Kiriman Halusinasi
(Rachmawati Ash)
Denting lonceng dari Gereja kota menggema di sunyinya malam, menandakan misa natal akan dilangsungkan esok pagi. Cuaca dingin menggeroti tulang-tulang sendiku. Aku mempercepat langkah menembus gerimis yang menyerang kedua mataku hingga terasa perih. Kuputar anak kunci ke arah kanan sebanyak dua kali. Pintu rumahku terbuka, kujatuhkan mantelku di lantai. Kaki kananku menabrak sebuah benda yang sangat keras. Tanganku meraba-raba dinding mencari saklar untuk menyalakan lampu kamar. Sebuah peti mati tergeletak di depan pintu rumahku.
Aku membelakkan kedua mata, sungguh terkejut. Belum hilang ingatanku dari wajah korban meninggal dunia akibat tertabrak mobil di perempatan komplek beberapa menit lalu. Tubuhku lemas, serasa dikejar-kejar hantu yang bertubi-tubi datang mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah, lalu berlari meninggalkan kamarku tanpa menutup pintunya lebih dulu.
Aku kembali menembus gerimis yang kini telah berubah menjadi hujan lebat. Tubuhku menggigil di tengah-tengah malam yang pekat, air hujan meresap ke seluruh pakaianku, tembus membasahi bagian-bagian tubuhku. Menembus hujan di malam natal tanpa mantel adalah hal tergila yang pernah kulakukan selama hidupku. Pikiranku hanya satu, segera sampai di rumah temanku, Heralius.
Kuhentikan langkah, menatap rumah yang gelap gulita tanpa satu pun lampu menyala. Persetan, aku tetap membawa kedua kakiku masuk ke halaman rumah milik temanku itu. Kucoba memutar ganggang pintu ke arah kanan, pintu terbuka dengan begitu saja, tidak dikunci. Seperti biasa, aku segera masuk ke rumah Heralius. Dia adalah temanku yang sangat dekat, jadi aku tidak ragu untuk memasukinya. Kuraba dinding dan menyalakan lampu di ruang tamu. Astaga, aku kembali menemukan peti mati, mataku mengawasinya dalam-dalam. Sebuah kertas bertuliskan nama temanku, Heralius. Peti mati ini lebih besar dan lebih bagus ornamennya dibanding peti mati yang kutemukan di rumahku.
Aku membanting daun pintu, menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berlari. Aku hilang akal, otakku tak mau bekerja dengan cepat. Aku tidak tahu ke mana akan membawa kakiku bersembunyi, rumah siapa yang akan kutuju.
Semenjak kedatanganku ke pemakaman temanku sore itu aku mengalami kejadian yang aneh. Beberapa malam berturut-turut aku mimpi buruk. Aku bermimpi berenang di sebuah rawa dengan temanku yang sudah mati. Nafasku hampir hilang dan terputus, aku seakan mati bersama temanku itu. Bangun tidur aku berteriak histeris secara terus menerus. Beberapa kejadian memaksaku berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang ada di sekitarku.
***
Di ujung jalan, otakku mengingat sebuah nama. Dokter Felix, memiliki rumah kecil di komplek dekat rumah Heralius. Aku menghentikan langkah, berusaha keras menngingat di mana letak rumah itu. Aku ingin meminta tolong kepada dokter itu untuk membantuku keluar dari halusinasi yang tidak berkesudahan ini.
Sebuah mobil berhenti di halaman rumah yang tidak begitu luas. Aku melihat dokter Felix keluar dari mobil hitam. Aku berusaha mengejar dokter Felix sebelum masuk ke rumahnya. Tapi langkahku terlalu lemah untuk berlari sejauh tiga ratus meter menuju dokter berambut putih itu.
Kuketuk pintu rumah mungil itu beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Aku memutuskan masuk ke rumah, mengendap-endap mencari keberadaan dokter Felix. Mataku terbelalak, aku sempoyongan, aku merasa seperti orang gila. Kedua mataku mendapati sebuah peti mati berwarna emas tergeletak di ruang tamu dokter Felix. Meski dalam kedaan setengah gila aku masih sempat berpikir, kenapa semua orang mendapat kiriman peti mati? Untuk apa kami dikirim peti mati? Kenapa peti mati yang kudapati selalu bagus dan memiliki ornament yang sama. Berkelas dan mahal.
Dokter Felix tidak terkejut mendapatiku berada di ruuang tamunya. Dokter itu tersenyum kepadaku sambil mengangkat sebuah gelas kaca sejajar dengan wajahnya. Aku ketakutan, bukan karena dokter Felix menemukanku di ruang tamunya tanpa izin, tapi karena aku menemukan peti mati di setiap rumah yang kukunjungi.
Apa yang kamu takutkan, Bram? Dokter Felix berdiri di sampingku. Menyeruput kopinya dengan santai. Aku menggigil, merapatkan tubuhku ke dinding. Dokter Felix tersenyum, Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Bram, jangan takut.
Aku menggandeng tangan dokter Felix, berjalan menghampiri peti mati yang lebih besar ukuranya dari pada yang dikirim untukku dan juga untuk Heralius. Aku mulai berani membuka peti mati itu, aku ingin memastikan apakah peti itu berisi mayat atau kosong tanpa isi. Tanganku gemetar membukanya perlahan-lahan. Aku menemukan sebuah surat di dalam peti itu. Aku merasa lega, setidaknya bukan mayat yang kutemukan di dalamnya. Aku mulai membaca surat itu dengan bersuara supaya dokter Felix juga mendengarnya.
Teruntuk para sahabatku, aku menitipkan peti mati ini kepada kalian agar tidak disita oleh Bank tempat Ayahku berhutang. Semua toko milik Ayahku telah dikosongkan, semua barang telah dibawa sebagai pengganti hutang-hutangnya. Aku berniat menyembunyikan peti-peti mati yang harganya paling mahal ini di rumah kalian, kumohon kalian menjaganya sampai aku merasa aman dan mengambilnya. Aku tidak tahu sampai kapan toko pemesanan peti milik Ayahku akan mulai dibuka lagi.
Bram
Dokter Felix tersenyum kembali kepadaku, meletakkan gelasnya di atas meja. Memberiku kode untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku dibawa ke rumah jiwa. (*)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata