Kisah Dua Orang Dewasa
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Aku memandang wajahnya dengan sangat saksama, lalu mengecup keningnya lembut. Oh betapa cantiknya istriku, meskipun ia sedang tertidur lelap tanpa bersolek. Dia yang telah memberikan dua orang buah hati yang begitu lucu, yang telah memberikan aku perhatian dengan sangat tulus selama ini.
Hari ini aku telah mengkhianati sebuah kesetiaan.
***
INGATANKU jadi melayang pada sore tadi, di sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Aku bertemu dengan Susan. Kami memang telah berjanji dan sengaja untuk bertemu setelah sekian lama tak pernah saling jumpa. Susan adalah mantan kekasihku semasa kuliah dulu.
Beberapa waktu yang lalu, ia berhasil menemukan jejak persembunyianku, setelah melacaknya lewat sebuah laman pertemanan. Dan ia cukup gencar menghubungiku lewat belasan pesan di Messenger yang tak pernah aku hiraukan, hingga pada kesempatan yang ke sekian, akhirnya jari-jemariku tergoda juga membalas pesan-pesan darinya.
Maka, cerita ini bermula.
Di suatu sore selepas pulang kerja. Aku melihat kembali satu sosok perempuan yang pernah sangat dekat denganku. Wajahnya sungguh tak berbeda jauh dengan ia yang pernah kukenal dahulu. The amazing Susan. Ia tampak sedang tenggelam dalam kesibukannya memainkan gawai sambil menyeruput minuman yang ada di atas meja. Sesaat aku berhenti sebentar dan memandang dari kejauhan. Lebih tepatnya, berhenti untuk memastikan keraguan yang masih berkecamuk dalam hati. Apakah benar keputusanku untuk menemuinya? Namun nyatanya ….
“Hai, lama menunggu, ya?” Aku menyapanya dengan sedikit gugup.
“Jay, oh Tuhan, kamukah itu?” Ia berdiri dan langsung memelukku erat dengan senyumnya yang menawan.
“Ini benar kamu?” Sekali lagi ia bertanya sambil mengucek-ngucek matanya, tanda tak percaya.
“Ya, ini aku, Jay Sumadiningrat.” Aku langsung merasa canggung sebab Susan terus menggenggam tanganku. Ia tidak banyak berubah, masih seperti dulu, saat kali pertama aku mengenalnya. Ceria, mudah akrab dan sangat periang. Perempuan yang dicintai oleh semua orang. Lovely Susan.
“I Miss you so much. I’ve been waiting for so long,” rajuknya sedih dengan mata berkaca-kaca.
“Aku juga.”
Astaga … meluncur juga kata-kata pembukaan yang tak kuinginkan. Mulutku terbuka secara otomatis tanpa dikehendaki. Lidah memang tidak bertulang, tidak pernah mau sejalan dengan akal dan pikiran.
“Aku pesankan kopi ya, cappucinno. Kamu mau. kan? Aku masih ingat dengan kesukaanmu dulu, kok!” Susan dengan ramahnya menawarkan terlebih dahulu.
Tak butuh waktu lama, kami segera akrab dan tenggelam dalam percakapan-percakapan yang hangat. Apalagi suasana kedai kopi yang romantis semakin mendorong kedekatan kami. Tak begitu banyak pengunjung yang datang saat itu. Ia bercerita tentang apa saja. Teman-teman yang sudah menikah, beberapa teman yang masih sendiri, karirnya, termasuk kenangan kami dahulu. Juga satu cerita tentang aku dan ayahnya.
“Bagaimana kabar ayahmu, San? Apakah ia baik-baik saja, sampaikan maafku.”
“Ayah, ‘sudah enggak ada’ sejak lima tahun yang lalu. Sekarang kamu bebas bertemu denganku,” jelasnya dengan satu senyum yang mengandung banyak makna. Sesuatu yang disembunyikan di balik matanya. Entahlah, aku hanya menebak saja.
“Aku turut berduka-cita, San. Maaf, aku sungguh tidak tahu.” Ada penyesalan yang begitu mendalam tersimpan di hatiku. Bagaimanapun juga aku punya rasa bersalah kepada ayahnya.
“Ayah terkena stroke, dan meninggal tiga bulan sesudahnya,” ia menjawab dengan nada suara yang bergetar.
Aku terkenang, sekali waktu pada saat ayahnya pernah menamparku dengan kuat dan meninggalkan satu bekas lebam di pipi. Ia menangkap basah kami yang sedang berpelukan dan berciuman di satu sudut tersembunyi di samping rumahnya.
Oh, indah nian sore itu. Andai saja kami tak tertangkap basah. Mungkin kami akan menjadi dua sejoli paling berbahagia saat ini.
Kami masih asyik mengobrol dan saling menanyakan kesibukan masing-masing. Pada akhirnya ia juga bertanya, mengapa aku bersembunyi darinya. Dan aku hanya tersenyum. Tidak berkata atau menjelaskan sesuatu. Hanya tanganku yang menjawab dengan membalas genggaman tangannya lebih erat.
Betapa menyenangkannya hari ini jika kami dapat memutar mundur waktu. Sejenak aku lupa semua masalah dan tenggelam dalam tatapan matanya yang bening. Dan sejenak aku juga lupa, bahwa aku dan ia … kini tidak sendiri lagi.
***
Waktu merayap dengan begitu cepatnya, seolah tak menghiraukan dua orang yang sedang berbahagia; tak peduli pada dua orang yang sedang terjebak romansa; dua orang yang masih menyimpan lekat-lekat perasaan masing-masing. Sebuah waktu untuk dikenang. Sampai aku tak sengaja melihat arloji di tanganku.
“San, kita harus pulang, deh. Sudah pukul sembilan malam. Ada yang sedang menunggu kita di rumah, lho,” aku mengingatkan.
“Aku enggak ada yang nungguin, tuh. Suamiku sedang keluar kota. Tapi kalau kamu mau pulang, tolong antar aku ke parkiran mobil ya!”
Hem, ketahuan banget kalau Susan sebenarnya tidak ingin pulang dan lebih memilih melanjutkan perbincangan kami di tempat lain.
“Baiklah, aku antar kamu dulu.”
Dia menggenggam tanganku dan aku malah membalas dengan menggamit pinggangnya. Kami seperti sepasang remaja yang sedang dilanda kasmaran dan disatukan oleh satu panah asmara. Sejujurnya aku tahu aku salah, tetapi sayangnya aku juga sungguh menikmati.
***
Suasana lantai parkir begitu sepi, entah memang sedang tanggal tua, atau memang sudah agak malam. Kami akhirnya tiba di sebuah pojok, di mana Susan menaruh mobilnya.
Tut! tut! Mobil berbunyi.
“Aku pulang, ya, hati-hati di jalan,” aku pamit dan ingin segera melepaskan genggaman jemarinya. Tetapi, ternyata tak semudah itu. Sepinya suasana menjadi penyebabnya.
Ia membuka pintu mobilnya, masuk ke dalam dan kemudian duduk tanpa mengucapkan sepatah kata. Hanya diam membisu dan memandang ke arah depan. Ada mendung yang mulai menyelimuti kedua bola matanya. Aku yakin sebentar lagi air matanya akan tumpah.
Didorong rasa tidak enak hati, akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.
“Ada apa?” Aku berusaha mencari tahu kegelisahannya.
Susan hanya menatap mataku tanpa berkedip. Sepasang mata yang dulu selalu memesonaku dengan sihir ajaibnya, dan pesona itu kembali muncul bahkan berpendar lebih kuat, menggedor–gedor jantungku hingga berdegup lebih cepat. Aku menarik napas, mencoba mengusir perasaan yang tak seharusnya ada. Tiba-tiba ia memelukku dengan sangat ketat. Seakan-akan takdir yang kejam akan memisahkan kami berdua kembali. Dan aku tak kuasa menghindari, apalagi menolak pelukannya.
Aku adalah lelaki yang benar-benar seorang lelaki. Aku tahu mengapa Susan menangis. Pengalaman telah mengajariku dengan sebaik-baiknya.
Bibirku mulai menyentuh bibirnya. Mulanya perlahan, hanya sedikit sentuhan, lalu sentuhan bibir ini berubah menjadi sebuah ciuman yang begitu rapat dan menggelora. Ciuman yang dibanjiri kerinduan yang meluap-luap. Kemudian ciuman itu berubah wujud, menjadi ciumanku yang nakal dan penuh nafsu, dan akhirnya tanganku pun segera mencari kesempatan. Tenggelam dalam kesibukan yang lain. Susan mulai gelisah, tetapi bukan gelisah biasa. Deru napasnya semakin memburu dan cepat. Aku tahu ia menginginkan sesuatu.
Dan ketika ia hendak membuka kancing kemejaku, aku beranjak sadar. Susan yang sekarang sudah bukan milikku. Ada lelaki lain yang mungkin sangat mencintainya, atau mungkin juga tidak. Hatiku mulai menggoda kembali ….
“San, sudah dulu ya, Sayang. Besok-besok kita bisa ketemuan lagi. Aku janji ….” Sedikit bujukan manis dariku mampu membuat ia melepaskan pelukannya. Ya, aku terpaksa berbohong. Aku tidak ingin bermain api terlalu dalam.
“Aku masih kangen kamu, Jay. Aku enggak mau kehilangan kamu lagi,” begitu lirih suaranya. Aku hanya mampu memandang sambil merutuki diri telah ikut andil memanfaatkan kesempatan.
“Aku ingin waktu berhenti berputar, Jay! Biar hari ini berjalan begitu lama untuk dinikmati. Aku telah mencari dan merindukanmu sekian lama,” Susan berkata dengan lirih.
“Susan … nikmati saja waktu yang bisa kita nikmati. Selebihnya kita serahkan kepada nasib yang membawanya. Mungkin kita hanya dua anak manusia yang kebetulan sedang tidak beruntung karena cinta tidak pernah menyatukan kita berdua. Aku juga tahu, bahwa aku dan kamu masih menyimpan rasa cinta. Tetapi aku sangat menyadari, San. Masih ada cinta yang lain, cinta pada pasangan kita yang sedang menunggu di rumah.”
Sekali lagi kami berpelukan, tetapi kali ini tidak diakhiri dengan kecupan yang dalam. Cinta ini sudah terlalu lama bersemayam dan bersembunyi di lubuk hati kami. Kami hanya tinggal sesekali mengingatinya. Cinta termanis yang pernah kami rasakan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata