Kisah Gadis Penghuni Bilik Bambu
Oleh: Lilik Eka
Pagi perlahan merangkak menuju siang ketika ayam-ayam sibuk memanggil tuannya untuk meminta jatah makan yang tak kunjung mereka dapat. Sementara di sudut lain, perempuan berambut panjang dengan baju lusuh mengintip dari pintu yang terbuat dari bambu. Perempuan itu telah menghabiskan setengah dari umurnya terpasung di dalam bilik kecil yang berada di belakang rumah induk. Di kakinya melingkar rantai yang mengikatnya pada tiang bilik.
***
Sesekali senyum kambing menghiasi wajah datarnya. Perempuan itu biasa dipanggil Rof, Rofika yang artinya welas asih. Sesuai namanya, wajah Rof terlihat sejuk dan memancarkan ketenangan. Rof kecil menjadi yatim piatu setelah orang tuanya menjadi korban tabrak lari saat dia berumur empat tahun. Berkat asuhan sang nenek, dia bisa tumbuh baik dan sangat pintar. Dia tumbuh menjadi gadis remaja yang memesona.
Wajah manis dengan mata indah, bulu mata lebat, hidung mancung, bibir tipis menawan, ditambah rambut indah hitam panjang dan bergelombang. Suaranya lembut, selembut tingkah lakunya, berjalan dengan anggun setiap pagi untuk berangkat ke sekolah. Tas ransel di punggungnya sebagian tertutup oleh rambut yang terurai.
Kini Rof telah duduk di bangku SMP meskipun dalam keterbatasan biaya, dia tetap bersemangat menuntut ilmu dan tidak pernah malu dengan keadaannya. Dengan langkah tergesa, pagi itu, Rof hendak berangkat ke sekolah.
“Berangkat sekolah, Nak?” sapa seorang Nenek dari halaman rumah berpagar bambu.
“Iya, Nek.” Rof menjawab sapaan Nenek itu sambil berusaha menarik rambutnya yang terlilit tas. “Mari, Nek, saya berangkat dulu. Takut ketinggalan angkot,” lanjutnya.
“Ikat rambutmu itu, Rof! Kalau panjang jangan diurai! Kelihatan awut-awutan,” ucap Nenek itu memberi saran.
“Iya, Nek. Besok aku iket,” jawab Rof asal sambil sedikit berlari menuju jalan raya.
Pagi itu ternyata adalah terakhir Rof berangkat ke sekolah. Bahkan hari itu, Rof tidak sampai di sekolah dan juga tidak pulang ke rumah di jam biasanya dia pulang. Dibantu oleh warga, paman Rof berusaha mencarinya sementara sang nenek tak henti-hentinya menangisi ketidakpulangan cucu perempuannya itu. Segala upaya telah dilakukan warga untuk mencari keberadaan Rofika dan mereka juga telah melapor kepada aparat kepolisian, namun sampai hari tiga hari kemudian, upaya itu belum membuahkan hasil.
Pada akhirnya hari di hari keempat, gadis malang itu ditemukan oleh pencari rumput di daerah perbatasan dengan kondisi yang memprihatinkan. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Di dalam gubuk tempat Rof ditemukan, terdapat kaleng bekas minuman keras dan kertas, juga plastik bekas bungkus makanan.
Beberapa hari dirawat di rumah sakit, Rof terlihat membaik. Akan tetapi, hanya raga Rof yang telah pulih sedangkan jiwanya masih terlihat terguncang. Atas saran dokter, Rof akhirnya di rawat di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman. Perawatan tidak bisa dilanjutkan ketika sang nenek tidak bisa membiayai perawatan tersebut. Akhirnya Rof dirawat semampunya di rumah.
Perawatan yang kurang memadai membuat kondisi Rof semakin buruk. Dia sering berteriak, menangis, menggigil, ketakutan, marah, juga terlihat sedih. Terkadang tatapan kosong diperlihatkan, entah apa yang dia pikirkan. Mungkin dia mengingat peristiwa kelam yang menimpanya.
Sering bermunculan pertanyaan seputar kejadian yang menimpanya. Apakah mungkin dia mengenal orang yang telah menyakitinya atau dia sama sekali tidak mengenalnya. Pertanyaan-Pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab. Hingga sekarang tak sepatah kata pun keluar dari bibir tipisnya. Peristiwa itu masih menjadi misteri.
Tanpa terasa, delapan tahun berlalu, tetapi belum juga terungkap. Pihak kepolisian juga tidak berhasil mengungkap peristiwa yang menimpa Rof dan pelakunya pun tak kunjung ditangkap. Kala itu dokter menemukan banyak luka bekas siksaan di tubuh gadis itu, tetapi tidak diperoleh jejak pelaku yang tertinggal.
Kemalangan gadis itu bertambah ketika Nenek yang merawatnya dari kecil dipanggil Yang Mahakuasa. Rof yang malang kini dalam asuhan sang paman dari pihak ibunya, karena perilakunya yang kemudian sering mengganggu, terpaksa dia di tempatkan di bilik bambu di belakang rumah induk.
Rof kini menghabiskan waktu dengan berdiam diri di sana. Di bilik bambu yang dibuat sang paman itulah kini dia tinggal. Di sanalah pula Rof mengubur rahasia di balik peristiwa yang menimpanya dan tak seorang pun bisa menyingkapnya.
Balikpapan, 15 Januari 2022
Lilik Eka. Seorang ibu yang ingin memberi contoh kepada anaknya bahwa belajar itu tidak mengenal usia.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay