Kisah Angsana
Oleh : Mila Athar
Angin lembut sore hari menerbangkan beberapa anak rambut Aina. Bias lelah yang membayang tidak mengganggu wajah ayunya. Takdir memang selalu begitu, kau yang sempurna, laku gerakmu akan diamati penghuni semesta. Aina Khairunnisa, gadis itu seolah prasasti putri bidadari surga. Rambutnya hitam lurus sepunggung. Hidungnya bangir khas hidung orang timur tengah. Hitam manis kulitnya menambah pesonanya.
“Aina, maukah kau menjadi kekasihku?” Kalimat tersebut muncul dari lelaki untuk ke sekian kalinya. Kalimat yang Aina hapal di luar kepala. Baginya, kalimat itu serupa mantra yang membuatnya mual. Bukan hal wajar memang, tapi sejak dulu ia menghindari para kaum adam yang mengejarnya.
Namun, kali ini ia terperanjat. Ia tak menyangka lelaki ini mengucapkan kalimat yang begitu dihindarinya.
“Maaf, Kak Aina tidak bisa,” bola matanya tajam menatap lelaki dihadapnnya.
“Mengapa, bukankah kita sudah dekat lama. Kau sudah lama mengenalku. Aku tak akan menyakitimu!”
Lelaki tersebut menatapnya. Ia melihat tangan lelaki tersebut mengepal dengan wajah yang menahan amarah. Ada sejuta kecewa yang tampak di matanya.
Namun Aina hanya terpaku, lidahnya kelu tak mampu menjawab. Ada sirat kecewa mendalam muncul dari pandangan gadis tersebut. Ia hanya sanggup menggelengkan kepala dan memilih berjalan mundur. Pandangannya sedikit mengabur, kemudian Aina memutuskan untuk berlari tanpa ingin menengok lagi.
Pemandangan senja di sudut kota yang begitu indah terasa begitu kelam di mata Aina. Sosok lelaki yang telah dianggapnya seperti Kakak ternyata sama saja dengan lelaki lainnya. Ia tak menyangka Aidan menyatakan kalimat yang begitu dibencinya.
Seharusnya Aidan memahaminya. Mereka telah lama dekat. Air mata itu perlahan-lahan turun dari mata bulat tersebut. Ia kehilangan sosok yang disayanginya. Ia tak bisa menerima perasaan lelaki tersebut. Padahal lelaki itu telah berjanji. Ia akan menjadi lelaki istimewa, menjadi kakak yang tak pernah dimilikinya. Namun, janji itu kini telah diingkari.
Kini ia hanya berlari dan berhenti di tempat penuh kenangan. Tempat favorit mereka. Sebuah pohon angsana dengan danau di dekatnya. Keindahan tempat itu semakin lengkap dengan bunga kuning yang kadang berguguran . Harum bunganya semerbak menenangkan setiap kegundahan hati Aina. Ia selalu suka berada disitu, walau ia mengenal tempat tersebut dari lelaki yang begitu dibencinya. Aina bersyukur dalam hati, setidaknya ada satu kebaikan yang dilakukan Ayahnya, mengenalkan dirinya akan tempat seindah ini.
Di bawah pohon angsana ia hanya bisa tergugu pilu. Hatinya telah penuh sesak oleh kecewa. Pikirannya penuh dengan kata mengapa. Pikirannya berkelana ketika senja mulai membayang, ia bersama Aidan persis di tempat yang sama.
“Mengapa kaum Kakak begitu egois, aku tadi melihat Bang Togar tetangga sebelah memukul Nia putri kecilnya,” Aina melemparkan kerikil yang ada di tangannya ke tengah danau di hadapan mereka.
Sambil tersenyum Aidan berujar, “Itu bentuk kasih sayang Bang Togar terhadap putrinya mungkin.”
“Apa Kakak melantur, sayang dengan cara memukul?”
Aina mendengus, ia masih kesal melihat kelakuan Bang Togar tadi siang. Kekesalannya ia lampiaskan dengan kembali melempar kerikil semakin jauh.
“Aina, dengarkan Kakak. Kau harus bangkit dari masa lalumu. Mulailah memaafkan Ayahmu. Mungkin ini tak mudah. Kau harus merubah cara pandangmu, tidak semua lelaki sama dengan ayahmu. Masih banyak lelaki baik di luar sana.”
“Kakak ternyata tak memahami perasaanku. Aku tidak akan memaafkan lelaki yang telah menyakiti bunda. Pergi begitu saja tanpa tanggung jawab.”
Air mata telah membasahi wajah Aina ketika ia menatap wajah Aidan. Lelaki tersebut terkejut dan berusaha menyentuh bahu Aina. Namun ia segera beringsut dan berlari meninggalkan Aidan. Kejadian tersebut membuatnya mendiamkan Aidan selama beberapa pekan. Aidan tak pantang menyerah untuk meminta maaf walaupun Aina selalu menghindar. Karena kegigihan lelaki tersebut, ia akhirnya memaafkannya. Sejak saat itu Aidan tak pernah menyinggung lagi masalah Ayahnya dan pandangannya terhadap para lelaki.
Aina menghela napas. Mengingat kenangan tersebut membuat dadanya semakin sesak.
Mungkin memang tak ada lelaki yang tulus selama ini di hidupnya. Ia mulai akan menata hidupnya kembali. Ia telah memutuskan, akan menghapus nama Aidan perlahan-lahan dari hidupnya.
******
Lelaki berparas elok tersebut menghela napas untuk ke sekian kali. Angin pantai menyibak beberapa helaian rambutnya yang mulai memanjang. Celana coklat muda yang dipakainya mulai basah hingga hampir menyentuh lutut. Namun, ia tak peduli. Kalau bisa, sebenarnya ia ingin menenggelamkan diri ke samudra lepas. Menenggelamkan segala gundah agar sesaknya hilang. Kali ini takdir mungkin sedang mempermainkan hidupnya.
Kalau bisa ia tak ingin mengatakan kalimat laknat itu. Namun, sekali lagi keputusan ini memang harus dilakukannya. Meninggalkan gadis yang begitu ia sayang. Keputusan yang telah ia pikirkan dan membuatnya gundah sepekan ini. Semua karena catatan usang yang Aidan temukan tak sengaja di kamar milik ibunya.
Catatan yang membuka masa kelam wanita yang begitu dihormatinya. Semakin mengingatnya, membuatnya semakin geram. Penuh emosi, ia melempar kertas usang tersebut ke lautan. Ia memutuskan segera beranjak pergi.
Air laut dengan cepat menelan aksara-aksara di dalamnya. Hingga meluruh dan tak terbentuk lagi. Namun, aksara tersebut telah terekam oleh semesta.
“Aku telah memutuskan untuk meninggalkan Sekar dan putriku Aina. Bagiku cintaku padamu tak pernah pudar sampai sekarang. Ku tunggu kau di bawah pohon angsana depan danau.”(*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba belajar beraksara yang terserak di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata