Kisah Ini Tak Berakhir dengan Baik

Kisah Ini Tak Berakhir dengan Baik

Kisah Ini Tak Berakhir dengan Baik

Oleh : Vianda Alshafaq

 

Malam ini tak biasa, tentu saja. Kesunyiannya menggonggong seperti anjing di luar rumah, lalu pelan-pelan menelusupkan kenangan-kenangan yang serupa duri ke dalam darahku. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengamati dinding dengan pigura-pigura yang bertempelan di sana. Apa kau masih mencintaiku? Kataku membatin, kemudian kembali mengamati potret masa lalu yang seharusnya sudah kutanggalkan agar tak memulangkan kenangan. Tapi, Alana, kenangan itu adalah rumah kau dan aku. Kenangan itu serupa wahana bermain yang kerap kita datangi ketika akhir pekan sudah datang. Begitu bising. Tetapi kita tetap menyukainya.

Aku pernah mengatakan kepadamu bahwa adakalanya tak berbicara adalah pembicaraan yang paling tepat. Seperti malam itu, aku dan kau tak berbicara. Kita hanya duduk di bangku paling sudut di kafe serba cokelat itu. Kita tak memesan apa pun selain dua cangkir mochaccino. Jujur saja, aku tak suka suasana itu. Seandainya hari itu aku memilih tak ingin bertemu, mungkin semuanya akan lebih baik.

Aku tak suka melihat pipimu yang basah dan pandanganmu yang menunduk menatap lantai. Ponsel putih yang bergetar di atas meja kau biarkan begitu saja. Aku tak mau melirik sekadar melihat nama sang penelepon. Aku hanya melihatmu, yang diam seribu bahasa, dan sesekali terisak. Benarkah kali ini tak berbicara adalah pembicaraan untuk kita, Alana? Hanya itu yang kupikirkan ketika menatapmu yang tetap menangis.

Aku menenggak mochaccino yang sudah dingin itu hingga separuh. Setelah itu, aku menatapmu sekali lagi sebelum aku benar-benar berjalan keluar menyusul hujan yang tak terlalu deras.

“Selamat tinggal, Alana.”

Aku menembus hujan itu dengan memayungi kepalaku menggunakan jaket yang tadi kupakai. Mataku mengabur. Mungkin sebentar lagi hujan itu bakal pindah ke mataku—membasahi pipi yang sudah sejak tadi terasa kaku.

***

Apa yang bisa kulakukan agar kita bisa memperbaiki segalanya, Alana? Aku membenci diriku sendiri karena aku begitu naif dan selalu merasa bahwa kau akan selalu mencintaiku—terlepas dari apa pun yang aku tetapkan untukmu. Aku terlalu terjebak dalam pikiranku yang sempit, sesempit kamar ini yang hanya memberikan foto-fotomu untuk kutatap. Aku tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang ada di balik pintu itu. Entah ia akan lebih baik dan indah daripada dinding-dinding kamar ini atau tidak, aku tidak peduli. Sama seperti pikiranku, Alana. Aku tidak pernah berpikir bahwa mungkin saja kau menemukan sesuatu yang lebih indah di luar sana. Aku terlalu berpikir sempit dan bertahan pada kepercayaanku sendiri: bahwa cinta itu buta dan ia hanya akan membuatmu memandang pada satu tempat.

***

Malam itu—sebelum aku menemuimu di kafe—aku memang sudah merasa tidak enak. Entah bagaimana, tapi potongan-potongan ingatan tentang kau beterbangan di kepalaku seperti kapas-kapas yang diembus angin. Sebenarnya, Alana, sebelum kita berjanji bertemu malam itu, aku sudah sering melihatmu bersama pria berambut cepak itu. Di taman kota di hari Senin, kau berjalan bersama lelaki itu dengan sebuah es krim di tanganmu dan tangan satunya bergandengan dengan tangan laki-laki itu. Di lain waktu aku melihatmu bersamanya di toko buku, mengambil buku Laut Bercerita dengan sampul yang sangat indah itu. Di waktu yang lain aku juga melihatmu mengecup pria itu setelah ia menurunkanmu dari motor matic-nya di depan rumahmu.

Ya, Alana, aku sudah mengikutimu selama beberapa hari. Aku persis seperti penguntit yang sangat penasaran dengan apa yang kau lakukan, di mana kau berada, bagaimana perasaanmu, dan bagaimana kau mengekspresikan perasaan itu. Tapi, Alana, aku menyesal karena melakukan hal itu. Sekarang aku berharap aku tak pernah melakukannya dan tak pernah mengetahui apa yang terjadi di belakangku. Hatiku sangat perih, rasanya seperti ditusuk jarum yang kemarin aku gunakan untuk menjahit namamu di sapu tangan putih yang kau hadiahkan untukku di hari jadi kita yang kedua. Dadaku sangat sesak, bahkan rasanya jauh lebih buruk dibandingkan ketika asmaku kumat. Kepalaku digerogoti oleh pertanyaan-pertanyaan kenapa yang tak bisa kujawab: kenapa kau melakukannya, kenapa kau menyembunyikannya, dan kenapa kau masih mempertahankan hubungan kita?

***

Setelah aku puas meratapi kebodohanku sendiri, aku menguatkan diri untuk memenuhi janjiku: bahwa kita akan bertemu malam ini. Dengan setelan kemeja biru tua dan celana jeans, aku berangkat dengan hati yang masih berdarah-darah. Untunglah kafe itu cukup jauh dari tempat tinggalku sehingga aku masih mempunyai waktu untuk menenangkan diriku sendiri.

Selama perjalanan, aku sangat menikmati embusan angin yang dingin tetapi mampu mengurangi rasa sakit di dalam hatiku. Lampu-lampu kendaraan yang malam itu meramaikan jalan, membantuku berpikir lebih jernih—aku yakin kau tahu kenapa lampu itu membuatku lebih tenang, ‘kan? Dan, ya, saat aku sampai dan memarkirkan motorku di depan kafe, aku rasa aku sudah tahu apa yang harus kulakukan saat melihatmu nanti.

Aku memasuki kafe itu sesantai yang aku bisa. Aku memindai seluruh sudut dan aku menemukanmu di meja paling sudut di sebelah kanan, di dekat jendela yang langsung mengarah ke jalanan.  Kau sudah lama datang? Sudah memesan? Itu pertanyaan paling basi yang aku tanyakan padamu. Sungguh, aku tidak tahu harus mengatakan apa, Alana, selain dua hal basi itu.

Setengah jam pertama, aku hanya diam, selain menanggapimu dengan anggukan kepala dan deheman. Hanya kau yang berbicara, tentang apa saja—tentu saja bukan hal yang penting. Sepertinya kau merasa jenuh dengan tanggapan yang aku berikan, sebab tak lama kemudian kau menjadi cemberut dan menatapku dalam-dalam, lalu setelahnya bertanya, “Ada apa? Kenapa kau tidak menanggapiku?”

Jangan cemberut begitu, aku lebih suka melihatmu tertawa dan bahagia. Hanya itu yang aku ucapkan dan kemudian membalas tatapanmu. Aku tidak melihat apa-apa di matamu—ya, memang tidak ada yang bisa kutafsirkan dari sorot matamu itu.

“Sebenarnya kau kenapa? Jangan diam begini. Aku tidak mengerti.”

Kau mengatakan itu dengan tenang, sementara aku berusaha untuk tenang.

“Berbahagialah seperti bagaimana kau berbahagia akhir-akhir ini. Tersenyumlah setulus senyummu akhir-akhir ini. Aku belum pernah melihatmu sebahagia itu. Aku suka melihatmu begitu.”

“Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti.”

“Suatu hari kau akan mengerti, Alana.”

Untuk sesaat aku diam. Aku hanya mengamatimu dan membiarkan keningmu bergaris-garis seperti sedang memikirkan sesuatu yang benar-benar rumit. Aku akan pergi sangat jauh. Kau tidak perlu mencari, menghubungi, atau menanyakan kepada siapa pun tentang diriku. Kau juga tidak perlu mendatangi tempat tinggalku. Kau hanya perlu bahagia seperti bagaimana kau bahagia akhir-akhir ini. Kau harus melakukannya untukku. Kau bisa, ‘kan? Hanya itu yang bisa kuucapkan, dan kau terpaku di tempatmu. Kau hanya diam. Kau mulai menununduk, entah melihat lantai atau menyembunyikan air mata itu dariku.

Malam itu adalah malam terakhir aku akan melihatmu. Dan, betapa bodohnya aku karena yang aku lihat adalah air mata, bukan sebuah senyuman. Tapi, kenapa kau menangis malam itu, Alana? Bukankah seharusnya kau bahagia sebab kau bisa bersama laki-laki itu tanpa harus menyembunyikannya dariku?

Sudahlah, aku tidak perlu menanyakan apa-apa lagi. Sebab, foto-foto itu tidak akan memberikanku jawaban apa-apa.

Aku berjalan ke lemari es, mengambil sebotol kopi instan di sana. Kemudian menenggaknya dan membiarkan pikiranku berkelana ke mana-mana. (*)

 

Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply