Kisah Dodi
Oleh: Whed
Dodi anak yang tak pernah menuruti ucapan orang tuanya. Saat sang ayah melarang mengambil barang yang bukan miliknya, ia melanggar. Dodi mengambil sebuah kotak kayu yang ia temukan di bawah pohon.
Dodi memang tinggal di sebuah rumah yang berada di dekat hutan dan sungai. Jadi, sepulang sekolah ia selalu bermain di hutan.
“Dodi, apa yang kau bawa?” tanya sang ayah.
“Ini sekarang adalah milikku. Dodi menemukannya di bawah pohon.” Dodi memegang kotak kayu itu erat.
“Kembalikan ke tempat semula, Dodi!”
“Tak mau, Ayah. Ini milik Dodi.”
Dodi lalu masuk ke kamar. Ia pun menyimpan kotak tersebut di kolong tempat tidurnya, berharap ayah dan ibunya tak bisa menemukannya.
Hari-hari Dodi selanjutnya berjalan terasa membosankan, tak ada yang menarik, entah di sekolah maupun di tempat bermain. Saat di sekolah, ia sangat bosan dengan pelajaran. Lalu, di tempatnya bermain, ia bosan karena tak boleh bermain di dekat sungai. Saat ini musim penghujan. Arus sungai cukup deras. Ibu Dodi khawatir anaknya hanyut saat bermain di sana.
Ibu Dodi pun menyuruhnya untuk membantu pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, menyapu, dan belajar. Namun, Dodi tak mau melakukannya.
“Dodi, kan, anak laki-laki.” Ia beralasan.
Lalu, suatu siang yang mendung, Dodi duduk di sebuah kursi. Ia tiba-tiba teringat kotak yang pernah ia temukan. Ia pun mengambil kotak tersebut dan membukanya.
Kotak terbuka, muncullah makhluk yang disebut peri dari dalam kotak. Dodi terperangah, menyaksikan kemunculan sang peri.
Lalu, peri itu memberikan sebuah gulungan benang dan berkata kepada Dodi, “Jika kamu menarik benang itu, waktu akan maju.” Sang peri masih menyodorkan gulungan benang tersebut.
Dodi pun meraihnya meskipun raut wajahnya masih menunjukkan keraguan. Ia memegang gulungan benang yang ia sendiri tak tahu pasti fungsinya.
Sang peri pun menghilang dari dalam kotak.
*
Beberapa hari berlalu. Dodi masih suka membantah perintah kedua orang tuanya.
Hingga pada suatu hari Dodi lupa tidak mengerjakan PR. Ia pun mendapat hukuman dari guru. Ia diperintahkan untuk membersihkan lapangan sekolah yang luas dan setelah itu berdiri di tengahnya. Panas matahari membuatnya lelah. Ia ingin sekali hukuman itu segera berakhir. Akhirnya, Dodi mengambil benang dari saku seragamnya, lalu menariknya. Dalam sekejap, Dodi mendapati dirinya berada di rumah. Ia kaget. Akan tetapi, ia kembali teringat ucapan sang peri.
“Ternyata benar kata sang peri. Waktu sudah maju.” Wajah Dodi dengan wajah tampak senang karena ia terbebas dari hukuman. Dalam hati, Dodi bersyukur memiliki benangnya. Ia akan selalu membawa benang itu ke mana pun. Dengan begitu, Dodi bisa tertolong dari keadaan yang baginya sangat membosankan.
Tak hanya hari itu. Dodi selalu menarik benangnya saat ia sedang mendapati kesulitan. Bahkan, saat sang ayah sedang memberinya nasihat, diam-diam Dodi menarik benang sedikit demi sedikit. Namun, saat benang ditarik, ia malah berada di halaman sedang menyapu. Karena tak suka menyapu, ia kembali menarik benangnya. Ia baru berhenti menarik benang tersebut saat mendapati dirinya sedang berada di kamar untuk tidur.
Suatu ketika, ia menarik benang terlalu panjang—lebih panjang lima belas kali dari biasanya.
Tiba-tiba ia terkejut menyaksikan dirinya berdiri di depan batu nisan dengan posisi tubuh membungkuk. Pelan, pandangannya mulai kabur. Badannya susah untuk digerakkan. Kulitnya pun sudah keriput.
Dodi terus mengamati sekitarnya. Lalu, matanya tertuju pada beberapa batu nisan yang ternyata adalah makan kedua orang tuanya. Di sana juga ada makam istrinya—istri yang ia sendiri belum sempat mengenalnya.
Ia pun tersadarkan bahwa dirinya sudah menua. Hanya perasaan sesal yang dirasakan Dodi. Ia kehilangan begitu banyak waktu masa mudanya yang sangat panjang. Begitu banyak hal yang telah ia sia-siakan.
Akhirnya, ia kembali teringat pada gulungan benang miliknya. Ia menggulung kembali benang tersebut. Sambil menangis, ia terus menggulung. Akan tetapi, tak terjadi apa pun. Penampilannya tak berubah, tetap tua dan membungkuk.
Dengan sempoyongan, Dodi berjalan meninggalkan makam. Ia lalu berhenti, terduduk lemas. Ia pun merenung sambil menatap gulungan benang di tangannya. Gulungan benang itu menjadi satu-satunya teman yang ia miliki, tak ada orang tua, istri, anak, atau pun teman. [*]
Whed adalah nama pena dari seseorang yang lahir di bulan Maret. Hobi membaca membuatnya ingin bisa menulis. Beberapa cerpennya sudah terbit dalam buku antologi.
Editor: Vianda Alshafaq