Kisah di Balik Wajah

Kisah di Balik Wajah

Kisah di Balik Wajah

Seorang gadis kecil berdiri dekat Damar. Matanya tak henti menatap kanvas dan gerakan tangan Damar. Setelah lelah berdiri, ia  jongkok di samping Damar, sedang tatapannya tetap fokus pada apa yang dilihatnya.

“Nama adik siapa?” tanya Damar tanpa menoleh.  Tak jauh dari mereka duduk seorang pelukis wanita, Arini, ia menatap heran ke arah Damar. Tak biasanya lelaki itu tertarik pada orang lain di sekitarnya. Apalagi hanya seorang gadis kecil.

“Niken,” jawabnya pendek, tanpa menoleh. Tatapannya masih tak beralih dari kanvas dan gerakan tangan Damar.

Damar mengamati gadis cilik berambut panjang di sampingnya sejenak. Dadanya berdesir. Bentuk mata, hidung dan bibir itu mengingatkan pada seseorang yang sangat lekat dalam khayalnya.

“Adik dari mana?” tanya Damar mulai tertarik pada gadis kecil itu, hingga gerakan tangannya tertahan sejenak.

“Dari Surabaya. Om dari mana?” Niken balik bertanya.

“Dari Jakarta. Ke sini sama siapa?” tanya Damar  sambil menatap tajam Niken. Gadis kecil bermuka oval itu balas menatap. Kedua pasang mata saling bertaut, seolah melekat.

“Sama Mama,” jawabnya pendek. Mata Niken berkeliling di seputar ruangan pameran. Ada beberapa kanvas kosong dan kuas yang tersusun rapi. Di sudut lain ada seorang perempuan juga sedang asyik melukis.

“Niken mau mencoba? Nanti Om ajarin,” kata Damar seolah menerka apa yang dipikirkan gadis kecil berbaju biru itu.

Niken mengangguk, Damar mengambilkan sepotong kanvas, beberapa kaleng cat minyak, dan beberapa batang kuas serta sebuah bangku kecil untuk Niken.Ia  tersenyum,  tampak bahagia. Tanpa  sebab yang jelas, Damar seolah terbius oleh senyumannya. Sebuah kebahagiaan menyelinap dalam hatinya saat melihat senyum Niken.

Sejenak Arini menatap mereka. Kuasnya yang basah meneteskan titik-titik minyak di lantai. Ada serpihan rasa tidak nyaman saat melihat keduanya bertatapan.

Lagaknya seorang profesional, Niken duduk di samping Damar.

“Ayo, lakukan sesukamu.” Damar mengedipkan sebelah matanya. Niken tersenyum, cerah. Sebuah senyum yang selalu dia  bayangkan dalam khayalnya. Senyum seorang gadis cilik.

Niken  memandang wajah pria jangkung di sampingnya, lalu mengambil posisi duduk di depan laki-laki tampan itu. Tak peduli dengan tatapan keheranan Damar, Niken mulai membuat sketsa wajah lelaki di depannya itu. Terbengong Damar melihat bagaimana  tangan mungil dengan jari-jari lentik itu bergerak lincah di atas kanvas membentuk guratan sketsa wajahnya.

“Niken akan selesaikan ini di rumah. Besok kalau sudah selesai Niken antar ke sini, Om.” Katanya sambil menyerahkan cat yang belum dibuka.

Belum sempat Damar menjawab, gadis cilik itu sudah pergi menyisakan   berjuta tanya di kepalanya.

“Mama!” panggil Niken pada seorang perempuan muda yang berdiri di tengah kerumunan remaja. Tampak perempuan berhidung mancung, berkulit kuning langsat, dengan mata jeli dan bulu mata lentik itu sedang berbicara dengan para remaja tanggung yang ada di sana. Tubuhnya yang lampai terbalut kain modifikasi kebaya hingga  menampakkan kesan anggun.

Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara.

“Niken? Dari mana saja, Nduk?” tanya perempuan yang bernama Ratih  itu kepada putrinya, “ini siapa yang ngasih?” tanyanya melihat sepotong kanvas yang dibawa Niken.

“Dari Om yang di sana,” kata Niken sambil menunjuk ke suatu arah.

“Karena dia baik, aku akan buat lukisan wajahnya.” Niken tampak bersemangat. Langkahnya lincah menuju ke sudut ruangan. Menyiapkan alat lukisnya sendiri, kemudian mulai memoles sketsa itu dengan warna.

Mamanya sibuk dengan remaja-remaja tanggung yang ingin belajar melukis padanya. Pameran yang diselenggarakan dinas kebudayaan provinsi ini memang bertujuan untuk mengenalkan seni rupa kepada masyarakat luas. Bukan sekedar memperkenalkan, namun juga memberi kesempatan bagi masyarakat yang berminat untuk belajar. Pelukis dari berbagai daerah di seluruh penjuru Pulau Jawa berkumpul dalam event ini.

Keesokan harinya  lukisan Niken sudah selesai. Masih agak basah, Niken menempatkannya di dekat jendela sehingga sinar matahari sore bisa membantu mengeringkan.

“Ini Om, lukisannya,” kata Niken menyerahkan lukisan itu pada Damar. Laki-laki tampan itu terbeliak sejenak melihat hasil lukisan yang dipegang Niken.

“Wow, luar biasa!” pekik Damar tertahan. Siapa pun tak menyangka itu lukisan bocah berusia delapan tahun. Tadi dikiranya Niken hanya gadis kecil biasa yang ingin belajar melukis, bukan pelukis cilik.

“Sejak  kapan mulai melukis?” tanya Damar sambil mengamati lebih cermat lukisan Niken.

“Lupa … mungkin sejak TK ….”  Niken tertawa. Tawa bocah yang juga selalu dirindukan Damar.

“Yang ngajarin siapa?” tanya Damar lagi. Ia berjongkok sehingga matanya bisa menatap bola ceria Niken.

“Nggak ada … cuma sering ikut-ikutan Mama ngelukis aja,” jawabnya santai.

“Sekarang Om harus bayar Niken berapa? Untuk lukisan yang indah ini?” tanya Damar dengan muka bersungguh-sungguh. Ia menempatkan lukisan Niken di samping lukisan lain miliknya.

“Gratis … karena Om sudah baik sama Niken. Asal Niken boleh lihat lukisan-lukisan lain di sini,” jawab Niken. Mata bulatnya berputar di seputar ruangan, menatap lukisan-lukisan yang tergantung di dinding.

“Ouhh, tentu saja. Mari Om antar,” kata Damar sambil meraih tangan mungilnya.

Bagaikan ayah dan anak keduanya berkeliling di ruangan itu. Sesekali Damar mengangkat Niken untuk melihat beberapa lukisan yang tergantung tinggi di tembok.

Menjelang senja Damar mengantar Niken kembali menemui ibunya. Namun sayang sekali, dia tidak melihat perempuan itu.

“Anak siapa, Mas?” sambut Arini  sepulang dari mengantar Niken. Ada rasa cemburu terselip di dalamnya.

Damar menggeleng, “Tidak tahu,” jawab Damar pendek, seolah sengaja menghindar dari percakapan dengan Arini.

Selama pameran ini berlangsung, ada yang berubah dari diri Damar. Terkesan berusaha menghindar. Seolah tak tahu, ah lebih tepatnya tak peduli pada  perasaan Arini  yang selalu bergolak di setiap mereka bertemu.

Apakah mata itu tak pernah menemukan sorot kekaguman di mata Arini? Apakah Damar tak pernah menyadari bagaimana perasaan Arini selama ini? Haruskah ia mengungkapkan semuanya supaya Damar tahu perasaannya.

Mereka memang dekat. Sangat dekat, bahkan semua teman di komunitas pelukis selalu mengira mereka akan segera menikah. Namun ada sesuatu yang tak pernah bisa diketahui Arini. Sesuatu yang ia tutup dengan rapat. Seolah tak boleh ada seorang pun yang menjamahnya.

“Apakah ada yang lain?” tanya Arini, “ehh … maksudku seseorang yang lain,” Arini  buru-buru meralat.

“Menurutmu?” jawab Damar singkat sambil angkat bahu. Tak berhenti  untuk sekadar menatap Arini. Mata dan tangannya terus bergerak, berkelana di atas kanvas yang sudah menemaninya bertahun-tahun. Hanya itulah sahabat hatinya, yang selalu menerima goresan hatinya, goresan lukanya, juga harapan dan angan-angannya. Tempat ia menuangkan kisah masa lalunya.

Arini  hanya menunduk. Ia takkan mungkin mendapat jawaban dari  bibir yang selalu tersenyum dingin dan tatapan matanya yang beku tanpa kehangatan. Arini  tahu ada rahasia di balik semua itu, namun ia tak punya cukup keberanian untuk menanyakan.

Ia berharap perhatiannya pada Damar akan mampu membuka hati dan perasaan Damar padanya. Arini  berharap senyum dan tatapan itu akan berubah sehangat matahari pagi. Damar tetap  tak pernah peduli.  Hanya  senyum misterius yang menjawab setiap pertanyaannya. Bahkan makin tak peduli, terlebih sejak kehadiran gadis itu.

“Perempuan itu siapa?” tanya Arini suatu hari.

“Aku bayangkan itu wajah ibunya Niken,” jawab Damar masih dengan menatap lukisan sambil sesekali tangannya mengusap lembut wajah perempuan dalam lukisan itu.

“Entahlah … aku selalu  berpikir, gadis cilik itu mungkin memiliki ibu dengan wajah seperti ini.” Damar menjelaskan tanpa berpaling menatap wajah Arini, “lukisan itu akan menjadi kenang-kenangan bahwa kami pernah bertemu,” kata Damar sambil menunjuk lukisan dirinya bersama Niken.

“Besok ulang tahunnya. Aku akan memberikan ini sebagai hadiah untuknya dan ibunya.”

“Ibunya?” Arini  mengernyitkan dahinya.  Rasa perih berdesir di hatinya, lalu meremas-remas hingga luluh tanpa bentuk.

“Ya,” jawab Damar pendek. Hampir tak terdengar.

“Apakah dia ada hubungannya denganmu?” tanya Arini  saat Damar mulai memoles pipi  perempuan itu. Perempuan dalam lukisan itu tampak anggun. Dengan bentuk mata memanjang, dan bulu mata lentik, membuat wajah itu terkesan manis tidak membosankan dipandang. Di mata arini, Damar memperlakukan lukisan itu dengan amat istimewa.

Arini merasa tersisih. Mungkinkah dia masa lalu Damar? Lelaki dengan tatapan beku itu tak pernah bercerita tentang dirinya. Berkali-kali Arini  mencoba menanyakannya, namun ia tak pernah memperoleh jawaban.

***

“Dari mana aja, Cantik?” tanya Arini  pada gadis kecil yang digendong Damar dengan senyum yang dipaksakan. Selalu ada rasa perih yang menindih bongkahan hatinya setiap melihat kemesraan mereka. Hatinya serasa disayat-sayat setiap melihat mereka bercanda.  Kebekuan Damar seolah meleleh setiap gadis cilik itu datang.

“Dari jalan-jalan tante … sayang sekali tante tidak ikut.”  Niken  kemudian turun dari gendongan Damar. Mereka tampaknya baru berkeliling stand pameran.

“Ini untukku? Boleh dibuka sekarang?” tanya Niken beruntun. Wajah bocah itu tampak bahagia.

Damar menggeleng, “Tidak … dibuka nanti saja, kalau sudah ketemu dengan mamamu,” jawab Damar.

Senyum Niken memudar, mulutnya mengerucut, penasaran. Gadis cilik itu  mencoba mengangkat lukisan itu … berat. Wajah manisnya sedikit menyeringai.

“Biar Om yang bawa,”  kata Damar, ”mau ikut?” tanya Damar pada Arini  kemudian.

Setelah berpikir sejenak akhirnya Arini  memutuskan ikut. Apa pun yang terjadi, akan lebih baik baginya bila ia mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Sepahit  apa pun. Mungkin pertemuan itu bisa memberikan kejelasan sikap Damar yang  akhir-akhir ini berubah.

Perempuan anggun dalam lukisan itu benar-benar ada! Jerih hati Arini. Dia tampak sibuk memberi petunjuk pada beberapa remaja yang tampaknya sedang belajar melukis.

“Mama!!! Ini Om Damar!” panggilan Niken membuat perempuan itu menoleh. Tampak terkejut melihat  Damar bersama Niken. Demikian juga Damar.

Dua pasang mata saling bertatapan … lama.  Ruangan yang ramai tiba-tiba menjadi  hening bagi. Seluruh aktvitas di ruangan itu terhenti. Semua mata menatap ke arah mereka, tak terkecuali Arini.

“Mama, ini Om Damar yang sering aku ceritakan,”  suara Niken memecah keheningan di antara mereka.

“Ini benar kau, Ratih ?” tanya Damar ragu sambil mengulurkan tangannya. Perempuan yang dipanggil Ratih  itu hanya mengangguk.

Keduanya masih tak percaya pada apa yang mereka lihat.

Entah siapa yang memulai, keduanya sudah saling berpelukan. Tak peduli pada semua pasang mata yang menatap mereka. Bagaimanapun, mereka masih pasangan suami istri yang sah.

“Mama sudah kenal Om Damar?” tanya Niken heran.

Ratih  berjongkok di depan Niken,”Ini papamu, Nduk,” kata Ratih  lirih. Mata perempuan itu berkaca-kaca, “ini papamu, Nduk,” ulangnya sekali lagi sambil mencium pipi putrinya.

***

“Mereka keluargaku,” kata Damar mencoba menjelaskan, “Kami menikah. Tapi aku tak tahu Ratih  punya anak. Dulu kami berpisah karena orang tua Ratih  tidak setuju dengan pernikahan kami. Aku memilih pergi, tanpa menceraikan Ratih. Kami saling kehilangan kontak, dia pergi ke Surabaya aku ke Jakarta.”

Arini  hanya bisa diam.  Marah? Yah … karena Damar tidak pernah berterus terang. Tapi untuk apa marah. Semua ini bukanlah semata-mata kesalahan Damar. Juga bukan perasaan yang tumbuh dan bersemi dalam hatinya. Semua terjadi dan terus terjadi begitu saja tanpa pernah ia sadari sebelumnya. Saat ia tersadar, semuanya tak lagi bisa dihentikan. Akarnya seolah telah menjalar di seluruh tubuhnya.

“Aku minta maaf,” kata Damar kemudian. Kepalanya tertunduk kemudian melanjutkan, “Bukan aku tak peduli pada perasaanmu, tapi akan lebih menyakitkan bagimu bila aku memberimu harapan palsu.”

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Bagaimanapun kalian adalah sebuah keluarga. Harapan untuk bisa bersama kembali telah kau perjuangkan selama bertahun tahun. Satu-satunya kesalahanmu karena kau membiarkan aku jatuh cinta kepadamu. Itu pun bukan kesalahanmu. Mungkin aku saja yang terlalu pede dan berharap padamu,” kata Arini  dengan emosi tertahan.

Air mata menggenang di sudut mata Arini,  jatuh menjadi bulir-bulir bening di pipinya. Usai sudah kisah ini. Penantian akan jawaban Damar terjawab sudah. Rasa penasaran tentang kisah di balik wajah itu terurai sudah.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita