Kisah di Balik Bunga
Oleh : Mila Athar
Lihat kebunku penuh dengan bunga
Ada yang putih dan ada yang merah
Setiap hari kusiram semua
Mawar, melati semuanya indah
Nyanyian tentang bunga tersebut bergema di telinga Nadin. Cia, anak tetangga sebelah rumah sedang berdendang diikuti gerakan tangannya yang lincah. Mbok Marni duduk di sampingnya dan tersenyum melihat keceriaan Cia.
Bunga-bunga memang sedang bermekaran di halaman rumah Nadin. Mulai dari anggrek, mawar, lili, aster, sepatu, dan berbagai bunga lain, seolah berebut keindahan. Nadin sedang menyiangi rumput yang mengganggu tanaman kesayangannya.
“Mbok, besok nanam bunga, yuk! Sepertinya halaman rumah kita nggak ada bunganya.”
“Loh, Non Cia kok tahu?” Mbok Marni bertanya keheranan.
“Tahu, dong, Cia kan masih bisa mencium aromanya. Aroma rumah kita nih bau uang,” Cia berkata sambil menutup hidungnya.
“Cia pengin punya rumah seperti di rumah sebelah kita,” jelasnya tersenyum semringah.
Nadin terpekur mendengar perkataan gadis kecil itu. Jarak rumahnya dan Cia memang tidak terlalu jauh. Dia bisa mencuri dengar percakapan antara majikan dan pengasuh yang berwajah teduh tersebut.
“Bau rumah sebelah wangi, wangi kedamaian.”
Mbok Marni sendiri tampak mengerutkan kening mendengar jawaban Cia. Ada gurat keheranan dari raut muka si mbok.
“Besok Mbok beli bibit bunga yang banyak ya, biar rumah ini agak wangi, walau Cia ragu.”
“Iya, Non.”
Tanpa banyak bantahan pengasuh yang berumur sekitar setengah abad tersebut hanya mengangguk. Setelah itu, dia menggandeng majikan kecilnya masuk ke rumah.
Nadin memberesi peralatan berkebunnya, sang mentari telah memancarkan sinar keemasan yang menggigit kulit. Dia memilih beranjak dan mengistirahatkan tubuh lelahnya di gazebo depan rumah. Nadine menikmati semilir angin yang membelai wajahnya sambil memindai bangunan megah di depannya.
Rumah bercat putih dua lantai tersebut tampak mencolok. Bisa dibilang, ini merupakan pemukiman yang beragam. Halaman depan rumah hanya didominasi pohon-pohon perindang. Tak tampak bunga satu pun di rumah tersebut. Beberapa mobil terparkir dengan rapi di garasi. Ada sebuah kolam kecil di tengah halaman. Seorang satpam berjaga di dekat pintu depan. Secara sekilas, bangunan bergaya modern tersebut seperti bangunan rumah lainnya.
Nadine tak begitu akrab dengan sang pemilik rumah. Setahu dia, pemilik rumah adalah pengusaha yang sibuk. Kadang dia melihat, wanita yang sepertinya Nyonya rumah berangkat di pagi buta. Selebihnya, hanya gadis kecil dan pengasuhnya yang setiap hari duduk di teras rumah.
***
“Buang semua bibit bunga ini,” suara tegas pagi ini mengagetkan Nadin yang sedang bersiap lari pagi.
Seorang wanita berbusana kerja yang cukup mewah membuatnya semakin anggun. Namun, penampilannya berkurang dengan wajahnya yang tertekuk. Kemudian dia segera bergegas masuk ke sedan mewah dan berlalu begitu saja.
Nadin hanya mengedikkan bahu dan melanjutkan langkah. Sekilas, dia melihat pengurus rumah memunguti bibit bunga dan memasukkannya ke dalam keresek hitam.
Sambil berlari kecil, Nadin berpikir. Mengapa wanita itu tak suka bunga. Padahal rumah mewah tersebut akan tampak indah dengan berbagai bunga. Apalagi halaman rumah tersebut cukup luas. Selama ini, Nadin hanya melihat beberapa pohon palem dan rumput jepang yang mendominasi halaman. Dia menyayangkan rumah semewah itu namun kelihatan gersang.
Tiba-tiba dia menggelengkan kepala. Mengapa dia harus memusingkan hal yang bukan menjadi urusannya. Segera ditepisnya pikiran-pikiran tak jelasnya. Nadin memutuskan untuk berlari lebih cepat karena matahari semakin meninggi.
***
“Mbok, bibit bunganya sudah ditanam belum?”
Mbok Marni tertegun mendengar pertanyaan majikan kecilnya.
“Be … belum, Non,” dengan terbata Mbok Marni menjawab.
“Kenapa?”
Hening tanpa jawaban. Perempuan tua itu hanya mengelus kepala Cia tanpa sanggup menjawab pertanyaan tersebut.
“Mama ya? Kenapa sih Mbok, Mama sangat membenci bunga?”
Simbok mendesah, matanya tampak berkabut. Tiba-tiba tenggorokannya terasa tercekat. Tak sanggup mengatakan apa pun.
“Mbok, kok diam, melamun ya?” Gadis kecil itu merasakan ada yang aneh, dia meraba-raba tangan perempuan yang selama ini mengasuhnya sejak bayi.
“Eh, enggak, Non. Simbok hanya kaget melihat kucing yang baru saja lewat.”
Suaranya agak tersendat, namun dia berusaha bersikap wajar. Anak majikannya itu begitu perasa. Kebohongannya kali ini mudah-mudahan tak dirasakan olehnya.
“Mama nggak pernah sayang Cia.” Mata itu mulai mengabut.
“Kata siapa, Nyonya sayang sama non Cia.”
“Enggak, Mbok bohong. Mama nggak pernah mau ngomong sama Cia. Nggak pernah mau makan sama Cia.”
Kabut itu kini sempurna telah menjelma menjadi tetes yang membasahi pipi. Sebuah rengkuhan tiba-tiba ia rasakan.
“Mbok yakin Nyonya sangat sayang sama Non Cia. Nyonya selama ini hanya sibuk. Kalau nggak sayang, tidak mungkin Non Cia dibesarkan sampai sebesar ini.”
Kalimat Simbok berusaha ditelaahnya. Rengkuhan itu semakin ia eratkan. Hanya burung-burung yang menjadi saksi dua orang yang saling mengasihi sore itu.
***
Pagi ini Nadin dikagetkan dengan kedatangan pembantu sebelah rumah. Wanita yang sudah cukup sepuh tersebut meminta tolong kepada dirinya untuk mengizinkan ia dan majikan kecilnya main ke taman kecilnya sore nanti.
Nadin hanya mengangguk mengizinkan. Sudah lama sebenarnya dia penasaran dengan sosok gadis kecil di seberang rumah. Sering sekali dia dapati gadis tersebut melamun di teras rumah. Dari perempuan itu, dia tahu Cia sudah lama ingin bermain di taman bunga miliknya.
Dan benar saja, dengan memakai gaun kuning gading dan rambut berkepang satu, gadis kecil itu tampak manis. Pipinya kemerahan tertimpa cahaya matahari sore. Dia menghampiri Nadin bersama pengasuhnya.
“Terima Kasih, Kak, telah mengizinkan datang ke sini.” suara lembutnya menghangatkan hati.
“Kakak juga senang kamu ke sini, sebenarnya sudah lama Kakak pengin kenalan sama kamu.”
“Wah, benarkah?” Dia bertepuk tangan riang.
Tanpa membuang waktu Nadin segera mengajak ke taman belakang. Cia begitu ceria menikmati taman kesayangannya. Mereka bercakap-cakap tentang aneka jenis bunga. Sesekali dia memegang beberapa bunga dan mencium aromanya. Cia tampak ceria dan meminta Nadin untuk mengizinkannya berkunjung kembali. Tentu saja dengan senang hati menerima permintaan Cia. Sudah lama juga rumahnya tak pernah kedatangan tamu.
***
Mulai dari hari pertama kunjungan itu, mereka menjadi dekat. Setiap sore, Cia akan selalu berkunjung. Nadin merasa menemukan teman baru yang memiliki kesamaan, sama-sama penyuka bunga. Lama kelamaan dia sedikit mengetahui sifat Cia. Di tengah keceriaannya ada luka yang coba dia tutupi. Dan Nadin tak mencoba menguaknya. Membuatnya tersenyum ketika mencium aroma bunga-bunga miliknya, entah mengapa membuat hatinya menghangat.
“Yakin, nggak mau bawa pulang?”
“Enggak deh, Kak. Mending langsung ke sini.”
Nadin sempat melihat wajah teman kecilnya sedikit suram, namun cepat-cepat ditutupinya dengan senyuman. Bukan kali ini saja dia menawari Cia tanaman bunga untuk dibawa pulang. Namun selalu saja Cia menolak. Walau Nadin yakin, dalam hati kecil gadis itu sebenarnya sangat ingin membawa pulang bunga-bunga yang dia tawarkan.
“Oke, toh tak ada bedanya ya Ci di sini apa di rumahmu. Kalau di rumahmu juga mungkin mereka sedih karena berpisah dengan teman-temannya.”
Nadin mencoba bercanda dan berhasil menerbitkan lengkungan di bibir.
“Iya, Kak. Kalau mereka nangis takut nggak bisa diemin.”
Dia membalas candaan Nadin.
“Iya sih, bisa-bisa bunga-bunga itu pada demo kamu.”
Mereka tertawa bersama sore itu. Pipi Cia semakin merah ketika tertawa tanpa henti sehingga dengan gemas Nadin menjawil pipi dan refleks memeluknya. Rasa sayang terhadap gadis rapuh itu semakin lama semakin tumbuh. Tawa mereka disaksikan oleh bunga-bunga yang sedang mekar. Bunga-bunga mengeluarkan semerbak yang begitu menentramkan. Hati Nadin begitu hangat melihat tawa cerianya. Namun, dia tak pernah menyangka jika sore itu adalah tawa yang akan dia lihat untuk terakhir kalinya.
“Terima Kasih, Kak Nadin, Cia merasa damai di taman Kakak.”
Perkataan Cia membuat Nadin semakin mengeratkan pelukan. Dielusnya rambut gadis itu dengan sayang. Tubuhnya kelihatan ringkih. Dia bisa merasakan, tubuh kecil Cia menyimpan banyak kekuatan bersama dengan kerapuhan yang begitu besar.
***
Nadin menghela napas. Daun-daun berguguran menumpuk di setiap sudut halaman. Sampah di pojok pagar berserakan dari tempatnya. Bunga-bunga beberapa ada yang layu. Teras rumah juga kelihatan berdebu. Ah, rumahnya terlihat semrawut. Jelas saja, ia telah meninggalkan rumahnya selama tujuh hari penuh.
Belum lagi taman belakangnya, pasti lebih tak berbentuk lagi. Rasanya lelah jiwa raga. Tapi ia bersyukur, kesehatan neneknya sudah mulai membaik, sehingga ia bisa kembali ke istananya.
Sambil membuka gembok pintu gerbang, Nadin mengamati rumah depan. Rumah tersebut tampak lenggang. Tak ada aktivitas apa pun yang ia lihat di bagian depan. Bahkan satpam yang biasa berjaga, tak tampak batang hidungnya. Nadin mengernyitkan dahi. Ia menggeleng, dan segera masuk untuk mengatasi kekacauan yang ada.
Akhirnya, setelah hampir seharian, Nadin berhasil membersihkan sebagian kekacauan di rumahnya. Sambil membawa secangkir teh, ia memutuskan untuk duduk di teras depan sambil menunggu Cia. Sebenarnya ia agak bersalah, kabar tentang neneknya begitu mendadak sehingga tak sempat memberi tahu jika ia pulang ke kota seberang.
Suasana rumah Cia masih seperti tadi pagi. Tak ada aktivitas yang tampak di rumah megah tersebut. Bahkan pintu dan jendela rumah tersebut tertutup rapat. Biasanya sore begini gadis kecil itu akan duduk di teras depan.
Nadin berpikir mungkin keluarga tersebut sedang ada acara di luar. Setelah beberapa saat, ia memutuskan beranjak untuk membersihkan diri.
Selain rindu dengan bunga-bunganya. Nadin lebih rindu lagi dengan tamu kecilnya. Genap tiga hari sudah rumah tersebut tak berpenghuni. Setiap sore ia selalu berharap gadis tersebut akan berkunjung. Namun harapnya belum bermuara. Ketika hati ketiga dia mencoba mengetuk pagar tak ada respons dari dalam. Ada apa dengan keluarga ini. Rasa penasarannya begitu memuncak.
***
Maka setelah satu pekan tanpa kabar, Nadin hanya bisa berdoa semoga Cia baik-baik saja. Ia mencoba berpikir positif keluarga tersebut sedang pergi berlibur.
Hingga hari ke delapan di Senin yang terik, dia dikejutkan dengan tulisan dijual dengan spasi besar di pagar rumah Cia. Ada yang tak beres, namun Nadin bingung jika ingin mencari informasi. Pikirannya serasa buntu, ia menyesal tak meninggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi ke simbok.
“Suatu saat Cia yakin akan punya kebun bunga sendiri seperti milik Kakak.”
Perkataan Cia sore itu, begitu membekas di benak Nadin. Impian yang sangat sederhana. Dia memandang sebidang tanah di pojok halaman sebelah kiri miliknya. Beberapa bibit bunga telah dia tanam. Beberapa hari lalu, dia bertekad akan memberikan hadiah kecil untuk gadis manis tersebut. Memberikan sebuah kebun bunga kecil khusus menjadi milik Cia seorang. Gadis yang sudah dia anggap seperti adiknya, pelipur kesepian dalam hidupnya.
***
Setengah berlari, Nadin mengejar sosok yang telah lama menghilang tersebut. Ia masih ingat sosok tersebut meski telah satu purnama tak bersua. Pengunjung taman ini cukup penuh sesak sehingga dia agak kesulitan mencari wanita tersebut.
Akhirnya Nadin memutuskan untuk berhenti sejenak dan menarik napas. Sudah satu jam dia mengitari taman yang luas ini dan hasilnya nihil. Wanita tersebut seperti menghilang tanpa jejak. Dia yakin tidak salah melihat.
Nadin memutuskan untuk duduk dan membuka botol minumnya. Desah kecewa muncul dari bibirnya. Dia tak menyangka setelah sekian lama mengubur rasa penasarannya, dia bertemu dengan orang yang tak terduga. Namun, sebelum titik terang itu muncul ia kembali menelan kekecewaan karena tak sempat bertegur sapa.
“Mbak Nadin?”
Suara pelan itu mengagetkan lamunan Nadin. Ia menoleh dan terperanjat melihat sosok di depannya. Sosok yang sejak tadi ia cari, tengah tersenyum dan menatapnya dengan pandangan berkaca.
“Si … Mbok?”
Perempuan sepuh tersebut mengangguk dan menghampiri Nadin. Ada secercah kelegaan yang terbit di hati Nadin. Dia berharap setelah ini ada titik terang yang tidak akan lagi menjadi tanda tanya dalam hidupnya.
***
Pusara yang itu tampak mencolok di tengah makam. Indah dengan beraneka ragam tanaman bunga di atasnya. Sungguh aneh, beberapa pengunjung yang berada di makam sedikit mengernyitkan kening melihat makam dengan bunga-bunga yang memenuhinya.
Angin berembus pelan ketika Nadin berjongkok di makam tersebut. Makam tanpa nama, namun ia tahu siapa yang bersemayam di dalamnya. Akhirnya ia menemukan gadis kecil kesayangannya. Meski tanpa melihat wujudnya, sedikitnya ia sedikit lega ke mana harus menuntaskan rindu.
Gadis kecil malang, semuda itu harus meninggalkan dunia ini karena nyawanya direnggut oleh ibu tirinya sendiri. Setelah sekian lama, terjawab sudah kebencian yang mendalamnya terhadap bunga karena ibu kandung Cia yang sangat menyukai bunga. Melihat Cia seolah memaksanya kembali mengingat kenangan buruk terhadap rumah tangganya yang kandas. Suaminya yang meregang nyawa dengan wanita di sebuah mobil ternyata masih tak menyurutkan dendamnya. Namun, setidaknya wanita itu sekarang sudah tenang di sebuah RSJ di kota kecil yang tenang.
Ah, Cia, kini impian kecilnya memiliki taman bunga mungil akhirnya terwujud. Nadin menarik dan mengeluarkan napas beberapa kali. Kemudian, menengadahkan tangan dan merapalkan doa untuk gadis tersayang. Sebelum beranjak, ia menaruh bibit bunga kecil di bagian tengah. Langkahnya pelan meninggalkan sebuah tulisan di atas nisan yang bertuliskan Taman Celocia, sebuah taman kecil untuk gadis penyuka bunga.(*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba belajar beraksara yang terserak di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata