tubuhnya kini terbaring tak berdaya. Demikian juga Nila dan Mujair, mereka sudah lemah tak berdya. Hanya tersisa sedikit air.

“Tapi aku tak bisa menolong kalian,” gumam Kancil dengan sedih. Kancil berpikir sejenak.

“Hanya Kera yang bisa membawa kalian ke sungai,” kata Kancil akhirnya.

“Tapi Kera tak mau menolong kami,” kata Gurami gusar.

“Iya, tadi dia sudah ke sini,” sambung Nila. Suaranya sudah semakin lemah. Mujair tak kuat lagi bercakap-cakap, bahkan untuk sekadar membuka matanya saja ia sudah tak mampu. Tubuhnya tergeletak tak berdaya.

Kancil segera berteriak memanggil Kera yang rumahnya dekat mereka. Ia tinggal di pohon beringin yang ada di tepi sungai. “Tolonglah mereka, Kera!” ucap Kancil sambil mendekat.

Kera menggeleng, “Aku tidak mau, kelak mereka akan menggigitku lagi saat aku minum di sungai,” kata Kera hendak pergi.

“Kau salah paham, Kera. Mereka tidak menggigitmu. Yang  ada di dalam air itu bukan kamu, tapi hanya bayanganmu,” Kancil mencoba menjelaskan kepada Kera.

“Benarkah?” tanya Kera masih belum percaya.

“Benar, Kera! Kami tidak makan daging atau bulu Kera! Kami makan rumput dan tumbuhan air,” kata Gurami menjelaskan.

“Kamu kan tidak terluka, Kera?” sambung Nila.

Kera tahu, ia sama sekali tidak terluka hari itu.

“Baiklah, aku akan membawa kalian kembali ke sungai,” kata Kera. Akhirnya ia setuju. Kancil memberi petunjuk cara membawa ikan-ikan itu ke sungai.

Demikianlah, akhirnya salah paham Kera dan ikan selesai. Mereka berteman akrab. Setiap hari mereka bercanda saat Kera minum air di sungai.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita